Kamis, 15 September 2011

Seulas Kisah.... seorang frater pastoral

Seulas Kisah……

Awal Kisah…
            Sebelum mengisahkan kisah awal berpastoral terlebih dahulu saya ingin menuturkan perasaan awal yang muncul di saat itu ketika saat-saat awal beralih dari dinamika hidup seminari menuju pergulatan hidup sebagi seorang frater Pastoral di Paroki St. Stefanus Cilacap. Resah….. rasa resah. kurang lebih mewakili seluruh suasana hati pada saat itu. Mengapa tidak? Satu berita penting dan mengejutkan dari Pastor Paroki; Rm. Niko Ola, OMI ketika saya nyampe di Paroki Cilacap yang mengatakan bahwa saya harus menempati sebuah pastoran kecil kurang lebih 35 km dari pusat kota Cilacap, tinggal bersama seorang koster dan harus mampu mengurusi mandiri. Di katakan lebih lanjut bahwa romo memberi kebebasan seluas-luasnya bagi saya untuk mengatur stasi tersebut. Saya bukan hanya memposisikan diri sebagai calon Gembala tetapi harusnya sungguh menempatkan diri sebagai seorang Gembala. Pertanyaan yang muncul pada saat itu ialah bukankah Yesus sebelum saatnya untuk tampil di muka umum, sungguh tidak ingin melangkahi suatu proses belajar? Bukankah Yesus menunggu saat yang tepat khusus pada umur tiga puluh tahun baru mulai menjelajahi proses penggembalaan. Rasa-rasanya saya kurang percaya dengan berita yang mengejutkan ini. Pada hal, saya cukup merasa antuasias dan nyaman dengan situasi pastoral di paroki pusat selain bahwa letaknya di pusat kota kabupaten juga dinamika hidup dan kegiatan iman umat begitu mengagumkan. Segala kegiatan menggereja begitu hidup dan memberi kesan baik untuk saya pada saat-saat awal di tempat itu.. Tidaklah salah jika saya mengatakan bahwa keresahan dalam menyingkapi keputusan tersebut apalagi setelah mendengar latar belakang dan persoalan yang terjadi di Stasi yang akan saya tempati tersebut cukup menantang dan menegangkan. Saya harus mengatakan bahwa seribu pertanyaan yang menghingapi hati dan batin saya pada saat itu. Dari sekian ribu pertanyaan yang muncul; pertanyaan mendasar yang paling dominan muncul ialah apakah saya mampu mengampu tanggung jawab yang terbilang berat ini? Bukankah saya datang untuk belajar dan terlibat dalam kehidupan iman umat bukannya untuk mengatur dan mengambil kebijakan pastoral yang sebenarnya menjadi tugas utama pastor Paroki? Itulah serentetan perasaan yang meresahkan …

Menghirup aroma Manis dari Pergulatan seorang frater Pastoral
            Situasi keresahan pada saat awal berpastoral bukanlah menjadi racun yang mematikan gelora jiwa saya sebagai seorang Montfortan muda untuk menjelajahi setiap tapak-tapak penuh rahmat yang dialirkan oleh Sang Kebijaksanaan. Saya teringat akan peristiwa dimana Montfort harus ditolak dimana-mana oleh karena sikap radikalitas dan kedalaman rohaninya dalam menghayati semangat injili.dan membuat sabda Tuhan itu sungguh-sungguh hidup dan mengakar dalam penghayatan iman umat Gelora Montfort terus membahana dan mengalir menyusuri relung hati setiap orang-orang kecil dan sederhana yang mendengarkannya. Justru keresahan yang saya rasakan menjadi titik awal bagi saya untuk semakin bergelorah menghadapi segala situasi dan tantangan hidup berpastoral.
            Ketika saya diantar Romo Paroki ke stasi Kawunganten dimana saya di tempatkan hanya ada setitik harapan yang muncul pada saat itu yakni saya berusaha untuk selalu merasa bahagia dan menikmati proses belajar ini Dan saya hanya berpkir bahwa meskipun Tuhan memberikan tantangan pada saat yang sama Tuhan justru mencurahkan rahmat yang melimpah kepada saya. Keyakinan inilah yang membesarkan hati untuk semakin mantap menatap hari-hari hidup dan panggilan ini.
Dan dalam acara perkenalan di hadapan umat, saya hanya bisa mengatakan bahwa saya datang ke stasi ini bukan sebagai seorang romo atau sebagai kepala stasi tetapi saya datang sebagai seorang frater yang semata-mata ingin hidup dan belajar bersama umat bagaimana menghayati dan mengembangkan hidup beriman yang benar dan sekaligus belajar untuk menjadi seorang gembala yang baik. Kesan pertama yang saya terima ketika berkenalan dengan umat bahwa mereka memahami dan mencoba menerima saya apa adanya saya. Dan mereka dengan penuh keramahan mau menyalami saya. Kesan pertama inilah yang semakin membesarkan hati saya.
Tetapi harus diakui bahwa keresahan yang saya rasakan perlahan-lahan mulai terjawab. Pada hari-hari awal di stasi Kawunganten , saya mulai merasakan kesepian oleh karena peralihan yang cukup drastis dari situasi kebersamaan di seminari dengan segala macam gelak tawa dan keramaian bersama konfrater beralih dan masuk dalam situasi kesendirian dan harus tinggal bersama dengan seorang koster yang kurang lebih harus penuh inisitif berusaha membangun persaudaraan. Saya hanya berusaha untuk mengisinya dengan merenung dan saya justru melihat bahwa dalam hari-hari tersebut saya berusaha untuk menyiapkan mental dan menumbuhkan semangat juang yang tinggi untuk mengahdapi situasi pastoral yang cukup menatang ini. Saya harus menumbuhkan kesadaran bahwa bukan lagi aturan yang menjadi rambu-rambu untuk saya tetapi saya harus membuat aturan sendiri dan berusaha dengan komitmen yang tinggi untuk mentaatinya. Harus diakui bahwa tidak mudah menjalani hari hidup dalam kesendirian tanpa misa, tanpa doa bersama, tanpa rekreasi bersama dan sederetan tanpa-tanpa lainnya. Tetapi saya harus bisa mengubah situasi tanpa-tanpa tersebut menjadi situasi yang ada dan situasi yang ada tersebut menyenangkan. Situasi menyenangkan dengan doa pribadi, makan bersama koster, kunjungan umat, bergaul bersama anak-anak muda, doa bersama para lansia, doa lingkungan dan sebagainya. Dan harus diakui bahwa situasi itu memberi kesan menyenangkan dan menggugah.
            Setelah melewati satu Minggu di stasi, saya justru mengalami situasi yang bagi saya cukup memprihatinkan dimana umat khususnya para dewan stasi seperti tidak merasa adanya kehadiran saya di stasi tertsebut. (mungkin kesan ini terlalu ekstrim atau merasa diri penting sehingga harus diperlakukan seperti itu tetapi ada hal mendasar yang ingin disampaikan dari kesan seperti ini). Para dewan sekurang-kurangnya datang atau mengadakan pertemuan untuk memberikan gambaran bagaimana situasi umat di wilayah stasi tersebut dan kebutuhan-kebutuhan apa yang mendesak yang bisa kami lakukan bersama. Seolah-olah kesepian dan kesendirian semakin diperparah dengan keadaan seperti itu apalagi setelah saya menanyai koster bahwa tidak ada kegiatan rohani apapun dalam kelompok kategorial. Saya cukup tertantang dengan situasi tersebut. Sebelumnya saya hanya berpikir bahwa saya akan lebih bersemangat oleh karena saya akan terlibat dalam kelompok kategorial seperi OMK, Bina Iman, Legio Maria dan sebagainya. Bersama dengan mereka, kami ingin secara lebih intensif mengadakan proses belajar bagaimana membangun hidup beriman dalam konteks hidup dan penghayatan iman mereka. Dan ternyata kelompok-kelompok semacam ini sama sekali tidak berjalan di stasi tersebut. Bertolak dari keprihatinan inilah, saya mulai mencari strategi pastoral konkret yang menjawabi situasi tersebut. Dengan bantuan koster, saya mulai melakukan pastoral kunjungan keluarga. Kunjungan keluarga pertama-tama kami lakukan terhadap keluarga-keluarga para dewan. Dari kunjungan ke keluarga para dewan, kami baru mengetahui situasi real dan keresahan yang dihadapi umat stasi Kawunganten dengan segala persoalannya. Pada saat itulah, saya mulai mengerti mengapa umat Gereja Kawunganten seolah-olah merupakan sebuah Gereja Mati selain bahwa tidak ada kelompok kategorial juga dinamika kehidupan iman umat hanya terbatas pada Misa Mingguan dan doa lingkungan yang sedianya diadakan sekali dalam sebulan. Ternyata semangat dan keterlibatan umat merosot atau bahkan terancam mati. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Kurang lebih persoalan mendasar yang mereka hadapi ialah keputusasaan dan kekecewaan selama kurang lebih beberapa tahun terakhir dengan dua sosok Gembala yang harus meninggalkan imamat yang sementara menjalani tugas kegembalaan di stasi tersebut. Saya tidak bermaksud mengutarakan persoalan itu pada kesempatan ini tetapi saya ingin menunjukan satu point penting dalam refleksi pastoral ini yakni kehidupan dan keterlibatan iman umat juga sangat ditentukan oleh penghayatan hidup iman dan kedalaman rohani seorang Gembala. Seorang Gembala selayak harus berdiri di depan untuk menunjukan jalan yang benar kepada umat dan seharusnya mengantar umat untuk membangun Gereja yang solid. Umat tidak membutuhkan seorang imam yang suka memerintah atau mengatur tetapi mau berjalan bersama-sama mereka untuk mengarungi peziarahan iman. Umat merasa dikecewakan lantaran harapan seperti itu justru diabaikan oleh sosok gembala apalagi sosok tersebut harus meninggalkan tugas kegembalaannya. Ini yang memudarkan semangat umat dalam kegiatan menggereja. Mereka merasa bahwa mereka sudah tidak memiliki gembala yang mau berjalan bersama-sama dengan mereka.
 Dan situasi yang cukup memanas juga terjadi ketika pada hari-hari menjelang kedatangan saya dimana terjadi situasi ketidakharmoniasan antara Gembala dengan para dewan stasi (umat). Kurang adanya komunikasi dan koordinasi yang baik antara kedua belah pihak justru menimbulkan situasi keterpecahan dan tidak adanya saling percaya antara gembala dengan para dewan. Juga menimbulkan tidak adanya saling pengertian satu sama lain. Saya tidak bermaksud untuk menghakimi pihak manapun tetapi situasi seperti ini menumbulkan pertanyaan dan refleksi yang cukup mendalam bagi saya bahwa suatu Gereja (dalam arti sebagai umat Allah) akan berdiri kokoh dan kuat tidak hanya ditentukan oleh kecemerlangan pikiran seorang gembala dan dilain pihak juga sama sekali tidak ditentukan oleh arogansi orang-orang tertentu dalam jemaat. Justru sebaliknya kokohnya suatu Gereja sangat ditentukan keramahan dan kerja sama yang baik antara Kepala dan anggota-anggota. Kepala tanpa tubuh tidak akan bisa hidup demikianpun sebaliknya tubuh tanpa kepala juga tidak akan bisa hidup. Maka genaplah firman yang disampaikan oleh rasul Paulus bahwa Gereja sebagai Tubuh Kristus dimana Kristus adalah KepalaNya dan kita semua tanpa terkecuali baik imam maupun umat ialah tubuhNya adalah satu. Kebersamaan dan kerjasama antara bagian-bagian dalam tubuh Gereja seperti Imam dan umat menjadi kesempurnaan dari tugas perutusan Kristus. Situasi konkrit ini menunjukan bahwa ada keterpecahan dalam tubuh Gereja lokal stasi Kawunganten. Saya bukan ingin menjawab persoalan ini tetapi tindakan pastoral yang. kami lakukan hanya semata-mata ingin menjawabi kerinduan dan harapan umat. Melalui kunjungan umat, kami sekurang-kurangnya mengetahui kerinduan dan harapan umat dimana mereka bukannya tidak ingin terlibat dalam kegiatan menggereja tetapi mereka menganggap bahwa kehidupan iman yang mereka hayati sekarang sama sekali tidak menunjukan dimensi Gereja itu Satu dan dipersatukan oleh Kristus.
            Bertolak dari keresahan, keprihatinan, kerinduan , kekecewaan inilah saya berusaha untuk masuk dalam kehidupan umat dan berusaha untuk bersama-sama dengan mereka keluar dari gejolak dan kerunyaman situasi ini. Hal yang bisa kami lakukan ialah melakukan pertemuan dewan stasi untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang bisa diatasi saat itu perihal kebutuhan mendesak yang harus terjawab dalam kehidupan menggereja saat itu. Dari pertemuan itu, kami mulai melihat perlunya untuk menggerakan dan menghidupkan kembali kelompok-kelompok Kategorial seperti Legio Maria, WK, Bina Iman, OMK, Doa Lansia serta menghidupkan kembali partisipasi umat dalam kegiatan rohani umat di dalam lingkungan seperti doa lingkungan. Latihan koor dan sebagainya. Dan harus diakui berkat kerja keras kami sebagai tim pastoral baik prodiakon maupun anggota dewan stasi yang terkait dengan tugas pastoral, sekurang-kurang harapan bersama itu perlahan-lahan terpenuhi. Partisipasi dan keterlibatan umat mulai tumbuh mekar. Saya mengibaratkan hal ini dengan bunga yang sebelumnya layu bahkan hampir mati baik disebabkan karena kurang mendapat kesegaran air dan kurang diberi pupuk tetapi kemudian memperoleh kesegaran kembali karena diperhatikan, disiangi, disiram, dan diberi pupuk. Dari perbandingan ini, saya menemukan satu titik permenungan bahwa dalam situasi kegersangan dalam kehidupan umat, sangatlah dibutuhkan optimisme dari petugas pastoral entah itu gembala maupun tim pastoral untuk menumbuhkan antusiame dalam diri setiap umat. Selain kunjungan umat tetap berjalan kami sebagai suatu tim pastoral terlibat secara penuh dalam menghidupkan kembali kelompok kategorial. Harus diakui bahwa tidak mudah untuk menghimpunkan kembali domba-domba yang hilang. Hanya untuk memumbuhkan kesadaran pentingnya untuk menghadiri Misa Minguan juga menimbulkan kesulitan karena setiap umat pada hari minggu berpikir bahwa pada hari tersebut, mereka bisa menggunakannya untuk melepaskan lelah karena bekerja selama seminggu sehingga mereka menghabiskan waktu untuk relaksasi dan rekreasi seperti memancing, renang, kunjungan keularga dan oleh karena sebagaian besar umat berasal dari Yogyakarta jadi mereka lebih memilih untuk pulang atau istilah yang sering digunakan ”wetan” atau pulang Yogya. Tidak sulit untuk kembali ke Yogyakarta karena bisa menggunakan mobil pribadi, kereta api maupun bis. Kesulitan-kesulitan ini kadang menjadi tantangan terndiri bagi kami sebagai petugas pastoral untuk memikirkan strategi pastoral yang tepat sasaran.
            Selain memikirkan dan mengdakan kegiatan pastoral menggereja, saya juga terlibat dalam pastoral sekolah dimana saya dipercayakan untuk mengampu satu kelas di SMP Yos dan satu kelas di SMK Yos khusus menangani bidang studi agama Kristen-Katolik. Hal ini terpaksa kami lakukan juga karena bertolak dari kebutuhan mendesak yang mesti segera dijawab karena di dua sekola tersebut tidak memiliki guru agama yang khusus membidang pelajaran agama sehingga penanaman iman anak di sekolah sangatlah terbatas. Selain itu harus diakui bahwa sekolah tersebut merupakan sekolah milik yayasan OMI. Saya tidak mengetahui secara pasti mengapa bidang studi agama Katolik kurang mendapat perhatian yang lebih. Intesitas pembinaan agama Islam malahan lebih intensif ketimbang agama Kristen Katolik. Dari patirsipasi dalam pastoral sekolah, saya bisa belajar untuk dapat mengatur waktu sebaik mungkin sehingga antara dua fokus ini mendapat porsi yang tepat dan seimbang. Selain itu juga saya terlibat dalam kegiatan ekstrakulikuler siswa khusus menangani kelompok musik dan panduan suara. Sehingga sdalam beberapa kesempatan, saya dipercaya untuk mendampingi anak dalam p[erlombaan-perlombaan. Terhdapa dua fokus perhatian ini, saya hanya bisa mengatakan ”luar biasa” berkat Tuhan yang tercurah atas saya karena bisa memberikan banyak kesempatan untuk saya belajar dan menemukan mutiara berharga. Setiap kesempatan meskipun berat dan penuh tantangan tetapi sebenarnya Tuhan ingin menunjukan bahwa kita diperhartikan Tuhan.
            Akhir Kisah
Sebenarnya kata tidak dapat membatasi luapan perasaaan dan gejolak jiwa seseorang.Dan kata juga tidak mampu menuntaskan semua ceriat seseoprang apalagi secara berai mau menutup agenda dan diara memoria seseorang tetapi karena keterbatasan waktu dan kata itu sendiri, saya terpaksa harus menutup akhir cerita. Saya hanya Cuma mengatakan bawa seluruh pengalaman selama kurang lebih setahun jika diletakan dalam bingaki panggilan akan secara kuat dan dahsyat mendorong saya untuk secara yakin dan mantap berjalan dalam jalan Tuhan ini. Lewat pengalaman-pengalaman ini, Tuhan ingin menunjukabn betapa Ia sangat mencintai saya dan senantiasa menyapa saya dengan nama diri saya. Seperti Samuel yang menjawab :”ini aku Tuhan, bersabdalah HambahMu mendengarkan”. Bersama Samuel ingin selalu mengucapkan kata-kata itu. Tulisan ini harus diakui sifatnya hanya repesentatif dari seluruh kisah hdiup dan pergolakan selama masa pastoral. Semoga kisah ini mengukir indah dalam hati saya dan membuat saya bertumbuh di dalam panggilan ini berkat kedalaman dari apa yang dikatakan dari kisah-kisah ini. Tuhan memberkati. Amin.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar