Jumat, 16 September 2011

PERAN “PERS” DALAM KEHIDUPAN KAUM MUDA
(Refleksi Pastoral atas pengaruh Pers bagi kaum muda)


I.                   Pendahuluan
Perkembangan sarana dan prasarana telekomunikasi telah menggugah banyak orang bertanya, apakah dunia begitu sempit dan mudahnya sehingga manusia dapat menjangkau bagian paling jauh dari sisi dunia ini. Dunia begitu terbuka  sehingga manusia dengan mudah mengetahui dan menyelidikinya. Salah satu faktor yang paling menentukan yaitu dengan tersedianya alat-alat komunikasi. Dengan adanya internet, manusia tidak perlu membuang-buang banyak waktu dan biaya untuk mendapatkan informasi atau keterangan dari orang atau tempat yang hendak diselidiki. Misalnya, jika seseorang ingin mengetahui artis populer seperti Jenifer Lopez, orang tidak perlu pergi jauh-jauh untuk menemuinya dan mewawancarainya tetapi dengan mudah saja orang duduk di depan internet dan meng”klik” situs Je-Lo, atau melakukan chatting, kontak dengan menggunakan face book maka orang akan memperoleh segala informasi mengenai orang yang diinginkan. Atau jika kita ingin mengetahui berita terbaru tentang kehidupan kaum muda di Jakarta, kita dengan mudah saja mencari situs yang berkaitan dengan apa yang menjadi tujuan pencarian kita. Singkatnya,  alat-alat komunikasi telah mempermudah manusia untuk mengetahui sesama dan dunianya.
Istilah Pers tidak menjadi asing lagi ditelinga kita apalagi jika dikaitkan dengan kaum muda.  Di kota-kota besar, kaum muda paling kurang harus memiliki handphone atau komputer. Jika anak muda tidak memiliki sarana-sarana seperti itu maka mereka akan dikatakan ketinggalan zaman. Semuanya itu tidak dapat disalahkan, semuanya tergantung pada kaum muda sendiri. Dunia memang sudah berkembang dan kaum muda adalah anak-anak zamannya maka kaum muda harus mengambil bagian di dalamnya. Lalu bagaimana kaum muda sendiri menyingkapi hal-hal demikian. Sebenarnya kaum muda sendiri mesti bertanya sejauh mana pengaruh pers bagi hidup mereka? Sejauh mana mereka bergaul dan berhubungan dengan Pers dan sejauh mana Pers membawa manfaat bagi kehidupan dan pembinaan kepribadian-kerohanian mereka. Untuk itulah dalam paper ini, penulis berusaha untuk mengamati dan menilai sejauh mana Pers memiliki pengaruh bagi kaum muda katolik. Apakah iman mereka masih bertumbuh ketika mereka berbenturan dan tertantang dengan kemajuan dunia seperti itu.
II.                PERS dan Kaum Muda
2.1.  Apa itu PERS? dan Persoalannya bagi kaum muda.
Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, menjelaskan bahwa “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan-kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, mengolah dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar, data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media eletronik dan segala jenis saluran tersedia.[1] Indonesia sendiri memiliki ketentuan akan kehadiran Pers. Dari undang-undang tersebut, sebenarnya bangsa Indonesia memiliki sikap antisipatif akan pengaruh dari kemajuan dunia khusus Pers. Bangsa Indonesia masih mencintai budaya bangsanya dan tidak menginginkan nilai-nilai luhur tersebut luntur begitu saja oleh karena manusia Indonesia tidak mampu untuk membangun sikap selektif.  Jika manusia Indonesia sudah masuk dalam budaya massa ini (Pers), manusia Indonesia segera disadarkan untuk tidak tercebur  di dalamnya.
Selanjutnya John Dami Mukese  menguraikan dua bentuk Persyaitu Pers sebagai wahana komunikasi menggunakan media cetak seperti siaran berita dan penyebarluasan informasi yang disampaikan dalam bentuk tertulis atau tercetak, entah melalui koran yang diterbitkan mingguan, bulanan maupun majalah yang tujuan utamanya menyampaikan berita atau informasi lewat tulisan cetak. Sementara pers sebagai wahana komunikasi massa yang menggunakan jasa media elektronik ialah semua siaran berita atau penyebaran informasi yang disampaikan baik dalam bentuk kata-kata lisan saja seperti radio maupun dalam bentuk kata-kata tertulis, kata-kata tertulis seperti internet atau e-mail ataupun kombinasi kata-kata lisan dan gambar seperti televisi atau film dan video (VCD).[2]  Pers memiliki pengertian yang kompleks. Dapat disimpulkan bahwa pers meliputi segala media komunikasi yang dimiliki manusia.
 Sarana-sarana seperti itu tidak jarang sudah mulai merambat masuk ke dalam kehidupan kaum muda. Bahkan sesuatu yang sangat memprihatinkan yaitu kaula muda tidak mampu untuk membedakan lagi mana media komunikasi yang tidak boleh digunakan dan mana yang boleh digunakan jika bertitik tolak dari nilai-nilai kristiani. Kehidupan kaum muda telah dipermudah oleh media komunikasi. Jika ingin berpacaran, orang hanya menekan tombol Hp maka dalam sekejap semuanya akan terpenuhi. Atau yang lebih buruk lagi yakni fenomena akan penayalahgunaan internet. Kecenderungan kaum muda menggunakan sarana tersebut untuk memuaskan kebutuhan seksualnya dengan mencari situs-situs porno. Atau fenomena VCD yang sudah merambat masuk sampai ke kampung-kampung. Kebanyakan kaum muda menggunakan sarana tersebut untuk menonton film-film yang amoral.
Selain itu, kebanyakan kaum lebih untuk memilih media komunikasi yang lebih cangggih seperti media elektronik jika dibanding dengan media cetak seperti koran atau majalah karena itu tidak memiliki daya tarik, bahkan mereka cenderung untuk menyepelehkan isi yang terkandung di dalam media-media cetak. Dan kebanyakan orang-orang muda lebih suka untuk pergi ke internet dan mulai mengekplorasi banyak hal. Dan bersyukurlah jika mereka menggunakan kesempatan itu untuk menambah ilmu pengetahuan atau pengembangan diri tetapi jika tidak, mereka hanya menggunakan kesempatan tersebut untuk mencari hiburan semata seperti melakukan chating atau frienster yang membawa kesenangan dan kepuasaan sementara. Tetapi harus diakui bahwa ini bukan terjadi pada semua kaula muda, ini merupakan suatu kecenderungan yang lama kelamaan sudah mulai merambat dalam seluruh lapisan masyarakat. Untuk itulah Lukas Batmolin meyebutnya sebagai “budaya media”.[3] Keprihatinan akan penyalahgunaan media Pers biasanya diarahkan kepada kaum muda karena mereka adalah manusia yang “bebas”; bebas untuk mengekspresikan diri dan meraba-raba untuk menemukan jati diri mereka. Pastoral kaum muda harus mampu untuk mencermati persoalan-persoalan tersebut. Bukan tidak mungkin jika penulis mengatakan ini terjadi dalam dunia kaum muda katolik.  
2.2. Siapa itu kaula muda?
Sebenarnya tidak ada kesepakatan yang jelas mengenai kaum muda. Ada aneka pendapat baik yang ditetapkan oleh lembaga maupun para ahli. PBB (UNESCO) berpendapat bahwa kaum muda adalah manusia yang berusia antara 15-24 tahun. Selanjutnya, Pastoral kaum muda katolik KWI membatasi kaum muda pada rentang umur 13-30 tahu (belum menikah). J. Riberu memberikan batasan tentang kaum muda yaitu kelompok umur sexennium ketiga dan keempat dalam hidup manusia (kurang lebih 12-23 tahun)[4]. Ketidaksepakatan batasan umur seperti ini tidak menjadi ukuran yang menentukan untuk memberi patokan tentang siapa itu kaum muda. Satu hal yang pasti dikatakan bahwa bila seseorang sudah meninggalkan masa kanak-kanaknya maka mereka itu sudah memasuki tingkat kaum muda, mereka yang mencoba untuk menemukan jati diri. Dan mereka mengatakan bahwa mereka bukan anak-anak lagi.
Beberapa karakter kaum muda: Pertama, mereka tidak mau diperlakuakn seperti anak kecil, namun mereka tidak seratus porsen meninggalkan masa kecil. Kedua mereka berorientasi ke masa depan. Mereka berpikir nanti mau menjadi apa. Dan memang mereka tidak tahu mau menjadi apa. Tetapi yang jelas bahwa mereka mau maju ke hari yang depan, membayangkan suatu yang hebat dan berguna yang membuat dirinya bangga. . Ketiga, anak muda tampaknya selalu gembira tanpa pikir (sudut reflesif), namun sebetulnya masa muda merupakan masa yang perlu refleksi apalagi menyentuh soal masa depan. Keempat antara meniru dan berkepribadian sendiri. Mereka hendak menunjukan bahwa mereka berbeda dari temannya tetapi pada saat yang sama oleh karena masih dalam proses pembentukan diri mereka menciptakan mentalitas meniru baik meniru orang-orang yang dekat dengan mereka atau orang yang mereka idolakan. Kelima, masa ledakan energi, kalau kita mengikuti gerak muda pada saat-saat mereka bergairah, kita akan melihat betapa banyak energi yang mereka keluarkan dan rasanya mereka tak kenal lelah.
Beberapa karakter ini sengaja penulis mengutip langsung dari pendapat Rm. Reksosusilo, CM untuk menunjukan bahwa panorama kehidupan kaum muda ditandai oleh sikap dan mentalitas demikian. Semuanya hanya diarahkan bahwa kaum muda semakin menyadari bahwa mereka berada pada titik menentukan dalam hidup. Semakin ia menyadari akan realitas hidupnya sebagai kaum muda, semakin ia menemukan jati dirinya dan sebaliknya semakin seseorang tidak menyadari akan “ada”nya sebagai kaum muda maka semakin dia merasa bingung dengan dirinya[5].   Penulis merasa dengan adanya diskusi tentang penetapan batasan umur dan beberapa karakter dari kaum muda, akan sedikit memberi gambaran siapa itu kaum muda. Di dalam Gereja sendiri dengan adanya kelompok kategorial seperti Mudika atau kelompok pelajar, sedikitnya memberikan gambaran dan batasan; siapa kaum muda itu. Untuk itulah di dalam Gereja orientasi pembinaan kerohanian kaum muda juga memiliki sudut pandang dan metode yang berbeda ketika berhadapan dengan kelompok ini.
2.3. Dampak Pers bagi kaum Muda Katolik
Penulis mencoba untuk membaginya menjadi dua bagian yaitu dampak positif dan negatif.
 Dampak Positif :
v  Sebagai sumber ilmu dan dan pengetahuan umum guna memperluas wawasan kaum muda. Kaum muda menggunakan media komunikasi untuk menambah pengetahuannya. Dengan adanya internet, komputer, televise, radio dan sebagainya, kaum muda dapat memperoleh informasi sebanyak-banyaknya. Jika anak muda menggunakan sarana-sarana tersebut maka mereka akan memiliki dedikasi yang tinggi untuk membangun Gereja dan masyarakat.
v  Sebagai sarana bagi kaum muda untuk hidup berdemokrasi serta menumbuhkan kepekaan dan kepedulian sosial. Kaum muda sendiri menggunakan sarana tersebut untuk dapat mengungkapkan aspirasi. Tidak zaman lagi kaum muda turun ke jalan-jalan untuk berdemontrasi menyuarakan ketidakadilan. Kaum muda dapat dengan muda berdemontrasi melalui media komunikasi memberi kritikan dan diskusi lewat jalur media masa seperti menulis di majalah atau Koran. Melalui cara demikian, orang muda mulai menemukan cara terbaik untuk belajar berdemokrasi.  
v  Sebagai ajang untuk mengasah dan memurnikan hati nurani dan motivasi hidup kaum muda. Kaum muda yang matang dan dewasa ialah kaum muda yang memiliki sikap selektif dan antisipatif terhadap pengaruh buruk dari media komunikasi.
v  Sebagai tempat untuk menyalurkan dan mengembangkan bakat-bakat mereka dalam berbagai bidang.
Dampak Negatif:
v  Menciptakan budaya instant dan individualis
Keterlibatan kaum muda di dalam Gereja sudah mulai menurun. Salah satu faktornya karena kehadiran media komunikasi. Orang muda yang memiliki fasilitas yang lengkap di rumah akan cenderung untuk tetap tinggal di rumah. Mereka cenderung untuk tidak mau bergaul dengan orang-orang di sekitarnya dan lebih parah lagi menjauh diri dari perkumpulan rohani. Orang muda mulai berpikir bahwa mengikuti kegiatan mudika di Gereja atau KMK di universitasnya tidak membawa manfaat sedikitpun. Bagi mereka mungkin lebih tinggal di depan computer atau internetitulebih bermanfaatjika dibandingkan hanya menghabis banyak waktu untuk berhura-hura di Paroki. Mereka juga tidak mau banyak berkurban. Mengikuti kegiatan muda-mudi Gereja hanya menyita banyak waktu.
v  Mengesampingkan nilai-nilai luhur budaya dan agamanya
Media komunikasi menjadi ajang untuk mengadopsi budaya asing. Misalnya trend berpakaian “buka-bukaan” menjadi model yang popular sehingga muda-mudi terhipnotis dengan trend tersebut. Budaya kesopanan yang diwarikan oleh budaya sendiri mulai terlupakan. Budaya kekerasaan bertumbuh subur di kalangan kaum muda oleh karena tayangan TV yang menampilkan acara yang bernuansa kekerasaan seperti Boxing, smackdown dan sebagainya.
v  Kesulitan dan kebingunan untuk menentukan orientasi hidup
Krisis dalam kehidupan kaum muda yaitu orientasi hidup. Kaum muda yang tidak matang dalam hidupnya akan kesulitan menentukan masa depannya. Semuanya itu muncul karena tumbuh dalam diri kaum muda mentalitas instant yaitu merasa cepat puas dengan saat ini sehingga lupa untuk mempersiapkan masa depan
III. Keprihatinan dan Strategi Pastoral terhadap persoalan kaum Muda
                  Persoalan kaum muda tidak akan pernah tertuntaskan. Gereja sendiri memberi tempat yang utama bagi kaum muda. Fenomena lunturnya semangat keterlibatan kaum muda di dalam Gereja menjadi persoalan yang cukup serius yang dihadapi Gereja oleh karena kaum muda adalah harapan dan masa depan Gereja (GE 2,10)[6]. Para petugas pastoral harus mensiasati berbagai cara untuk dapat membimbing dan mengarahkan kaum muda ke arah yang benar. Suatu paroki yang tidak menghidupkan kaum mudanya di dalam tugas Gereja maka paroki itu akan mati. Untuk itulah para petugas pastoral harus memikirkan cara-cara yang kreatif agar pembinaan kaum muda tetap mendapat perhatian utama. Hanya beberapa Paroki dari keuskupan Malang yang sungguh menghidupkan kaum muda.
      Pertanyaan mendasar yang muncul; apakah Gereja sendiri meliht Pers sebagai sesuatu yang buruk? Apakah Gereja pantas mempersalahkan kaum mudayang terbaa terbawa arus dan pengaruh kemajuan zaman khususnya pengaruh dari kemajuan Pers? Sebenarnya apa usaha Gereja untuk tetap mengantar kaum muda kepada pencarian akan Allah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus melihat sejauh mana lembaga-lembaga pastoral sungguh bekerja keras membina kaum muda. Bagi penulis ada beberapa strategi untuk mensiasati persoalan tersebut.
a.      Pembinaan dalam keluarga (Orang tua)
Keluarga merupakan lembaga yang memberi dasar bagi pembentukan kepribadian anak. Jika orang tua sendiri tidak menanamkan dasar iman secara kuat maka dengan sendirinya dalam perkembangan menjadi orang muda, seseorang akan cepat terbawa oleh arus zaman yang membawa kehancuran bagi dirinya. Langkah konkret yang dibentuk oleh orangtua untuk membina iman anaknya misalnya mengadakan doa bersama dalam keluarga, merenungkan kitab suci secara bersama, atau ketika masih kanak-kanak, anak diajak untuk mengikuti sekolah minggu atau menjadi anggota misdinar. Ketika menjadi orang muda, anak diajak atau sedikit mendesak untuk bergabung dalam kelompok mudika baik dalam lingkungan maupun dalam paroki. Semakin anak terlibat aktif dalam Gereja, anak tersebut akan melihat hal-hal yang menjadi prioritas dalam hidupnya.
Selain itu, perhatian orang tua terus berlangsung hingga anak sudah hidup mandiri atau dengan kata lain sudah merajut hidup berkeluarga. Seorang anak muda yang tidak mendapat perhatian orang tua atau dengan kata lain orang tua yang terlalu memberi kebebasan kepada anaknya maka anak akan merasa tidak ada yang mengawasi sehingga bebas untuk bertindak apa saja sesuai dengan keinginannya sendiri. Orang tua harus pula menuntun anaknya memperkenalkan hal-hal baru misalnya sarana-sarana telekomunikasi seperti handphone,internetdan sebagainya sambil menunjukan dampak baik dan buruknya sehingga anak tahu membedakan kualitas ini dari sarana-sarana tersebut.  
b.      Pastoral lingkungan dan Paroki (Gereja)
Gereja sendiri sudah lama menaruh  perhatian dalam pembinaan kaum muda. Tetapi sekarang, adanya kemerosotan dalam pembinaan kaum muda. Kadang mungkin langkah-langkah yang digunakan oleh petugas pastoral dalam pembinaan kaum muda kurang tepat. Misalnya kaum muda yang hidup di kota yang nota bene lebih banyak dipengaruh oleh kemajuan sarana komunikasi harus ditangani secara cukup serius eleh karena langkah pastoral yang diambil dalam pembinaan anak muda di kota sedikit berbeda dengan yang di kampong. Misalnya kegiatan pembinaan di kota lebih bersifat profan misalnya adanya konser band, camping rohani, Outbond dan sebagainya. Tetapi langkah-langkah tidak hanya berhenti sampai disitu tetapi mengungkapkan pembaharuan iman dalam hidup kaum muda. Segala cara harus dapat ditempuh agar anak muda tidak kehilangan jejak. Kegiatan baik lingkungan maupun paroki harus melibatkan kaum muda. Saya terkesan dengan komisi kepemudaan Surabaya yang dengan susah payah berjuang untuk membina kaum muda. Para petugas pastoral harus lebih banyak sabar dan semangat untuk membina kaum muda. Bagi penulis, mereka telah mengambil langkah awal yang baik yaitu menghimpun para petugas pastoral kaum muda. Semua cara pastoral yang ditempuh harus tetap mempertahankan satu nilai dasar yakni menghantar kaum muda untuk semakin bertumbuh dalam iman
c.       On going formation
Pembinaaan iman tidak hanya berhenti pada satu tahap saja misalnya anak-anak atau kaum muda saja tetapi berlangsung seumur hidup. Demikianpun terjadi bagi kaum muda dimana kaum muda yang telah mengalami pertumbuhan harus tetap mempertahankan kala memasuki tahap berikutnya misalnya hidp berkeluarga. Hal ini mau menunjukan bahwa apa yang dihidupnya selayaknya dihidupkan oleh orang-orang disekitarna seperti saudara-saudara dan keluarganya. Bagi penulis, inilah pembinaan yang paling efektifkarena tanpa harus melibatkan banyak pihak dalam pembinaan generasi selanjutnya. Kebanyakan keluarga muda katolik yang berhasil dan bahagia oleh karena dekat dan terlibat dalam kegiatan Gereja dan mengambil bagian secara penuh dalam pembinaan diri dan persekutuan. Pembinaan dan pengalaman iman yang di dapat kaum muda sekarang menjadi pertahanan dalam menghadapi arus Globalisasi yang dak dapat dihentikan lagi. Profilkaum muda yang ingin dicapai ialah kaum muda yang berkepribadian kuat dan memiliki keyakinan diri yang kokoh, suara hati yang jernih, kebebasann dan tanggungjawab pribadi yang berdaya cipta dan membangun. [7]

III.             Penutup



[1] John Dami Mukese. Menjadi Manusia Kaya makna. Jakarta: Obor. 2006. hal. 118
[2] Ibid., hal. 121
[3] Dunia dewasa ini telah dikuasai oleh alat-alat teknologi. Segala lapisan masyarakat seolah-alah tidak bisa hidup tanpa sarana-sarana tersebut. Semakin banyak orang menciptakan budaya media dalam hidupnya. Semakin banyak orang menggunakan alat komunikasi semakin pula hidupnya diatur oleh sarana tersebut sehingga menciptakan suatu budaya media. Lukas Batmomolin dan Fransiska Hermawan. Budaya Media. Ende: Nusa Indah, 2003. hal. 46
[4] Philip Tangdilitin, Pembinaan Generasi Muda: visi dan Latihan. Jakarta:obor,1984. hal.5
[5] Dikutip dari artikel yang dituliskan oleh Rm. Reksosusilo,Cm yang berjdul “Quo vadis kaum muda kita di era Globalisasi? Dalam mengisi “Hari studi STFT Diwya Sasana Malang denganTema “Orang muda katolik dalam Pausaran Globalisasi, hal 88-90. .
[6] “Konsili mengingatkan para Gembala jiwa-jiwa akan kewajiban mereka yang amat berat untuk mengusahakan segala sesuatu, supaya seluruh umat beriman menerima pendidikan Kristen terutama angkatan muda yang merupakan harapan Gereja. R. Hardawiryana, S.J (penerjemah)., Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta: Dokumentasi dan penerangan KWi, Obor. 1993. hal. 295

Tidak ada komentar:

Posting Komentar