Jumat, 14 Oktober 2011

Summa Theologica dan Suku Dayak Iban
Relasi Jiwa dan Tubuh



I.                   Pendahuluan
Satu hal yang memberi kepastian dalam seluruh peziarhan hidup manusia ialah bahwa hidup ini dibatasi oleh dua gerbang utama yakni gerbang kelahiran dan gerbang kamatian. Gerbang kelahiran menandai bahwa seseorang masuk dalam kehidupan dunia dan menjadi titik awal dari seluruh pergolakannya sedangkan gerbang kematian menjadi titik akhir yang menutup lebaran hidup manusia di dunia ini. Raga manusia akan membusuk, hancur dan menyatu dengan tanah. Lalu bagaimana posisi dan peran jiwa dalam seluruh ranah kehidupan manusia, khususnya ketika memasuki gerbang kelahiran, menyatu dengan tubuh untuk mengarungi peziarahan hidup? Dan bagaimana nasib jiwa setelah nelewati gerbang kematian?. Bukankah manusia dalam kediriannya terdiri atas tubuh dan jiwa? Sejauh mana jiwa tinggal dan menyatu dalam tubuh yang fana?
Tentunya ada banyak pandangan dan gagasan yang menyoroti topik dan persoalan ini tetapi dalam paper ini, penulis membatasi diri hanya melihat kemungkinan adanya dialog pemahaman antara dua pilar dan sekaligus budaya yang berbeda yakni Thomas Aquinas yang kurang lebih mewakili Gereja dan budaya lokal dari suku Dayak Iban dalam melihat relasi tubuh dan jiwa. Penulis menggambil ulasan Thomas Aquinas dari Summa Theologica, Ia, q. 75, a.1 yang mengulas tentang “apakah jiwa adalah sebuah tubuh (berwujud)? dan didialogkan dengan paham “Mana” menurut masyarakat suku Dayak Iban.
II.                Kodrat Jiwa dalam Summa Theologica Ia, q.75.art.1
Ada tiga keberatan yang muncul dalam Summa Theoligica Ia, q. 75, a. 1 perihal apakah jiwa berwujud atau berdasarkan keberatan yang muncul mempertanyakan apakah Jiwa adalah tubuh?[1] Pertanyaan ini sebenarnya merujuk kepada kedudukan dan prinsip dasar jiwa dalam tubuh manusia. Munculnya keberatan pertama mempersoalkan bahwa jiwa adalah tubuh karena jiwa adalah prinsip penggerak dari tubuh. Dalam arti ini, kesatuan antara jiwa dan tubuh menegaskan keduanya menjadi satu. Sehingga tidak bisa dibedakan lagi antara tubuh dan jiwa. Jiwa dalam tubuh dan tubuh dalan jiwa sehingga dikatakan jiwa dalah tubuh Ada dua sudut pandanga yang secara tegas disoroti, pertama; rupanya sesuatu tidak dapat bergerak kecuali ada yang menggerakan di dalam dirinya. Kedua, jika ada beberapa yang bergerak dan tidak digerakan berarti itu harus menjadi penyebab yang sifatnya kekal dimana pergerakannya tidak dapat berubah. Setiap penggerak yang bergerak adalah tubuh maka jiwa adalah tubuh. Selanjutnya keberatan kedua mengungkapkan bahwa pengetahuan merupakan produk dari suatu keserupaan tetapi tidak ada keserupaan dari tubuh yang tidak berwujud?
Dan Keberatan ketiga menitikberatkan bahwa antara penggerak dan yang digerakan mesti ada kontak. Tetapi kontak hanya terjadi antara tubuh. Karena itu, jiwa yang menggerakan tubuh harus menjadi tubuh.
Sebelum menjawab keberatan ini, Thomas menunjukan prinsip-prinsip dasar dari kodrat jiwa. Dikatakan bahwa jiwa merupakan prinsip pertama dari segala sesuatu yang hidup yang disebutnya baik bernyawa maupun segala sesuatu yang tidak bernyawa[2]. Prinsip segala sesuatu yang hidup lebih menunjuk kepada kodrat jiwa sebagai penggerak. Dalam diri manusia, jiwa memainkan peran penting dalam menstimulus gerak dan tindakan tubuh. Untuk mengerti gagasan Thomas ini, penulis mencoba mengambil sebuah contoh sederhana misalnya muncul pertanyaan; mengapa seseorang berdoa? Tindakan berdoa pertama-tama muncul bukan karena reaksi tubuh semata tetapi karena ada gerakan dalam diri yang membangkitkan kesadaran bahwa saya memerlukan apa yang namanya pertumbuhan rohani serentak menegaskan kebutuhan adanya relasi dengan Tuhan sebagai sumber hidup. Gerakan inilah yang memampukan seseorang melakukan tindakan berdoa. Contoh lain, mengapa seseorang menangis atau menampilkan ekspresi sedih? Tentunya setiap tindakan memiliki alasan tetapi sebenarnya ada gerakan dari dalam yang secara tidak langsung mendorong seseorang menangis meskipun konteks sibab bersifat eksternal seperti kecewa atau karena peristiwa kematian dan sebagainya. Tentu semuanya ini secara tidak langsung menunjukan adanya gerakan dalam diri yang terungkap lewat tindakan tubuh. Atau dengan kata lain, jiwa menggerakan tubuh untuk memberi tanggapan atas situasi yang dialami seseorang. Untuk itulah, Hegel selalu menggunakan istilah Kesadara diri yang merujuk kepada jiwa sebagai intrumen penggerak dalam diri seseorang[3].
            Bagi Thomas Aquinas, setiap gerakan mesti ada potensi dan aktualitasnya[4]. Kembali pada contoh di atas bahwa kesadaran akan pentingnya berdoa mendorong seseorang untuk melakukan tindakan menyalahkan lilin, duduk di depan patung lalu berdoa. Potensi yang dimaksudkan disini ialah gerakan yang kuat dari dalam diri sedangkan tindakan berdoa ialah aktualitasnya. Potensi dan aktualitas muncul karena selalu ada gerakan jiwa adalah penggerak menuju kepada aktualitas tubuh. Sampai pada titik ini, penulis melihat bahwa Thomas, menemukan cela kekeliriuan banyak orang yang beranggapan bahwa jiwa adalah tubuh. Para filsuf kuno juga kurang melihat adanya keterkaitan antara tubuh dan jiwa. Bahkan bagi Plato bahwa tubuh harus dipisahkan dari jiwa karena tubuh lebih diidentikan dengan suatu lahan dosa sedangkan jiwa memiliki nilai kesakralan tersendiri[5]. Tidak mengherankan jika para filsuf kuno lebih melihat keberpisahan antara jiwa dan tubuh. Justru melalui keberatan dan jawaban Thomas ini, penulis justru melihat diskusi yang hebat antara persoalan kebersatuan antara tubuh dan jiwa. Begitu bersatunya tubuh dan jiwa sehingga orang jatuh dalam identifikasi ekstrim kebersatuan antara tubuh dan jiwa
Dalam menjawab keberatan pertama Thomas Aquinas mensikapi bahwa jiwa ada dalam tubuh karena jiwa adalah prinsip penggerak dari tubuh. Dua hal yang menjadi pegangan dalam memahami persoalan ini yakni sesuatu bergerak karena ada yang menggerakan di dalam dirinya. Kiranya analogi ini menjadi alat bantu untuk mengerti pemahaman Thomas di atas. Bahwa sesuatu yang memberi panas karena di dalam dirinya mengandung panas dan memiliki potensi untuk mengeluarkan panas dansebaliknya sesuatu yang tidak memiliki panas tidak akan mengeluarkan panas. Api selalu mengeluarkan panas karena di dalam dirinya mengandung energi panas. Pegangan yang kedua, jiwa adalah penggerak yang bergerak karena dia tinggal dalam tubuh. Dalam arti ini, Thomas ingin menunjukan bahwa efektifitas jiwa terjadi dalam tubuh. Mengutip gagasan Merleu Ponty, perihal konsep tubuh dalam arti ini adanya relasi kodrati timbal balik antara tubuh dan jiwa[6]. Jiwa mengungkapkan identitasnya dalam tubuh demikianpun tubuh mendapat kepenuhannya dalam jiwa. Jantung yang dimiliki seseorang boleh berdetak normal pada saat biasa tetapi seketika akan berubah cepat karena situasi dalam diri timbul karena rasa cemas, kecewa, marah dan sebagainya. Dalam arti ini, penulis tidak membatasi diri, memahami detak jantung sebagai proses aktualiasasi jiwa yang terbatas pada kondisi psikologis atau mental seseorang tetapi penulis hendak menegaskan perpektif Thomas bahwa jiwa memiliki kesatuan dalam relasi kodrati dengan tubuh dalam keutuhannya. Dalam menjawab keberatan kedua, Thomas mau menunjukan bahwa pengetahuan itu muncul karena ada relasi fungsional antara tubuh dan jiwa. Pengetahuan tidak akan muncul sebagai pengetahuan jika jiwa tidak mampu bekerja sama dengan tubuh. Misalnya otak sebagai intrumen berpikir akan menjadi efektif karena ada gerakan dari jiwa. Sesuatu yang diproduk secara empiris lahir dari kerja sama antara jiwa dan relaksasi tubuh. Dan dalam keberatan ketiga, Thomas Aquinas, mengamini bahwa antara penggerakan dan yang digerakan harus ada kontak tetapi Thomas menerangkan lebih jauh bahwa kontak antara keduaya harus memiliki dua kualitas yakni dari sudut “kuantitas” dan “kekuatan” dan hal ini hanya akan terjadi dalam tubuh. Kiranya contoh api masih relevan untuk mengatakan bahwa kobaran api yang semakin besar (kuantitas) akan menentukan energi “kekuatan” panas yang dipancarkannya.
Dari pergulatan Thomas Aquinas, penulis menyoroti satu point penting yang ditunjukan Thomas dalam menjawabi keberatan di atas bahwa jiwa sebagai sumber penggerak dari tubuh memiliki sifat yang kekal. Dalam arti ini bahwa Jiwa tidak dapat dibatasi oleh dua pintu gerbang utama yakni gerbang kelahiran dan gerbang kematian. Jiwa itu ada sebelum seseorang lahir, tinggal dalan tubuh dan kemudian tidak akan hancur dan membusuk bersama tubuh tetapi mencapai kepenuhan paling sempurnah dalam Allah. Untuk itulah jiwa memiliki sifat yang kekal. Pengembaraan jiwa kemudian bagi Thomas menuju kepada Allah. Karena itulah, hidup di dunia akan mencapai kesempurnaan apabila jiwa senantiasa dikuduskan. Proses pengudusan selalu dalam kerjasama dengan sumber penggeraknya yakni jiwa. Pencarian jiwa di dunia bagi Thomas sifatnya sementara dalam kebersatuan dengan tubuh tetapi keutuhan kebersatuan hanya terjadi dalam dan bersama Allah.
III.             Konsep Mana dalam Masyarakat Suku Dayak Iban
Suku Iban merupakan salah satu bagian suku dari suku dayak. Masyrakat suku ini seperti masyarakat dayak pada umumnya memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Hal ini terbukti dengan adanya banyak upacara yang dibuat untuk menghornati Petara, (suatu istilah untuk merujuk pada wujud tertinggi). Bagi mereka, wujud tertinggi bisa menjelma dalam bentuk apapun tetapi penjelmaan wujud tertinggi lebih khusus terjadi melalui Mana. Istilah Mana merujuk kepada sesuatu yang tidak berbentuk tetapi justru menunjukan manifestasi dari wujud tertinggi. Arti harafiah dari Mana ialah ”sakti” yaitu penggerak hidup atau materi jiwa-jiwa[7]. Kata materi jiwa-jiwa tidak hendak menunjukan bahwa jiwa memiliki wujud tertentu atau memiliki bentuk tetapi merujuk pada suatu daya yang luar biasa yang terdapat dalam diri manusia. Selanjutnya dalam arti luas, Mana diartikan sebagai ”kekuatan menyeluruh di dalam tubuh manusia tetapi khusus kepada organ-organ vital tertentu yang bertumbuh dan berkembang”[8]. Misalnya orang Iban beranggapan bahwa rambut memberi kekuatan tertentu bagi setiap orang. Maka tidak  mengherankan bahwa orang Iban baik laki-laki maupun perempaun berambut panjang karena bagi mereka dengan memelihara rambut, seolah-olah mereka menjaga kekuatan dalam diri. Bagi penulis, bukan persoalan memelihara rambut tetapi kekuatan yang mengalir melaluinya. Selain itu, contoh ini mau mengungkapkan bahwa kekuatan dari dalam diri tidak bisa dilukiskan dan diartikan secara kasat mata sehingga upaya simbolisasi seperti rambut kurang lebih menjadi usaha orang Iban dalam mengartikan Mana. Atau misalnya, orang yang selalu beruntung dalam berburu dianggap orang yang sakti atau memiliki kekuatan yang lebih dari orang lain. Kejelihan dan keahlian seseorang dalam berburu merepresentasikan keberadaan Mana dalam diri seseorang.
Dalam arti inilah ”Mana” tidak merujuk kepada organ vital, zat atau benda tertentu tetapi lebih sebagai kekuatan dalam diri yang menggerakan mereka untuk bertindak. Dan kekuatan itu, dipandang ada sejak lahir dan terus mengalir dan tidak tahu kapan akan hilang meskipun tubuh akan hancur dan membusuk. Bagi mereka, kekuatan tersebut menjadi penggerak baik untuk pertumbuhan fisik seseorang maupun kekuatan spiritual yang melindungi seseorang dari pengaruh jahat yang datang dari luar diri. Misalnya saja, pada saat seorang bayi atau siapa saja yang sakit biasanya orang-orang yang dekat dengannya selalu mengucapkan kata-kata  ”Kin Semangat’ yang berarti ”jiwa, kembalilah![9]. seruan ini bukan hanya sekadar diucapkan tetapi orang Iban melihat bahwa pada saat seseorang sakit, jiwa tidak menjadi benteng pertahanan yang kuat bagi tubuh. Sehingga apabila jiwa tidak bekerjasama baik dengan tubuh maka tubuh akan cepat terserang penyakit atau kuasa jahat. Karena itu, orang Iban selalu mengenakan simbol tertentu untuk mengungkapkan kekuatan (jiwa) tersebut seperti mengenakan gelang atau perhiasan pada anak yang sakit. Menurut kepercayaan mereka, apabila kuasa jahat melihat gelang atau perhiasan yang dikenakan anak tersebut, roh jahat akan lari dan tidak mendekati anak tersebut karena anak tersebut memiliki dalam dirinya kekuatan yang luar biasa (mana). Dari gambaran ini terlihat jelas bahwa jiwa yang diartikan sebagai kekuatan dalam diri malaikat dalam tubuh dan mempengaruhi setiap pergerakan hidup manusia.
Konsekuensi lebih lanjut dari gagasan ini bahwa orang dayak Iban sungguh meyakini Mana (jiwa) memiliki keterkaitan dengan Petara (wujud tertinggi) karena apa yang disebut Mana ialah kekuatan dalam diri yang menantang segala hal buruk dan jahat yang membahayakan diri[10]. Hal ini terungkap jelas dalam keseharian,  misalnya dalam arti terntu ada kata-kata atau perbuatan yang tidak boleh diaktualisasikan karena sama sekali bertentangan dengan Mana misalnya kata-kata kutukan atau tindakan membunuh hewan langkah di hutan karena hal tersebut mendatangkan malapetaka bagi diri sendiri. Orang Iban beranggapan bahwa Petara (wujud tertinggi) sebagai pencipta hanya menginginkan adanya kebaikan dalam diri dan Mana menjadi benteng yang kuat dalam mempertahankan pertumbuhan nilai baik dalam diri manusia. Tidak mengherankan misalnya upacara Sampi (upacara mohon berkat untuk membuka ladang) atau upacara adat lainnya selalu dimulai dengan litani yang mengungkapkan doa kepada Petara untuk mendatangkan kebaikan dan kemakmuran bagi masyarakat Iban. Demikianpun, ketika masa-masa memanen tiba, orang Iban juga mengadakan upacara syukuran kepada Petara yang telah menumbuhkan dan mengusir segala hama yang menyerang tanaman sehingga memberikan hasil yang baik bagi mereka. Ungkapan religiusitas ini memberi arti bahwa kekuatan dari Petara tidak berada jauh dari mereka tetapi dekat dan tinggal dalam diri manusia. Kekuatan itu hanya bisa di sadari dan dikembangkan dalam diri.
Dalam relasinya dengan tubuh, masyarakat suku Iban melihat bahwa tubuh memang akan mati dan membusuk tetapi jiwa tidak akan mati. Manusia tetap hidup walaupun telah meninggal. Setelah melewati pintu gerbang kematian, jiwa seseorang meninggalkan begitu saja keterikatan dengan orang-orang di sekitarnya tetapi tetap membangun relasi yang baik dengan saudara-saudaranya. Untuk itulah, bagi mereka meskipun seseorang meninggal, dia tetap dianggap sebagai anggota suku Iban. Hal ini dilatarbelakang oleh kepercayaan bahwa setelah kematian, arwah orang yang meninggalkan akan menetap di hutan dan suatu saat berkat ijinan para dewa dan Petara, jiwa tersebut akan menjelmah baik dalam diri manusia (reingkarnasi), hewan maupun benda-benda mati seperti batu, pohon dan sebagainya. Untuk itulah, jiwa tidak hanya ada dan menyatu dalam tubuh manusia tetapi juga menjelmah pada mahkluk lain. Dalam hal inilah, orang Iban memiliki kepercayaan bahwa alam semesta memiliki jiwanya sendiri karena alam semesta dapat mengatur dan mengembangkan dirinya sendiri. Gejala kebakaran hutan, gempa bumi dan sebagainya menjadi bukti bahwa alam ingin menunjukan kekuatannya. Dalam pengertian inilah, kita dapat melihat bahwa masyarakat suku Iban memiliki penghargaan yang amat tinggi terhadap alam sekitarnya. Aktualisasi jiwa masyarakat Iban tidak hanya terletak bagaimana memelihara Mana dalam diri tetapi juga dalam relasinya dengan jiwa-jiwa dalam alam semesta.
IV.              Analisis Kritis dan Penutup
Dari dua pilar pemahaman tentang relasi tubuh dan jiwa di atas, penulis mencoba melihat kemungkinan akan adanya dialog antara kedua pemahaman ini:
Pertama, harus disadari bahwa jiwa sebagai prinsip pertama penggerak hidup manusia. Sulit untuk menemukan defenisi yang jelas tentang jiwa, bahkan Thomas Aquinas melihatnya bukan hanya sebagai penggerak pertama kehidupan tetapi juga sebagai prinsip munculnya pengetahuan dalam kebersatuannya dengan tubuh. Sehubungan dengan ini, masyarakat suku Iban melihat bahwa jiwa sebagai kekuatan dalam diri yang menghidupkan manusia. Kedua kata yang digunakan diatas baik Thomas maupun Masyarakat Iban dalam menggunakan kata ”kekuatan” sebenarnya memiliki maksud yang sama bahwa hidup manusia harus mengalir dari jiwa. Prinsip penggerak dalam bahasa Thomas Aquinas atau prinsip kekuatan menurut masyarakat Iban serentak mengafirmasi akan betapa pentingnya kebersatuan antara jiwa dan tubuh. Tubuh akan menjadi hidup dan kuat berkat campur tangan jiwa demikianpun sebaliknya jiwa mendapat efektifitas dalam dirinya dan dunia berkat adanya dalam tubuh. Tidak dapat disangkal bahwa eksistensi manusia di dunia tidak pernah dilepaspisahkan dari kebersatuan antara tubuh dan jiwa. Dalam arti yang lebih rohani, jiwa menjadi sarana pengudusan tubuh seseorang. Misalnya saja orang Iban takut untuk mengucapkan kata-kata kutukan atau perbuatan yang jahat karena bagi mereka hal ini mengurangi kualitas Mana. Demikianpun Thomas Aquinas juga menegaskan bahwa jiwa dalam kebersatuan dengan tubuh mengejar apa yang dinamakan keutuhan yang berpuncak pada kesatuan dengan Allah sebagai sumber penggerak utama.
Kedua, jiwa memiliki sifat kekal dan tidak dibatasi oleh ruang dan situasi apapun termaksud dunia tidak mampu membatasi ruang gerak jiwa karena jiwa adalah penggerak yang bergerak. Tubuh akan mati, hancur dan menyatu kembali ke dalam tanah tetapi peziarahan jiwa tidak akan pernah berakhir. Misalnya, bagi orang Iban, orang yang telah meninggal masih tetap membangun relasi yang baik dengan orang yang masih hidup. Sehingga mereka sering memberi makan untuk orang yang telah meninggal. Hal ini sebenarnya hanya menjadi saat dimana mereka mengenangkan orang terdekat yang telah meninggalkan mereka.  Tetapi relasi jiwa dan tubuh di dalam dunia dapat dikatakan sebagai proses penyatuan yang semantara sifatnya tetapi harus diakui bahwa jiwa mengalami kepenuhannya dalam keabadian ketika mengalami kebersatuan dengan Allah. Dengan kata lain, peziarahan hidup manusia di dunia harus mencapai kepenuhannya dalam kebersatuan dengan Allah. Kebersatuan yang dimaksudkan bukan tubuh karena tubuh akan hancur tetapi kebersatuan jiwa yang kekal bersama Allah atau dalam bahasa masyarakat suku Iban mengatakan kebersatuan dengan Petara (Allah sebagai wujud tertinggi). Konsekuensi dari kekekalan jiwa ini, menimbulkan pemahama bahwa proses kebersatuan jiwa dengan tubuh, hanya bersifat sementara dan aktualitas  diri tidak terbatas pada aktualiasasi dangkal semata tetapi bertolak dari potensi jiwa.. Misalnya saja upacara Sampi (upacara permohonan berkat untuk membuka ladang) dalam masyarakat suku Iban mengekspresikan tindakan religiusitas kekekalan jiwa atau berdoa dan melakukan tindakan amal dalam bahasa iman menjadi aktualitas dari sifat kekekalan jiwa.
Ketiga, titik temu lain bahwa di satu sisi, proses dialog ini menghantar dan mencerahkan masyarakat suku Iban sendiri yang beriman Katolik dalam mengelaborasikan nilai religiusitas kultural kedalam nilai religiusitas iman Katolik. Kadang masyarakat suku Iban katolik membuat distingsi antara upacara adat dengan ritus Gerejawi. Sehingga tidak jarang jika pada musim tanam atau panen, mereka memiliki kecenderungan untuk tidak merayakan misa mingguan. Tetapi berdasarkan pengalaman penulis, bentuk inkulturatif dalam liturgi seperti Misa dengan intensi utama syukuran panen atau upacara memberkati benih dan sebagainya menjadi langkah awal dari dialog antara Gereja dengan budaya suku Iban. Kadang upacara Ibadat Sabda di lakukan di rumah Betang atau di ladang sebagai upaya Gereja untuk mendekatkan diri pada dimensi religiusitas kultural budaya setempat. Di sisi lain, Gereja harus selalu terbuka untuk berdialog dengan budaya setempat misalnya melihat tindakan kultis setempat seperti  ritus-ritus adat haruslah dilihat dalam kacamata iman. Upacara Sampi, misalnya sebagai ritus permohonan untuk membuka lahan baru tidak dilihat sebagai tindakan heresis atau penyembahan berhala tetapi sarana atau cara lain untuk mendekatkan diri pada Allah. Untuk itulah upaya inkulturitif senantiasa dibaharui dan menyesuaikan diri dengan situasi masyarakat tertentu sambil mempertahankan kualitas dan identitas masing-masing baik dari pihak Gereja maupun budaya setempat.
Selain memaparkan titik temu antara kedua pemahaman ini, penulis juga menyodorkan beberapa catatan kritis yang sekiranya menjadi celah yang tidak membuka kemungkina bagi terjadinya dialog antara dua pemahaman ini. Pertama, kepercayaan suku Iban dalam batasan tertentu cenderung untuk jatuh kepada ajaran animisme karena rasa religiusitas mereka sangat ditentukan oleh kebergantungan pada alam. Misalnya saja, adanya kepercayaan reinkarnasi jiwa atau anggapan bahwa semua mahkluk baik yang bernyawa maupun tidak memiliki jiwa. Tentunya pemahaman semacam ini, beranggapan bahwa setiap mahkluk hidup dan benda mati memiliki nilai jiwa yang sama padahal proses kebersatuan manusia dengan Allah sebagai tujuan akhir pencarian jiwa memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari ciptaan yang lain. Kedua, relevansi dari tindakan ini sebenarnya berguna bagi tugas pastoral untuk menyadarkan umat suku Iban dalam melihat hidup bahwa hidup tidak sepenuhnya bergantung pada alam tetapi membutuhkan usaha dan kerjakeras dalam merealisasikan dorongan jiwa untuk mengoptimalkan tubuh. Misalnya saja, orang Iban masih menganut gaya hidup berpindah-pindah ladang sehingga hasilnya sangat ditentukan oleh alam. Tetapi sebenarnya sebagai upaya untuk mengaktualisasikan pengetahuan sebagai proses gerakan dari jiwa untuk seperti mempelajari cara bercocok tanam yang baik dan produktif. Akhirnya mentalitas yang terbentuk dalam masyrakat Iban bukan lagi mentalitas kebergantungan pada alam tetapi berpijak pada  kemampuan dan usaha setiap orang.
Dari seluruh rangkaian pemahaman ini, penulis hendak mengatakan bahwa relasi jiwa dan tubuh dalam diri manusia berlangsung sejauh tubuh masih hidup di dunia ini. Keterputusan antara tubuh jiwa dan tubuh terjadi kala tubuh mati. Selain itu, relasi jiwa dan tubuh bisa digambarkan sebagai proses aktualisasi tubuh atau organ tubuh yang bertitik tolak dari jiwa sebagai penggerak atau kekuatan serta menjadi sebab pertama munculnya pengetahuan.











DAFTAR PUSTAKA

Aquinas, Thomas, Summa Theologica, Ia, q.75,a.1

Beong, Dr. Konrad Kebung SVD, Jalan Menuju Pengetahuan yang Benar,            (Yogyakarta: Kanisius, 1997)

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2007)

Kessel, Mgr.L.Van, Adat Istiadat suku Dayak, (sintang; 1975)






[1] S.T.Ia, q. 75, a. 1, ad.1
[2] Ibid. ad.2
[3] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2007), hal. 182
[4] S.T.Ia, Op. Cit., ad. 3
[5] Dr. Konrad Kebung Beong, SVD, Jalan Menuju Pengetahuan yang Benar, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hal. 53.
[6] S.T.Ia, Op.Cit, ad. 4
[7] Mgr. Van L. Van Kessel, Adat Istiadat Suku Dayak (Sintang, 1975), 36
[8] Ibid., hal.45
[9] Ibid., hal. 38
[10] Ibid., hal. 34
RITUS SU’I UWI MASYARAKAT BUDAYA NGADA DALAM DIALOGNYA DENGAN PEMAHAMAN EKARISTI MENURUT THOMAS AQUINAS
                                    (Apolinaris Dari Bani, SMM)

            Upacara Reba merupakan upacara terbesar dan terakbar yang dirayakan oleh masyarakat suku Ngada pada umumnya. Acara ini biasanya dirayakan secara berturut-turut selama delapan hari. Pada hari-hari ini, masyarakat setempat biasanya tidak banyak melakukan aktivitas kerja seperti pergi ke ladang atau sawah. Bagi mereka saat ini merupakan momentum penting selain sebagai saat berkumpul bersama keluarga juga dilihat sebagai upacara syukuran atas segala hasil panen, perlindungan atas marabahaya dan cobaan serta syukuran atas kesuburan yang dicurahkan oleh “Ema Dewa”(Wujud Tertinggi)..
            Dari seluruh rangkaian upacara itu, ritus Su’i Uwi merupakan ritus pusat dan puncak dari seluruh rangkaian upacara akbar tersebut. Upacara ini ditandai dengan persembahan umbian-umbian (Uwi) yang terbaik kepada dewa tertinggi (Ema dewa). Umbi-umbian (uwi) ini diyakini oleh masyarakat Ngada sebagai suatu jenis makanan yang secara langsung diberikan oleh Dewa Tertinggi kepada nenek moyang mereka. Dari umbian (uwi) inilah, tumbuhlah jenis makanan lain seperti padi, jagung, sayur-sayuran dan sebagainya. Untuk itulah, sebagai persembahan kepada yang ilahi, masyarakat Ngada mempersembahkan Uwi yang terbaik dan tanpa cacat kepada Ema Dewa Untuk itulah, dapat dikatakan bahwa Uwi melambangkan dan sekaligus mengenangkan masyarakat Ngada akan berkat dari Yang Ilahi serta ucapan syukur atas segala karunia yang diterima.
            Pada kesempatan ini, selain melihat makna dari ritus Su’i Uwi sebagai ritus sentral dan puncak dalam upacara Reba ini, penulis juga melihat kemungkinan akan adanya dialog antara ritus Su’I Uwi dengan makna Ekaristi dalam persepktif Thomas Aquinas khususnya menyorotinya dari segi simbolisasi sebagai tanda (saksramen) kehadiran Allah. Dilihat dari aspek  berkat yang berlimpah dari Tuhan, sebagai perjamuan syukur dan permohonan. Kedua ritus ini juga hendak menegegaskan dimensi kesatuan dan keselamatan bagi umat. Keselamatan hendak mengatakan bahwa tujuan akhir hidup manusia terarah kepada kebersatuan dengan Yang Ilahi. Untuk itulah, selama hidup, manusia harus selalu membangun relasi yang baik dengan Yang Ilahi.