Jumat, 16 September 2011

KEMBALI KEPADA BENDA-BENDA ITU SENDIRI”
Sketsa Sederhana Fenomenologi Edmund Husserl
(Dalam Relasinya dengan Realitas Undang-Undang Pornografi)

I. PENGANTAR
            Berfenomenologi pada dasarnya adalah sebuah pergulatan yang masuk dalam koridor filsafat khususnya  berfilsafat dalam kesadaran akan adanya realitas yang tampak kepada kita. Realitas yang tampak itu menampakan diri dengan sagala apa yang mencakup keseluruhan adanya yakni apa yang membuat realitas itu ada sebagaimana ia tampak kepada kita sebagai kebenaran. Sehingga dengan tegas Husserl mencoba untuk mengatakan bahwa fenomena itu harus dipandang dari dua segi yaitu pertama, fenomena selalu menunjuk keluar atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Dua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita.[1] Oleh karena itu, Husserl mengajak kita untuk memahami apa itu fenomenologi dan bagaimana berfenomenologi. Sebagai sebuah relevansi penulis mencoba untuk masuk dalam sebuah persoalan yang sedang terjadi dewasa ini yakni soal  kontroversi rancangan undang-undang antipornografi dengan metode Husserlian.

II. FENOMENOLOGI: SEBUAH DIALOG BARU
            Fenomenologi itu sebuah dialog, sebuah percakapan dengan dan tentang fenomen. Kita menyebut “dialog dengan”
atau “percakapan dengan” sebab memang setiap pengetahuan itu adalah dialog dengan apa yang menjadi obyeknya. Sebagaimana halnya, sejarah itu adalah dialog dengan masa lalu, dengan metode tertentu, sehingga dapat menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara logis.[2] Demikianpun fenomenologi itu sebuah dialog dengan fenomen untuk menemukan kebenaran yang murni dan obyektif. Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah–langkah yang Harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran murni manusia.[3]
            Fenomenologi lahir ke dalam dunia filsafat oleh karena kesadaran Edmund Husserl (1859-1938) bahwa “prinsip segala prinsip” ialah intuisi langsung, tanpa perantaraan atau tidak dengan menggunakan pengantara apapu
n dengan realitas. Menurut Husserl Prinsip segala prinsip ini merupakan bagian penting yang dipakai dalam filsafat, artinya hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat dianggap benar dan dapat dianggap benar “sejauh dibenarkan”.[4] Lalu bagaimana Husserl menjelaskan fenomenologinya?

2.1. KEMBALILAH PADA BENDA-BENDANYA SENDIRI
            Seluruh pembahasan Husserl tantang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri). Dengan pernyataan ini, Husserl menghantar kita untuk memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakan diri kepada kita.
Ciri khas pemikiran Husserl yaitu tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat di atas. Bagi Husserl pernyataan ini ini hendak mengungkapkan Sesuatu yaitu untuk menghantar kita manusia sebagai subyek lebih memahmi realitas itu apa adanya serta mendeskrpsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menmpakkan diri kepada kita. Namun sesungguhnya usaha kembali pada benda-benda itu sendiri, bagi Hussrel dalam kembali kepada realitas itu sebagaimana dia tampil dalam kesadaran kita. Apa yang tampil kepada kita itulah yang disebut fenomena.[5]
Sekarang kita hendak mengerti fenomenologi Husserl secara sederhana sebagaimana saya dan anda mampu memahami dalam keterbatasan kita. Sebagaimana diuraikan di
atas bahwa Husserl mengajak kita untuk menangkap realitas dalam kesadaran kita. Kita bertemu dengan realitas dalam pengertian kita. Dalam pertemuan itu, realitas menampakan diri dan menggejala, namun di satu sisi realitas itu menyembunyikan diri.[6]Aneh bukan? Pengertian kita tentang suatu hal bisa bertambah bahkan menjadi sempurna oleh karena usaha kita yang terus-menerus mencari tahu, pada saat itulah realitas menampakan diri dan menggejala dalam pikiran kita. Namun, pada saat yang sama realitas itu sebenarnya masih menyembunyikan diri. Sadar atau tidak bahwa dalam bertemu dan mengerti realitas kita juga terpengaruh oleh pendapat atau pandangan-pandangan orang lain, agama, adat, atau pandangan ilmu pengetahuan. Hal ini serupa dengan apa yang dikatakan Emanuel Kant. Bagi Kant, ketika manusia bertemu dengan realitas, yang tampak kepada manusia bukanlah realitas itu sebagaimana adanya melainkan gejala-gejala yang membuat realitas itu ada. Dengan kata lain, Kant mau mengatakan bahwa manusia tidak dapat berhadapan dengan realitas secara langsung. Manusia hanya bisa melihat gejala yang tampak dari realitas itu.[7] Misalnya kita melihat sebuah meja, bagi Kant yang tampak kepada kita bukanlah meja apa adanya melainkan gejala-gejala yang membuat meja itu tampak kepada kita. Daya inderawi yang membuat kesan dalam suatu fantasi menjadi sebuah gambar meja ini, bagi Husserl realitas itu sendiri nampak tersembunyi di balik gejala-gejala yang tampak dalam pengertian kita, dan menjadi penghalang untuk kita dapat berdialog dengan realitas secara langsung.
Dengan keyakinan bahwa kita dapat melihat realitas yang sebenarnya, Husserl mengajak kita untuk menghilangkan kabut yakni ”gejala yang tampak kepada kita dari realitas” agar dapat sampai pada realitas yang semurni-murninya. Bagi Husserl, kabut inilah yang menghalangi manusia untuk sampai pada pengertian yang sebenarnya tentang realitas. Untuk cita-cita luhur ini, Husserl berteriak kepada kita “nach den sachen selbst”( kembalilah kepada benda-bandanya sendiri).[8] Bagaimanakah Husserl menjelaskan pemikirannya
 ini?
         Dalam hidup kita, kita selalu mengerti realitas bukan sebagaimana adanya realitas itu mesti kita bawa dalam perspektif kita melainkan realitas yang telah dipengaruhi oleh perspektif orang lain, agama, adat, atau perspektif ilmu pengetahuan.[9] Misalnya kita mau mengerti tentang apa itu seksualitas. Bagaimanapun juga kita seringkali melihat seksualitas itu sebagai sesuatu yang tabu, terlarang dan tak pantas dibicarakan oleh karena memang kita telah dibesarkan dalam perspektif umum bahwa seksualitas itu tabu dan terlarang. Bila demikian, inilah yang dikatakan Kant sebagai gejala-gejala yang keluar dari realitas dan yang menampakan diri kepada kita.
Justru bagi Husserl, inilah kabut yang menghalangi kita untuk sampai pada realitas yang murni, untuk mengerti seksualitas itu semurni-murninya. Untuk hal ini, Husserl mengajak kita untuk melepaskan diri dari segala pandangan baik agama, adat, maupun ilmu pengetahuan, dan kalau kita berhasil kita akan mengerti apa adanya realitas itu. Bagi Husserl, segala gejala yang nampak keluar dari realitas, bukanlah inti dari realitas itu, dan semua yang bukan inti harus diletakan dalam tanda kurung.[10] Setelah semuanya itu, Husserl mengajak kita untuk sampai pada hakikat realitas itu sendiri. Inilah pengertian yang murni.

2.2. IDEALIS ATAU REALIS?
             Akhirnya pertanyaan ini hanya mampu kita ajukan bila kita sungguh-sungguh memahami alur pikiran Husserl, sebab bukan tidak mungkin kita terjebak dalam anggapan sementara kita bahwa fenomenologi Husserl itu realis. Oleh karena Husserl sendiri menekankan untuk menembus kabut dan kembali pada realitas sendiri sebagaimana realitas itu menampakan diri kepada kita. Selain itu juga keistimewaan kesadaran ialah sifatnya selalu tertuju kepada sesuatu di luarnya atau bersifat intensional. Kesadaran semata-mata sebenrnya tidak ada, karena ia tidak mungkin hampa belaka, melainkan selalu merupakan kesdaran tentang sesuatu. Ia selalu terhubungkan atau tertuju kepada sesuatu. Dengan demikian, fenomena merupakan hasil dari pengalaman ketertujuan kesadaran kita tentang suatu objek atau kenyataan.[11]Nach den sachen selbst. Itu semua untuk satu tujuan menemukan kebenaran yang semurni-murninya.
Fenomenologi Husserl adalah sebuah revolusi atas filsafat barat. Dalam usaha kembali kepada benda-benda itu sendiri, Husserl menekankan pentingnya kesadaran akan realitas apa adanya, dan akan tidak adanya penghalang bagi kita untuk sampai pada realitas itu sendiri. Di sinilah Husserl menunjukan perbedaannya dengan Descartes yang juga menekankan pentingnya kesadaran. Dalam filsafat barat, Descartes memang menekankan kesadaran, tapi kesadaran cartesian itu sifatnya tertutup oleh karena Descartes berkata “cogito ergo sum”, saya berpikir maka saya ada.
Oleh karena hal ini maka idealisme menghalakan seluruh realitas pada hal-hal yang manusiawi. Artinya realaitas itu terlepas dari pemikiran. Titik tolak idelaismenya adalah cogito yang absolut. Segala sesuatu harus dimengerti berdasarkan cogto itu, sehingga akibatnya idealisme memutarbalikan pendapat realism: dunia ada sejauh bergantung pada kesadaran yang absolut. Realiatas itu sama dengan realiatas yang dipikirkan.[12]Dengan kata lain, Descartes memang mau mengatakan bahwa segala sesuatu itu ada karena saya berpikir. Di sini Descartes menekankan pentingnya kesadaran akan pengenalan diri. Bagi Descartes, hanya dengan berpikir dan mengenal kesadaran diri, kita bisa sampai pada pengenalan akan realitas. Selain itu juga ia berpendapat bahwa aku sadar menunjukkan bahwa aku ada. Artinya, kesadaran akan aku adalah sama dan sebangun dengan adaku atau dengan kata lain, kenyataan atau ada itu diciptakan oleh kesadaran.[13]
           Bagi Husserl, kesadaran itu pada hakikatnya selalu terarah kepada realitas. Dengan kata lain, Husserl mau mengatakan bahwa kesadaran itu berarti kesadaran akan sesuatu, sebagaimana sesuatu itu tampak kepada kita. Kesadaran bahwa sesuatu itu memiliki dirinya sendiri yang tak semestinya dinilai atau dilihat hanya apa yang keluar dari dirinya itu, dan segala pandangan atau pendapat yang melekat pada sesuatu itu. Bagi Husserl, kesadaran yang mesti dimiliki adalah kesadaran dalam diri, tetapi bukan pengenalan akan diri sebagaimana yang dikonsepkan Descartes, tetapi kesadaran akan adanya realitas di luar diri manusia, dan realitas itu memang mesti dilihat dan dinilai sebagaimana ia adanya dan sebagaimana ia tampak kepada kita.[14]
Sampai pada titik ini, Husserl hanya mau menegaskan kembali bahwa berfilsafat itu bertolak dari kesadaran. Kesadaran Husserlian bukan kesadaran untuk kembali pada diri lalu menilai realitas, melainkan kesadaran untuk kembali kepada bendanya sendiri, dan menemukan realitas yang murni.
Karena kesadaran pada dasarnya bukan sekedar sebagai kesadaran akan sesuatu melainkan kesadaran dalam sesuatu, artinya kita tidak dapat hanya menyadari sesuatu, melainkan Sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita. Dan itu hanya bisa ditemukan oleh akal budi manusia. Oleh karena bagi Husserl, ketika kita mengamati suatu hal atau realitas yang ada di luar diri kita, akal budi kita tidaklah pasif, dan menerima begitu saja realitas yang tampak kepada kita. Akal budi kita aktif, dalam arti memberi kesan atau pandangan tentang realitas yang tampak kepada kita.[15]
Dengan uraian yang sangat sederhana ini, kiranya kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa fenomenologi Husserlian adalah fenomenologi yang idealis. Tetapi itu bukanlah idealisme subjektif seperti yang dikonsepkan Descartes, melainkan idealisme yang objektif, yang mengarahkan manusia pada kesadaran akan adanya realitas di luar diri manusia yang mesti dinilai sebagaimana realitas itu menampakan diri kepada kita
.
2.3. MARI BERFENOMENOLOGI TENTANG RUU ANTI PORNOGRAFI
           
Satu masalah yang menjadi pokok diskusi bangsa dewasa ini adalah persoalan apakah rancangan undang-undang anti pornografi boleh disahkan menjadi undang-undang atau tidak. Ini menjadi persoalan besar oleh karena topik ini ternyata menimbulkan disposisi pro dan kontra dalam masyarakat. Sesuatu yang namanya “pornografi” rupa-rupanya menjadi musuh yang menakutkan bagi bangsa, dan oleh karenanya yang namanya “pornografi” itu harus dihindari. Mengapa pornografi harus dihindari dan disebut sebagai sesuatu yang terlarang? Bahkan apa yang kita sebut sebagai pornografi dimasukkan dalam sebuah undang-undang khusus. Perdebatan itu kemudian ditanggapi oleh wakil rakyat dan kemudian terbentuklah apa yang kita kenal sebagai undang-undang anti pornografi, dalam undang-undang ini  dikatakan dalam bab I pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada draft terakhir RUU Pornografi menyebutkan, pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.[16]
Husserl mengajak kita untuk menembus kabut itu dan melihat realitas itu apa adanya tanpa pengaruh pandangan atau pendapat agama, adat, atau ilmu pengetahuan agar sampai pada realitas “pornografi” itu sendiri. Pornografi itu hanyalah sebuah graphein atau gambar, dan gambar itu adalah hasil cipta rasa seni manusia, yang seharusnya membangkitkan apresiasi kita akan seni. Persoalan bahwa “graphein” itu ternyata membangkitkan energi yang luar biasa dalam diri kita, itu adalah sesuatu yang manusiawi, yang mesti diterima sebagai keunikan kita. Maka oleh karena “pornografi” itu hanya sebuah “graphein” itu tidak dapat dikatakan sebagai sumber kejahatan atau sesuatu yang terlarang yang mesti kita hindari. Pikiran kitalah yang membuat seolah-olah apa yang merupakan karya seni itu menjadi sesuatu yang tampak terlarang, tanpa kita sadari bahwa dengan demikian kita justru semakin tidak mampu mendekati realitas itu apa adanya. Setiap realitas memiliki kebanaran dalam dirinya sendiri, dan itu hanya bisa kita ketahui bila kita bisa menembus kabut dan menyentuh realitas itu.
IV. Penutup
            Sebuah kebenaran yang otentik dalam filsafat pada dasarnya ditemukan dalam apa yang dirangkai dalam semboyan Husserl yaitu kembalilah kepda benda-benda itu sendiri. Pernyataan ini hendak mengantar kita untuk memahami realitas itu apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menamakan diri kepada kita. Namun usaha untuk kembali kepada benda-benda itu sendiri sangatlah diperlukan sebuah kesdaran. Dalam kesadaran yang penuh, kita sebagai manusia akan kembali mengenal seluruh proses dalam menetukan sekaligus menemukan kebenaran. Undang-undang pornografi merupakan sebuah realitas yang terjadi dewasa ini, sebuah realitas yang menampakan rapuhnya nilai kebenaran. Sebuah kebenaran itu timbul oleh karena kesadaran setiap orang akan setiap realitas yang kita jumpai, karena menurut Husserl setiap realitas pada dasarnya mengandung kebenaran-kebenarannya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Bertens, K. FILSAFAT BARAT ABAD XX, Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 1983.

Bartens, Filsafat Barat Konteporer Prancis, Jakarta: Gramedia,2006.


Hassan Fuad, Pengantar Filsafat Barat, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1996.


Hardiman, Heideger dan Mistik Keseharian, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003 .

Sutrisno, Mudji dan Hardiman F. Budi (eds.). Para Filsuf Penentu Gerak Zaman.
Yogyakarta: Kanisius, 1992.

SudiarjaA.et.al.(eds). Karya Lengkap Driyarkara. Jakarta: Gramedia, 2006.


Internet
http:/ruangmerindukandiadandia.wordpress.com/2010/02/14/fenomenologi-edmund-husserl/diakses 5 mey 2010.

http:/jurnal studi.blogspot.com/2009/03/pemikiran-menurut-edmund_22.html. Di akses pada tanggal 4 mey 2010.


http://pa-banjarmasin.pta-banjarmasin.go.id/indeks.php?-mod artikel&id-14. Diakses pada tanggal 5 Mey      2010.




[1] http:/jurnal studi.blogspot.com/2009/03/pemikiran-menurut-edmund_22.html. Di akses pada tanggal  14    mey 2010.
[2] A. Sudiarja (ed), Karya Lengkap Driyarkara, (Jakarta: Garamedia, 2006) ,  hal.1319.
[3] FX. Mudji Sutrisno dan F. Budi HArdiman (ed), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman,( Yogyakarta:    Kanisius, 1992), hal. 88.
[4] http://pa-banjarmasin.pta-banjarmasin.go.id/indeks.php?-mod artikel&id-14. Diakses pada tanggal 5 Mey      2010.
[5] http:/ ruangmerindukandiadandia.wordpress.com/2010/02/14/fenomenologi-edmund-  husserl/ Diakses    pada tangal 5 mey 2010.
[6]  Driyarkara, Op.Cit., hal.1320
[7]  Ibid., hal.1322
[8]  Ibid., hal.1323
[9]  FX. Mudji Sutrisno dan F. Budi HArdiman , Op.Cit., hal. 90.
[10] Ibid
[11] Fuad Hassan, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1996), hal.104-105.
[12] K. Bartens, Filsafat Barat Konteporer Prancis, (Jakarta: Gramedia, 2006),  hal.144.
[13] B. Hardiman, Heideger dan Mistik Keseharian, (Jakarta: Kepustakaan Populer  Gramedia, 2003) , hal. 29
[14] K.BertensFilsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia, 1983), hal.101.


[15] B. Hardiman, Op. Cit.,  hal. 30.
[16] http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Pornografi. Diakses pada tanggal 13 mey    2010.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar