Jumat, 16 September 2011

Aborsi dalam Penilaian Iman Kristiani
Nama : Apolinaris Dari Bani, SMM
NPM : 0609042000046

            Tindakan untuk melakukan aborsi sudah menjadi lazim terdengar ditelinga kita. Orang tua yang merasa diri tidak mampu untuk menghidupi keluarga dan tertekan karena kondisi ekonomi yang melarat melakukan aborsi. Mungkin bagi mereka, janin lebih baik mati daripada dilahirkan ke dunia hanya untuk menderita dan melarat. Demikian pula terjadi dengan anak-anak muda khususnya yang masih ingin bebas tetapi karena terbawa dengan pengaruh seks bebas juga mencari jalan keluar dengan cara melakukan aborsi agar mereka tetap menikmati masa muda mereka yang tetap terbawa oleh  budaya seks tersebut. Melahirkan anak hanya merepotkan diri apalagi masih muda, punya anak hanya membuat masa muda menjadi hilang. Untuk itulah aborsi menjadi jalan yang baik agar mereka tidak berhadapan dengan persoalan-persoalan yang rumit dalam hidup ini. Dan oleh karena itulah banyak klinik-klinik aborsi mulai tersebar dimana-mana, rumah sakitpun terbawa-bawa untuk menerima pelayanan aborsi, perusahan obat-obatan juga semakin banyak memproduksi obat anti-hamil dan pengguguran.
Dunia kedokteran sudah begitu maju sehingga persoalan aborsi terasa hanya persoalan ringan untuk dilakukan tanpa membahayakan perempuan yang menjadi pasiennya.  Persoalan Aborsi menjadi opini umum yang tetap menjadi perdebatan. Bagi kaum intelektual atau manusia-manusia yang sudah bermental individualistis dan materilistis persoalan aborsi sebaiknya dilegalkan saja. Dan negara sebaiknya memberikan kekebasan kepada pribadi untuk menentukan hidupnya, dan tentunya mereka melihat bahwa ini adalah persoalan privasi bukan menyangkut kehidupan umum. Tetapi sebaliknya manusia yang religius dan bermartabat tetap melihatnya sebagai suatu pelanggaran besar terhadap kehidupan.
Lalu Apa kata Gereja tentang Aborsi? Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Evangelim Vitae no. 50, pertama-tama mengatakan bahwa “sekarang pun kita berada di medan konflik yang dramatis antara budaya kematian dan kehidupan”(CB. Kusmaryanto,SCD: Tolak Aborsi). Bagi penulis kata-kata Paus ini sebenarnya menunjukan bahwa masalah aborsi bukan menjadi satu-satunya masalah yang dihadapi dunia dewasa ini. Masalah eutanasia, peperangan, kloning dan sebagainya menjadi persoalan yang menempatkan manusia pada garis tengah antara kehidupan dan kematian. Kematian menjadi harga murah yang bisa dibeli dengan uang dan bisa dikendalikan oleh pikiran dan tindakan manusia. Dan inilah perjuangan Gereja agar tindakan aborsi tidak dilakukan dan undang-undang tentang aborsi tidak dilegalkan. Ensiklik Evangelium Vitae no. 5 mengatakan lebih lanjut “...nilai hidup manusia tidak bisa diganggu gugat, sekaligus seruan mendesak, ditujukan kepada tiap orang, demi nama Allah: Hormatilah, lindungilah, cintailah dan layanilah kehidupan, tiap hidup mansuiwi. Hanya dalam arah inilah anda akan menemukan keadilan, perkembangan, kebebasan yang sejati, damai dan kebahagiaan” ”(CB. Kusmaryanto,SCD: Tolak Aborsi). Ungkapan ini merupakan suatu penegasan yang sangat serius. Bagi Penulis, kata-kata “demi Allah” inilah yang menjadi titik tolak bagi Paus Yohanes Paulus II untuk mengatakan bahwa kehidupan itu memiliki nilai yang amat tinggi, apalah arti teknologi, uang ataupun segala hal-hal materi lainya. . Martabat manusia menjadi satu-satunya yang harus tetap dipertahankan dan dihargai. Yesus sendiri mengatakan bahwa “Barangsiapa menyesatkan sala satu dari anak kecil ini yang percaya kepadaKu, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ditenggelamkan ke dalam laut”. Yesus begitu keras menghukum orang yang menyesatkan anak kecil. Mereka belum tahu persis mana yang baik dan mana yang jahat apalagi janin yang masih dalam kandungannya. Hidup manusia adalah suatu anugerah yang sangat berharga karena itulah manusia tidak mempunyai kekuasaan mutlak atas hidup itu. Ronald Reagen juga mengatakan bahwa “aborsi melecehkan kesucian kehidupan manusia, lebih lanjut dikatakan bahwa kita tidak akan pernah memahami nilai kehidupan kita sendiri sebelum kita mengakui nilai kehidupan orang lain”(Mark Bracher: Diskursus dan Perubaha Sosial). Inilah nilai tertinggi manusia dalam hidup sosial. Relasi satu terhadap yang ditandai dengan sikap saling menghormati dan menghargai martabat setiap orang sebagai anak Allah.
Lalu apa yang menjadi aplikasi konkret dari pandangan Gereja ini?
            Gereja khususnya telah terbuka untuk menaruh perhatian terhadap persoalan ini. Cara yang telah dilakukan yaitu Gereja telah menampung dan membina orang-orang yang tertekan dan terancam oleh karena tindakan aborsi ini. Dan sebagaai tindakan pencegahan, Gereja  menyelenggarakan pendidikan, ceramah, diskusi dan penyuluhan tentang nilai-nilai tertinggi tentang pentingnya menghargai hidup. Kebanyakan aborsi terjadi pada keluarga muda ataupun anak-anak muda, untuk itulah pendidikan moral, etika dan seksualitas terhadap anak-anak muda harus lebih ditingkatkan. Pastoral yang efektif adalah pastoral yang menyentuh dan sekaligus menjawabi persoalan hidup umat. Gereja juga bukan hanya berkarya di dalam lingkungan Gereja sendiri tetapi juga terbuka dan tanggap terhadap persoalan sosial. Mungkin tindakan aborsi tidak dilakukan oleh umat Katolik tetapi umat dari agama lain untuk itulah Gereja juga mengemban misi untuk mengeluarkan orang dari budaya kematian ini. Gereja mendirikan tempat pembinaan seperti sekolah dan tempat pembinaan yang terbuka bagi umum sehingga nilai-nilai kristiani dapat menerobos masuk kedalam hati setiap insan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar