Jumat, 07 September 2012


Jiwa sebagai Penggerak Hidup
Summa Theologica dan ”Konsep Mana” dalam Suku Dayak Iban


            Kehidupan manusia selalu ditandai oleh dua sisi pengalaman yang saling bertentangan. Di satu sisi, manusia mengalami kegembiraan dan kebahagiaan tetapi di sisi lain, manusia mengalami kesusahan, sakit dan penderitaan. Lalu apa yang menyebabkan dua sisi pengalaman ini ada dan terjadi dalam diri manusia? Satu jawaban mendasar bahwa dua elemen utama yaitu tubuh dan jiwa yang menentukan seluruh pengalama dan gerak hidup manusia. Pengalaman ditentukan sejauh bagaimana jiwa dan tubuh berfungsi dan bekerja sebagaimana mestinya dalam hidup. Lalu sejauh mana jiwa bekerja di dalam diri sehingga cara kerja jiwa terhadap tubuh lebih mendatangkan pengalaman kegembiraan dan sukacita daripada pengalaman kesusahan dan penderitaan? Tentunya ada banyak pandangan dan gagasan yang menyoroti topik dan persoalan ini tetapi dalam paper ini, penulis membatasi diri hanya melihat kemungkinan adanya dialog pemahaman antara Thomas Aquinas dan budaya lokal suku Dayak Iban dalam menggagas soal peran jiwa dalam diri manusia. Penulis menggambil ulasan Thomas Aquinas dari Summa Theologica, Ia, q. 75, a.1 dan didialogkan dengan paham “Mana” dalam religiusitas suku Dayak Iban yang kurang lebih keduanya mengulas tentang peran jiwa sebagai penggerak tubuh.

I.                   Jiwa sebagai Penggerak Tubuh dalam Summa Theologica Ia, q.75. art.1
Pemahaman mengenai konsep jiwa tidak jarang menuai banyak persoalan khususnya dalam sepanjang sejarah pemikiran manusia. Sorotan tentang konsep jiwa tidak hanya dilihat dari sudut arti; apa itu jiwa? Tetapi lebih pada bagaimana melihat peran dan kedudukan jiwa dalam diri manusia. Tiga keberatan yang dilontarkan dalam Summa Theoligica Ia,q.75,a.1 kurang lebih menyoroti hal ini. Pertanyaan mendasar dalam menggagas peran jiwa ialah  apakah jiwa merupakan tubuh?[i] Pertanyaan mendasar ini dilihat sebagai suatu usaha untuk mencermati  peran dan kedudukan jiwa. Untuk itulah, tiga keberatan yang muncul mempertanyakan serentak meminta pertanggung jawaban yang jelas perihal gagasan dasar di atas. Pernyataan keberatan pertama ialah jika jiwa merupakan tubuh, maka pemahaman yang timbul ialah jiwa dan tubuh itu identik sehingga kesatuan antara jiwa dan tubuh tidak dapat dibedakan lagi. Dalam arti ini, tidak ada pemisahan yang  jelas antara peran jiwa dan tubuh. Keberatan kedua dengan bertolak dari keberatan pertama, mempertanyakan lebih jauh; apakah pengetahuan dilihat sebagai produk dari keserupaan antara jiwa dan tubuh? Dan keberatan ketiga membuat semacam pengandaian bahwa jika ada pemisahan antara jiwa dan tubuh maka apakah ada kontak yang terjadi antara keduanya. Bagi penulis, ketiga keberatan ini sebenarnya menyentuh satu gagasan dasar yakni sejauh mana peran jiwa dalam diri manusia?
Sebelum menjawab tiga keberatan ini, Thomas Aquinas menunjukan prinsip dasar dari cara kerja jiwa. Bagi Thomas, jiwa merupakan prinsip pertama dari segala sesuatu yang hidup.[ii] Bagi Thomas, jiwa merupakan tubuh dalam arti jiwa tinggal dalam tubuh manusia tetapi tetap ada distingsi yang jelas antara peran jiwa dan tubuh. Berkenaan dengan gagasan ini, beberapa pemikir menyoroti secara tegas bahwa rupanya sesuatu tidak dapat bergerak jika tidak ada yang menggerakan di dalam dirinya.[iii] Dan ada yang berpendapat lain bahwa jika ada yang bergerak dan tidak ada yang digerakan maka inilah penyebab pertama yang bersifat kekal.[iv] Terhadap beberapa gagasan ini, penulis melihat bahwa, jiwa selalu dilihat sebagai penggerak utama yang memberi hidup bagi manusia. Untuk mengerti hal ini, Thomas menunjukan prinsip dasar untuk mengerti secara lebih mendalam tentang peran jiwa bahwa setiap gerak mesti selalu terdapat unsur potensi dan aktualitasnya.[v] Potensi selalu dilihat dari gerakan yang berasal dari jiwa sedangkan aktualitas selalu dilihat dari reaksi  atau respon tubuh atas gerakan yang berasal dari jiwa sebagai gerakan pertama.
 Sampai pada titik ini, penulis ingin menunjukan bahwa meskipun jiwa dan tubuh menampakan kesatuan antara keduanya tetapi tetap ada pemisahan peran atau fungsi yang jelas. Di sinilah letak kekeliruan dari pandangan yang memunculkan ketiga keberatan di atas gagasan dasar apakah jiwa merupakan tubuh. Untuk itulah, dalam menjawab keberatan pertama Thomas menggagas bahwa jiwa berperan sebagai penggerak pertama dan utama tubuh. Dan terdapat dua tesis utama mengapa jiwa sebagai penggerak utama tubuh yakni pertama, sesuatu yang bergerak karena ada yang bergerak di dalam dirinya. Atau dengan kata lain, penulis boleh mengatakan tubuh bisa bertindak atau melakukan sesuatu karena digerakan oleh sesuatu yang ada dalam diri manusia yakni jiwa. Tesis kedua, Jiwa dikatakan sebagai penggerak yang bergerak karena dia tinggal di dalam diri manusia. Hal ini menunjukan efektivitas kerja jiwa. Jiwa memainkan peran utama dalam menggerakan hidup seseorang tetapi efektivirtas peran jiwa akan terpenuhi   jika memainkan perannya dalam tubuh. Hal ini serentak menegaskan bahwa ada kesatuan dan kesinambungan peran antara jiwa dan tubuh. Selanjutnya dalam menjawab keberatan kedua, Thomas bertitik tolak dari gagasan, jiwa sebagai penggerak pertama yang menunjukan bahwa pengetahuan yang ada selalu dilihat dari produk relasi fungsional antara jiwa dan tubuh. Pengetahuan tidak akan muncul sebagai pengetahuan jika jiwa tidak mampu bekerja sama dengan tubuh. Misalnya otak sebagai intrumen berpikir akan menjadi efektif karena ada gerakan dari jiwa. Sesuatu yang diproduk secara empiris lahir dari kerja sama antara jiwa dan relaksasi tubuh. Dan dalam keberatan ketiga, Thomas Aquinas mengamini bahwa antara penggerak dan yang digerakan harus ada kontak tetapi Thomas menerangkan lebih jauh bahwa kontak antara keduaya harus memiliki dua kualitas yakni dari sudut “kuantitas” dan “kekuatan” dan hal ini hanya akan terjadi dalam tubuh. Misalnya api yang berkorbar selalu mengeluarkan panas karena di dalam dirinya mengandung energi panas. Potensi atau peran jiwa dalam diri manusia menentukan bagaimana proses aktualitas tubuh yang terpancar dari kedalamannya.
Dari pergulatan Thomas Aquinas, penulis menyoroti satu poin penting yang ditunjukan Thomas dalam menjawabi keberatan di atas bahwa jiwa sebagai sumber penggerak dari tubuh yang memungkinkan seseorang menjadi sungguh hidup. Hidup manusia tidak hanya ditentukan oleh kontraksi organ-organ dan reaksi tubuh semata tetapi terdapat kekuatan yang mengarahkan sekaligus menggerakan manusia untuk memberi arti pada hidupnya secara lebih mendalam.

II. Konsep Mana dalam Masyarakat Suku Dayak Iban
Suku Iban merupakan salah satu bagian suku dari suku dayak. Masyarakat suku ini seperti masyarakat dayak pada umumnya memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Hal ini terbukti dengan adanya banyak upacara yang dibuat untuk menghornati Petara, (suatu istilah untuk merujuk pada wujud tertinggi). Bagi mereka, wujud tertinggi bisa menjelma dalam bentuk apapun tetapi penjelmaan wujud tertinggi lebih khusus terjadi melalui Mana. Istilah Mana merujuk kepada sesuatu yang tidak berbentuk tetapi justru menunjukan manifestasi dari wujud tertinggi. Arti harafiah dari Mana ialah ”sakti” yaitu penggerak hidup atau materi jiwa-jiwa.[vi] Kata materi jiwa-jiwa tidak hendak menunjukan bahwa jiwa memiliki wujud tertentu atau memiliki bentuk tetapi merujuk pada suatu daya yang luar biasa yang terdapat dalam diri manusia. Selanjutnya dalam arti luas, Mana diartikan sebagai ”kekuatan menyeluruh di dalam tubuh manusia tetapi khusus kepada suatu elemen yang tidak dapat dilihat, ada dalam diri manusia tetapi memiliki kekuatan yang besar dalam diri”.[vii] Gagasan ini terungkap dengan jelas dalam teks asli doa yang didaraskan pada saat upacara pemulihan dari sakit[viii] :
O, sumangat[ix] diyau meh, apeie aku                        segala-galanya diduduki oleh jiwa
Jaga meh aku utai tingaru tinadai depedaah       penghuni yang tak kelihatan 
Oh, sumangat diyau meh uan apaie                        hai jiwa, tinggallah dalam diriku
Gawai aku tou nyamai-grai                                      buatlah aku bertumbuh
Anangbah nuan nudi kediree                                   jangan tinggalkan aku
Aku tou lema ndai bedayaa                                      sekalipun aku lemah
Mana bagi orang Iban selalu merujuk kepada jiwa yang memiliki arti kekuatan dalam diri yang menghidupkan manusia sehingga tidak mengherankan orang Iban percaya bahwa pola tindakan baik sosial maupun kultural selalu didorong oleh kekuatan ini. Selain itu, kekuatan dari dalam diri yang tak kelihatan mempengaruhi organ-organ vital lainnya yang sifatnya bertumbuh, misalnya orang Iban beranggapan bahwa rambut memberi kekuatan tertentu bagi setiap orang. Dalam arti inilah Mana tidak merujuk kepada organ vital, zat atau benda tertentu tetapi lebih sebagai kekuatan dalam diri yang menggerakan mereka untuk bertindak. Dan kekuatan itu, dipandang ada sejak lahir dan terus mengalir dan tidak tahu kapan akan hilang meskipun tubuh akan hancur dan membusuk. Bagi mereka, kekuatan tersebut menjadi penggerak baik untuk pertumbuhan fisik seseorang maupun kekuatan spiritual yang melindungi seseorang dari pengaruh jahat yang datang dari luar diri. Hal ini terdapat pada ungkapan orang dayak pada saat seorang bayi atau siapa saja yang sakit. Mereka biasanya mengucapkan doa ini:  
Kin Semangat[x]                                                                  jiwa, kembalilah!
Pulah ba nuan, usir meh jauh pemedah                   singkirkan segala penyakit
Pemedah nyah maii bahaya ngau aku                      segala penyakit yang membahayakan
O’ sumangat diyau meh nuan apeie aku                oh               jiwa selamatkan aku
Ayu k aku tauu slamat ngau nyamai grai                  tinggalah dalam diriku supaya selamat

Seruan ini bukan hanya sekadar diucapkan tetapi orang Iban melihat bahwa pada saat seseorang sakit, jiwa tidak menjadi benteng pertahanan yang kuat bagi tubuh. Sehingga apabila jiwa tidak bekerjasama baik dengan tubuh maka tubuh akan cepat terserang penyakit atau kuasa jahat. Karena itu, orang Iban selalu mengenakan simbol tertentu untuk mengungkapkan kekuatan (jiwa) tersebut seperti mengenakan gelang atau perhiasan pada anak yang sakit. Menurut kepercayaan mereka, apabila kuasa jahat melihat gelang atau perhiasan yang dikenakan anak tersebut, roh jahat akan lari dan tidak mendekati anak tersebut karena anak tersebut memiliki dalam dirinya kekuatan yang luar biasa (mana). Dari gambaran ini terlihat jelas bahwa jiwa yang diartikan sebagai kekuatan dalam diri melekat dalam tubuh dan mempengaruhi setiap pergerakan hidup manusia.
Konsekuensi lebih lanjut dari gagasan ini bahwa orang dayak Iban sungguh meyakini Mana (jiwa) memiliki keterkaitan dengan Petara (wujud tertinggi) karena apa yang disebut Mana ialah kekuatan dalam diri yang menantang segala hal buruk dan jahat yang membahayakan diri.[xi] Hal ini terungkap jelas dalam keseharian,  misalnya dalam arti tertentu ada kata-kata atau perbuatan yang tidak boleh diaktualisasikan karena sama sekali bertentangan dengan Mana misalnya kata-kata kutukan atau tindakan membunuh hewan langkah di hutan karena hal tersebut mendatangkan malapetaka bagi diri sendiri. Orang Iban beranggapan bahwa Petara (wujud tertinggi) sebagai pencipta hanya menginginkan adanya kebaikan dalam diri dan Mana menjadi benteng yang kuat dalam mempertahankan pertumbuhan nilai baik dalam diri manusia. Tidak mengherankan misalnya upacara Sampi (upacara mohon berkat untuk membuka ladang) atau upacara adat lainnya selalu dimulai dengan litani yang mengungkapkan doa kepada Petara untuk mendatangkan kebaikan dan kemakmuran bagi masyarakat Iban. Demikianpun, ketika masa-masa memanen tiba, orang Iban juga mengadakan upacara syukuran kepada Petara yang telah menumbuhkan dan mengusir segala hama yang menyerang tanaman sehingga memberikan hasil yang baik bagi mereka. Ungkapan religiusitas ini memberi arti bahwa kekuatan dari Petara tidak berada jauh dari mereka tetapi dekat dan tinggal dalam diri manusia. Kekuatan itu hanya bisa di sadari dan dikembangkan dalam diri.
Dalam relasinya dengan tubuh, masyarakat suku Iban melihat bahwa tubuh memang akan mati dan membusuk tetapi jiwa tidak akan mati. Manusia tetap hidup walaupun telah meninggal. Setelah melewati pintu gerbang kematian, jiwa seseorang meninggalkan begitu saja keterikatan dengan orang-orang di sekitarnya tetapi tetap membangun relasi yang baik dengan saudara-saudaranya. Untuk itulah, bagi mereka meskipun seseorang meninggal, dia tetap dianggap sebagai anggota suku Iban.
Berdasarkan dua pilar pemahaman tentang jiwa, penulis mencoba melihat kemungkinan akan adanya dialog antara kedua pemahaman ini:
Pertama, harus disadari bahwa jiwa sebagai prinsip pertama penggerak hidup manusia. Bahkan Thomas Aquinas melihatnya bukan hanya sebagai penggerak pertama kehidupan tetapi juga sebagai prinsip munculnya pengetahuan dalam kebersatuannya dengan tubuh. Sehubungan dengan ini, masyarakat suku Iban melihat bahwa jiwa sebagai kekuatan dalam diri yang menghidupkan manusia. Kedua kata yang digunakan di atas baik Thomas maupun Masyarakat Iban dalam menggunakan kata ”kekuatan” sebenarnya memiliki maksud yang sama bahwa hidup manusia harus mengalir dari jiwa. Prinsip penggerak dalam bahasa Thomas Aquinas atau prinsip kekuatan menurut masyarakat Iban serentak mengafirmasi  betapa pentingnya peranan jiwa dalam diri manusia. Tubuh akan menjadi hidup dan kuat berkat campur tangan jiwa demikianpun sebaliknya jiwa mendapat efektifitas dalam dirinya dan dunia berkat adanya dalam tubuh.
Kedua, jiwa memiliki sifat kekal dan tidak dibatasi oleh ruang dan situasi apapun termaksud dunia tidak mampu membatasi ruang gerak jiwa karena jiwa adalah penggerak yang bergerak. Tubuh akan mati, hancur dan menyatu kembali ke dalam tanah tetapi peziarahan jiwa tidak akan pernah berakhir. Hal ini ditunjukan oleh Thomas Aquinas dalam tesisnya bahwa sesuatu yang bergerak dan tidak digerakan memiliki sifat yang kekal dalam arti ini jiwa tidak dapa mati. Masyarakat suku Iban juga melihat hal yang khususnya kepercayaan adanya relasi antara orang yang telah meninggal dengan orang yang masih hidup. Dalam arti relasi yang dimaksudkan bukan menyangkut tubuh tetapi lebih sebagai sifat kekekalan jiwa yang tidak akan mati, sehingga mereka sering memberi makan untuk orang yang telah meninggal. Hal ini sebenarnya hanya menjadi saat dimana mereka mengenangkan orang terdekat yang telah meninggalkan mereka.  Tetapi relasi jiwa dan tubuh di dalam dunia dapat dikatakan sebagai proses penyatuan yang semantara sifatnya tetapi harus diakui bahwa jiwa mengalami kepenuhannya dalam keabadian ketika mengalami kebersatuan dengan Allah. Dengan kata lain, peziarahan hidup manusia di dunia harus mencapai kepenuhannya dalam kebersatuan dengan Allah.
Ketiga, titik temu lain bahwa di satu sisi, proses dialog ini menghantar dan mencerahkan masyarakat suku Iban sendiri yang beriman Katolik dalam mengelaborasikan nilai religiusitas kultural kedalam nilai religiusitas iman Katolik. Kadang  masyarakat suku Iban katolik membuat distingsi antara upacara adat dengan ritus Gerejawi. Sehingga tidak jarang jika pada musim tanam atau panen, mereka memiliki kecenderungan untuk tidak merayakan misa mingguan. Tetapi berdasarkan pengalaman penulis, bentuk inkulturatif dalam liturgi seperti Misa dengan intensi utama syukuran panen atau upacara memberkati benih dan sebagainya menjadi langkah awal dari dialog antara Gereja dengan budaya suku Iban. Kadang upacara Ibadat Sabda di lakukan di rumah Betang atau di ladang sebagai upaya Gereja untuk mendekatkan diri pada dimensi religiusitas kultural budaya setempat. Di sisi lain, Gereja harus selalu terbuka untuk berdialog dengan budaya setempat misalnya melihat tindakan kultis setempat seperti  ritus-ritus adat haruslah dilihat dalam kacamata iman. Upacara Sampi, misalnya sebagai ritus permohonan untuk membuka lahan baru tidak dilihat sebagai tindakan heresis atau penyembahan berhala tetapi sarana atau cara lain untuk mendekatkan diri pada Allah..
Selain memaparkan titik temu antara kedua pemahaman ini, penulis juga menyodorkan beberapa catatan kritis yang sekiranya menjadi celah yang tidak membuka kemungkina bagi terjadinya dialog antara dua pemahaman ini. Pertama, kepercayaan suku Iban dalam batasan tertentu cenderung untuk jatuh kepada ajaran animisme karena rasa religiusitas mereka sangat ditentukan oleh kebergantungan pada alam. Misalnya saja, adanya kepercayaan reinkarnasi jiwa atau anggapan bahwa semua mahkluk baik yang bernyawa maupun tidak memiliki jiwa. Tentunya pemahaman semacam ini, beranggapan bahwa setiap mahkluk hidup dan benda mati memiliki nilai jiwa yang sama padahal proses kebersatuan manusia dengan Allah sebagai tujuan akhir pencarian jiwa memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari ciptaan yang lain. Kedua, relevansi dari tindakan ini sebenarnya berguna bagi tugas pastoral untuk menyadarkan umat suku Iban dalam melihat hidup bahwa hidup tidak sepenuhnya bergantung pada alam tetapi membutuhkan usaha dan kerjakeras dalam merealisasikan dorongan jiwa untuk mengoptimalkan tubuh.
Dari seluruh rangkaian pemahaman ini, penulis hendak mengatakan bahwa relasi jiwa dan tubuh dalam diri manusia berlangsung sejauh tubuh masih hidup di dunia ini. Keterputusan antara tubuh jiwa dan tubuh terjadi kala tubuh mati. Selain itu, relasi jiwa dan tubuh bisa digambarkan sebagai proses aktualisasi tubuh atau organ tubuh yang bertitik tolak dari jiwa sebagai penggerak atau kekuatan serta menjadi sebab pertama munculnya pengetahuan.





[i] S.T.Ia, q. 75, a. 1, ad.1
[ii] Thomas Aquinas melihat bahwa kodrat jiwa sebagai penggerak dimana Jiwa yang tidak memiliki wujud, yang tidak dapat disentuh atau dilihat memiliki kekuatan yang  besar dalam memberi daya kepada tubuh manusia. Ibid.
[iii] Ibid.
[iv] Ibid. ad 2
[v] Ibid., ad. 3
[vi] Mgr. Van L. Van Kessel, Adat Istiadat Suku Dayak Sintang, 1975, 36
[vii] Ibid., 45
[viii] Ibid.,
[ix].Dr. Benny Pang dan Dr. Valentinus(ed.), Minum Sumber Sendiri, Malang:STFT Widya Sasana, 2011, hal. 267-268.
[x] Sumangat selalu diidentikan dengan jiwa yang diartikan sebagai kekuatan yang luar biasa. Sumangat merupakan kekuatan yang mengambil bagian dalam Mana. Sumangat selain terdapat dalam manusia juga terdapat dalam tumbuhan, hewan dan benda-benda keramat. Sumangat yang terdapat dalam manusia mempengaruhi seluruh organ tubuh. Ibid., hal. 33
[xi] Ibid., 34

MEMBANGUN SEMANGAT KETELADANAN ORANG TUA KATOLIK
DALAM RANGKA PEMBINAAN IMAN ANAK
(USIA BALITA HINGGA REMAJA)

I.             PENDAHULUAN
Keluarga adalah sekolah pertama untuk menanamkan kebajikan Kristiani. Keluarga adalah juga persekutuan umat Allah. Pembinaan iman anak-anak dimulai dalam keluarga. Awal penanaman dan pembinaan iman Kristiani yang paling mendasar dilakukan dalam keluarga.
Sayangnya, tidak sedikit keluarga Kristiani yang mengalami kesulitan dalam menanamkan kebajikan iman tersebut. Persoalan semacam ini juga telah menjadi keprihatinan para keluarga di lingkungan Santo Thomas paroki Tidar Malang. Kondisi komunikasi yang macet, kesibukan orang tua dalam mencari nafkah, pengaruh teknologi dan media massa, pola hidup konsumtif, mental ‘tidak mau repot’ adalah beberapa contoh alasan mengapa orang tua menghadapi tantangan yang besar untuk melaksanakan peran mereka sebagai pendidik utama bagi anak-anak dalam keluarga, terutama dalam pendidikan iman.
Padahal, menurut Dokumen Familiaris Consortio, keluarga dan orangtua memegang peran utama dalam pembinaan iman anak:
“Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, orang tua terikat kewajiban amat serius  untuk mendidik anak-anak mereka. Maka orangtualah yang harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak mereka[1]. Dengan demikian, orang tua harus menyediakan waktu bagi anak-anak untuk membentuk mereka menjadi pribadi-pribadi yang mengenal dan mengasihi Allah. Kewajiban dan hak orangtua untuk mendidik anak-anak mereka tidak dapat seluruhnya digantikan ataupun dialihkan kepada orang lain.[2]

Orang tua sebagai pendidik utama dalam hal iman kepada anak-anak berarti orang tua harus secara aktif mendidik anak-anak dan terlibat dalam proses pendidikan anak-anaknya. Orang tua sendiri harus mempraktekkan imannya, berusaha untuk hidup kudus, dan terus menerapkan ajaran iman dalam kehidupan keluarga di rumah. Ini adalah sangat penting,   agar anak melihat bahwa iman itu bukan hanya untuk diajarkan tetapi untuk dilakukan, dan diteruskan lagi kemudian, jika anak-anak sendiri membentuk keluarga di kemudian hari.
Oleh karena itu, diperlukan pembinaan bagi orangtua muda agar menyadari peran dan tanggung jawabnya. Secara konkret, salah satunya, diperlukan katekese yang dapat membantu mereka menyadari hal tersebut dan kemudian mengusahakan pembinaan yang diperlukan bagi anak-anak mereka.
Kami berusaha merancang suatu katekese untuk kelompok dewasa. Dengan harapan dapat menggagas sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan, kami mencoba menggali persoalan yang dihadapi oleh umat. Karena pertimbangan waktu dan beberapa keterbatasan lain, kami memutuskan untuk melihat gambaran yang terdapat di Lingkungan St. Tomas, Klaseman, Paroki St. Andreas, Tidar. Harus diakui, penggalian informasi dan pemetaan masalah di lingkungan ini tidak dapat dikatakan mendalam dan akurat. Tetapi lewat wawancara dengan beberapa tokoh umat, kami bisa memeroleh gambaran umum mengenai situasi umat di sana. Dari sekian hal yang terungkap, kami mengarahkan perhatian kepada persoalan pembinaan iman orang tua anak dalam keluarga muda. Berikut ini akan kami uraikan gambaran umum situasi Paroki Tidar dan masyarakat di sekitar Lingkungan Klaseman, serta situasi khusus yang melatarbelakangi gagasan katekese ini.

II.          PEMETAAN SITUASI
2.1.      Situasi Umum Paroki Tidar
Paroki St. Andreas Tidar merupakan salah satu paroki yang berada di kota Malang. Karena berada di kota, maka pergerakan umat adalah hal yang sangat mungkin terjadi. Menurut data jumlah umat, hampir setiap tahun jumlah umat semakin bertambah. Hal ini ditandai selain oleh perkawinan dan baptisan di beberapa wilayah di sekitar paroki dan dibukanya perumahan-perumahan baru. Paroki Tidar memiliki 9 lingkungan. Di lihat dari sudut ekonomi, mayoritas umat memiliki ekonomi menengah ke atas. Tidak dapat diragukan lagi bahwa secara finansial, umat dapat menghidupi kebutuhan paroki. Tetapi apakah umat sudah mengalami apa yang dinamakan pertumbuhan iman? Salah satu fenomena menarik yang bisa diamati dari sekian hal yang menarik dari paroki ini ialah sejauhmana Paroki menaruh perhatian bagi pembinaan iman dalam keluarga.                                                                                                             
Dilihat dari kebutuhan pastoral ini, Paroki dalam perangkat dewannya sudah menyiapkan seksi khusus yang disebut seksi keluarga yang memberi perhatian khusus bagi terselenggaranya pastoral keluarga. Adapun beberapa program kerja yang dilakukan seksi ini ialah mengkoordinasi warta keluarga dalam sebuah situs internet dan majalah paroki, mengadakan rekoleksi dan retret keluarga yang sekiranya terbuka bagi keluarga yang hendak mengikuti, juga dalam kerjasama dengan romo paroki mengadakan kunjungan keluarga yang bermasalah.

2.2.      Situasi Umum Lingkungan Klaseman (Masyarakat Sekitar)
Umat lingkungan St. Thomas Klasman termasuk kategori kelompok minoritas yang hidup di tengah mayoritas umat Muslim. Tetapi hal ini tidak menjadi pengahalang bagi umat Katolik dalam membangun relasi dengan umat beragama lain. Dalam relasinya dengan umat Islam sebagai kelompok mayoritas, umat Kristen sudah terbiasa membangun rasa kekeluargaan dan menjunjung tinggi nilai toleransi. Beberapa contoh konkret yang bisa ditunjukan misalnya adanya tradisi silahturahmi pada hari besar seperti Natal maupun Idul Fitri antar sesama umat beragama. Atau juga ada kegiatan sosial lingkungan, seperti kegiatan para ibu PKK dalam  memperhatikan para lansia dan menggerakkan para ibu di wilayah RT untuk mengunjungi orang sakit. Selain itu, umat katolik tidak pernah mengalami kesulitan atau gangguan dalam  menjalankan  kegiatan rohani seperti doa lingkungan, latihan koor, katekese, misa lingkungan dan sebagainya.
Beberapa hal mendasar yang sekiranya melatarbelakangi hal ini ialah fakta bahwa sebagian umat, sebelum menjadi katolik, menganut agama Islam. Oleh karena perkawinan,  pengenalan dengan umat katolik ataupun pengalaman disentuh akhirnya mereka terpanggil untuk menjadi katolik. Oleh karena itu, tidak mengherankan, misalnya, bahwa dalam keluarga besar anggota keluarga menganut agama berbeda; ada yang Islam, Katolik maupun Kristen. Rasa kekeluargaan yang dibawa dari keluarga juga dengan sendirinya dibawa dalam suasana toleransi hidup beragama. Selain itu, lingkungan St. Thomas berada di daerah perkampungan yang senantiasa dijiwai oleh rasa keakraban, saling membantu dan mengedepankan rasa persaudaraan.

2.3.      Lingkungan St. Thomas
Lingkungan St. Thomas, Klaseman, diketuai oleh Ibu Valentina Siti Mariyam. Lingkungan ini terletak di antara empat lingkungan di wilayah Paroki Tidar. Di sebelah Utara berbatasan dengan wilayah lingkungan St. Kristoforus. Di sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah lingkungan St. Antonius. Di sebelah Barat berbatasan dengan wilayah lingkungan St. Yakobus. Dan di sebelah Timur berbatasan dengan wilayah lingkungan St. Yohanes. Mata pencaharian umat lingkungan Klaseman pada umumnya sebagai wiraswasta.
Umat di lingkungan St. Thomas berjumlah 48 kepala keluarga. Dari jumlah ini, umat yang berstatus kawin campur berjumlah 5 kepala keluarga, umat yang termasuk keluarga muda berjumlah 20 kepala keluarga (usia perkawinan 1 s.d. 7 tahun). Sedangkan jumlah umat dilihat dari usia (perkepala) berjumlah 158 orang, yang meliputi; usia balita s.d. kelas 4 berjumlah 19 orang; kelas 5 s.d. SMA berjumlah 16 orang; Perguruan Tinggi berjumlah 31 orang; usia lansia berjumlah 30 orang; usia produktif berjumlah 62 orang.
Pada umumnya umat lingkungan St. Thomas masih memiliki kekerabatan yang cukup dekat. Dan jarak tempat tinggal umat satu dengan yang lainnya cukup dekat. Oleh karena itu keguyupan atau kerukunan di antara umat di lingkungan tersebut sangat erat.

2.4.   Situasi Khusus
Dalam wawancara dengan bapak – ibu Efendi, Ibu Anas, Ibu Valentina Siti Mariyam (Ketua Lingkungan) dan Bapak Herman Poer terungkap adanya fenomena bahwa OMK di lingkungan ini tidak cukup terlibat dalam kegiatan menggereja dan sulit digerakkan dalam berbagai kegiatan. Dari sekian banyak (+/- 41 orang) OMK di lingkungan ini, yang biasa terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan menggereja hanya pribadi-pribadi tertentu saja yang jumlahnya amat sedikit (4 – 6 orang). Dalam usaha menyikapi situasi tersebut telah dilakukan berbagai usaha, misalnya melibatkan frater untuk mendampingi mereka dan mengadakan kegiatan yang beragam.  Selain itu juga telah dilakukan pendekatan kepada para orangtuanya. Namun situasi nampaknya tidak juga berubah.
Dengan demikian disimpulkan bahwa dari sekian faktor yang memengaruhi minimnya keterlibatan OMK dalam kegiatan menggereja, hal yang mendasar adalah kurangnya pembinaan dalam keluarga. Dalam pembicaraan terungkap bahwa dalam berbagai kesempatan orangtua mengalami hal-hal seperti:
-          Anak membantah ketika diajari atau diberitahu sesuatu, atau juga diminta untuk mengikuti kegiatan Gereja
-          Anak tidak membantah tapi juga tidak melakukan instruksi atau ajaran orangtua
-          Anak memberikan banyak alasan untuk tidak melakukan apa yang diajarkan atau diinstruksikan
-          Anak lebih tertarik kepada peralatan elektronik seperti HP, Blackberry atau komputer dan internet
Dari semua pembicaraan itu kami menyimpulkan bahwa para orangtua ini menghadapi kesulitan dalam membina anak-anak mereka, baik secara instruktif lewat pengajaran maupun secara tidak langsung lewat keteladanan hidup.
Dari keterangan yang kami peroleh dapat disimpulkan bahwa kesulitan mendasar tersebut dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Jika dirinci, hal-hal tersebut mengerucut kepada:
1.      Kurangnya bekal iman pada diri orangtua
2.      Kurangnya nilai-nilai/prinsip pribadi yang membentuk karakter pribadi orangtua dan dapat diteruskan kepada anak-anak
3.      Tuntutan kebutuhan ekonomi  keluarga menyebabkan orangtua harus menghabiskan banyak waktu untuk pekerjaan dan kekurangan waktu bersama keluarga, baik untuk rekreasi maupun untuk menanamkan nilai-nilai iman
4.      Perkembangan zaman telah membawa perkembangan khas pada diri anak. Selain bahwa tersedia banyak peralatan (gadget) yang membuat mereka individualis (asyik dengan dunia sendiri), perkembangan teknologi informasi membuat anak semakin ‘cerdas dan kritis’ menyikapi berbagai hal, termasuk perilaku orangtuanya sendiri.
5.      Adanya persoalan pribadi, misalnya perselisihan dengan sesama anggota lingkungan. Perselisihan tidak disikapi dengan dewasa dan menghambat partisipasi orangtua di lingkungan serta tentu saja penanaman nilai kepada anak-anak.
III.    Tawaran Katekese
Melihat situasi di atas kami memikirkan suatu katekese yang diharapkan dapat membantu umat menyikapinya. Kami menyimpulkan bahwa para orangtua membutuhkan bantuan dan pembekalan untuk dapat membina anak-anak mereka. Karena itu kami berusaha memikirkan materi atau poin-poin yang dapat membangkitkan kesadaran para orangtua dan memberi inspirasi bagi pembinaan iman anak-anak dalam kehidupan mereka sehari-hari. Katekese semacam itu kami sebut “MEMBANGUN SEMANGAT KETELADANAN ORANG TUA KATOLIK DALAM RANGKA PEMBINAAN IMAN ANAK (USIA BALITA HINGGA REMAJA)”.
Setelah melihat gambaran situasi di atas kami mulai memikirkan rancangan katekese yang kiranya sesuai dengan kebutuhan itu. Dari permenungan, kami menemukan beberapa hal yang kami rangkum dalam sebuah rancangan katekese. Rancangan ini tentu belum sempurna dan bersifat tawaran kepada Paroki, khususnya bidang/seksi Keluarga. Dalam kerjasama dengan pihak Paroki dan Lingkungan itulah kami berharap program ini dapat disempurnakan dan menjadi lebih mengena. Berikut ini rancangan yang kami tawarkan.

3.1.   Sasaran
Katekese ini kami arahkan terutama bagi para orangtua dari keluarga muda dengan anak-anak usia remaja. Tapi pembatasan itu tidak kaku. Mengingat orangtua dengan anak-anak usia balita juga membutuhkan pembekalan serupa, mereka pun diberi kesempatan untuk mengikuti katekese ini. Dengan demikian bisa terjadi sharing/berbagi pengalaman di antara keluarga peserta.

3.2.   Materi
Dalam permenungan, kami menemukan beberapa poin iman yang kiranya perlu disadari dan dihayati oleh para orangtua agar mereka dapat melaksanakan perannya dalam pembinaan iman anak-anaknya.
a.             Keluarga adalah Gereja kecil
Gereja adalah persekutuan umat Allah. Dalam konteks ini, umumnya dipandang juga bahwa keluarga adalah Gereja kecil. Inilah hal pertama yang perlu disadari oleh para orangtua dalam konteks katekese atau pemberdayaan ini. Dengan kesadaran ini diharapkan orangtua merasakan bahwa mereka tidaklah sendirian melainkan, bersama keluarga-keluarga lain, merupakan bagian dari persekutuan umat Allah yang membentuk Gereja Kristus, dan menyadari pula bahwa (keluarga) mereka memunyai peran dan tanggung jawab dalam kehidupan menggereja.
b.            Orangtua adalah pemimpin/gembala Gereja kecil
Seperti Kristus adalah kepala bagi Gereja-Nya, ada juga pemimpin-pemimpin Gereja dalam lingkup yang berbeda. Seperti juga Uskup dan para imam, orangtua pun adalah pemimpin Gereja dalam lingkupnya yang khas. Orangtua adalah pemimpin dan gembala bagi keluarga yang dibentuknya. Dengan kesadaran ini diharapkan para orangtua menyadari kembali perannya dan mendapatkan motivasi untuk melaksanakan perannya itu.
c.             Orangtua adalah teladan iman
Sebagai orang Kristen, orangtua menghayati iman tidak hanya untuk diri mereka sendiri. Penghayatan iman tentu bisa juga menjadi kesaksian dan teladan bagi orang-orang lain, khususnya anak-anak mereka. Banyak orang meyakini bahwa pewartaan yang paling efektif adalah dengan kesaksian hidup. Hal ini pun perlu disadari oleh setiap orangtua. Dengan kesadaran ini diharapkan orangtua terbantu untuk semakin menghayati imannya dan mulai mengusahakan tindakan-tindakan konkret dalam keluarganya yang dapat menjadi teladan bagi anak-anak mereka.
d.            Orangtua adalah orang-orang Kristen
Menurut kami identitas atau jatidiri ini adalah hal mendasar yang tidak boleh diabaikan oleh setiap orangtua. Mereka perlu menyadari bahwa mereka adalah pengikut Kristus, yang tentu saja harus meneladan hidup-Nya. Kesadaran ini diharapkan dapat mendorong mereka untuk menghayati dengan lebih baik hidupnya sebagai orang-orang beriman. Hanya dengan penghayatan yang memadai para orangtua dapat melaksanakan semua peran yang diuraikan di atas. Dalam hal ini, ditekankan upaya-upaya membantu para orangtua membangun dan melaksanakan keutamaan-keutamaan iman, harap dan kasih, seperti diajarkan Yesus sendiri.
            Selain perlu memiliki iman yang mantap, orangtua juga perlu memiliki keterampilan komunikasi yang memadai. Komunikasi yang baik akan membantu proses keteladanan dan pembinaan iman bagi anak. Karena itu, selain poin-poin iman tersebut di atas, kami melihat materi yang perlu diberikan dalam katekese ini adalah soal keterampilan berkomunikasi.
3.3.   Metode
Hal-hal yang menjadi inti pengajaran dalam katekese ini tentu perlu disampaikan kepada para orangtua dengan metode yang tepat, agar pesannya sungguh tersampaikan dan katekese dapat diharapkan berdampak dalam kehidupan menggereja mereka. Tentu banyak metode yang dapat dipikirkan. Dari sekian yang ada, kami memilih penggabungan metode retret, latihan dan pertemuan berkala. Dengan metode seperti ini diharapkan bahwa inti pengajaran di atas dapat tersampaikan tidak hanya sekali dan selesai, tapi juga dapat diusahakan pembinaan berkelanjutannya, paling kurang dalam jangka yang amat pendek.
Sebagai langkah pertama, akan diadakan retret bagi para orangtua. Retret ini diharapkan menjadi pengkondisian awal dari seluruh rangkaian program katekese ini. Dalam retret ini semua materi akan disampaikan secara berurutan. Di akhir retret akan dilakukan pemberian tugas sebagai bahan latihan selama satu bulan berikutnya.
Setelah retret sebagai pengkondisian selesai, para orangtua mendapat kesempatan untuk melatihkan penghayatan poin-poin iman dan keterampilan komunikasi yang disampaikan dalam retret. Secara khusus, latihan akan dipandu dengan tugas-tugas sederhana namun konkret yang dapat diusahakan oleh setiap orangtua dalam lingkup keluarga mereka masing-masing. Para orangtua diberi waktu yang leluasa (satu bulan) dan kesempatan untuk menyesuaikan latihan mereka dengan situasi hidup mereka masing-masing. Latihan-latihan dilaksanakan sesuai tema dengan urutan sebagai berikut:
1.      “Orangtua sebagai orang Kristen”,
2.      “Orangtua sebagai teladan iman”,
3.      “Keluarga sebagai Gereja kecil” dan
4.      “Orangtua sebagai gembala Gereja kecil”.
Dalam melatihkan tema-tema tersebut, para orangtua pun didorong untuk melatihkan keterampilan komunikasi yang disampaikan.
Setelah berlatih selama sebulan, ada kesempatan bagi para orangtua untuk bertemu dan berkumpul bersama. Pertemuan berkala dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada mereka untuk saling berbagi pengalaman, memberi dan menerima masukan, dan juga menyegarkan kembali ingatan tentang materi pengajaran serta memberikan tugas-tugas baru untuk masa satu bulan berikutnya sesuai tema.
3.4.   Pelaksanaan
Retret
Waktu          : 5 hari
Tempat         : di rumah-rumah umat
Jadwal          : setiap hari ada pertemuan +/- 60 - 90 menit
  Hari I             : Keluarga adalah Gereja kecil
  Hari II           : Orangtua sebagai pemimpin Gereja kecil                             
  Hari III          : Orangtua sebagai teladan iman
  Hari IV          : Orangtua sebagai orang Kristen (+ komunikasi)
  Hari V           : pemberian tugas + misa penutup
(Dalam retret ini dilibatkan juga pasutri senior yang berpengalaman. Mereka diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan para peserta. Para peserta bisa menimba wawasan dalam pembinaan iman anak.)
                                Contoh Modul: lih. Lampiran

a.      Tugas dan Latihan
Waktu          : 1 bulan
Tempat         : keluarga masing-masing
Jadwal          : setiap bulan ada latihan dengan tema tertentu
  Bulan I          : orangtua sebagai orang Kristen (+ komunikasi)
  Bulan II         : orangtua sebagai teladan iman (+ komunikasi)
  Bulan III       : keluarga sebagai Gereja kecil (+ komunikasi)
  Bulan IV       : orangtua sebagai pemimpin/gembala Gereja kecil (+ komunikasi)
Contoh Tugas :
1.       Orangtua sebagai orang kristen
Merayakan ekaristi mingguan (jika mungkin harian), membaca KS, menyediakan waktu untuk saat teduh dan berdoa, melakukan perbuatan-perbuatan baik
2.      Orangtua sebagai teladan iman
Mengajak anak untuk merayakan ekaristi, mengenalkan anak dengan KS, mengajari anak berdoa, memberi inspirasi kepada anak untuk berbuat baik
3.      Keluarga sebagai Gereja kecil
Makan bersama, berdoa bersama, berbagi tugas untuk saling melayani
4.      Orangtua sebagai pemimpin Gereja kecil
Orangtua mengajak anak bicara, mendengarkan cerita dan kebutuhannya, mengajarkan perbuatan baik

b.         Pertemuan bulanan
Waktu                      : setengah hari
Tempat                     : rumah umat, bergiliran tiap bulan
Jadwal                      : setiap bulan ada pertemuan dengan tema sesuai urutan ditutup
  dengan Ekaristi
   Dinamika pertemuan:
-             Ice-breaking
-             Sharing pengalaman (juga dengan pasutri senior), memberikan masukan
-             Pemberian materi tugas untuk bulan berikutnya
-             Ekaristi

c.       Penutupan
Waktu              : Akhir seluruh Kegiatan
Tempat             : rumah umat
Susunan Acara :
1.      Lagu Pembukaan
2.      Doa Pembukaan
3.      Pengantar
4.      Review hasil pertemuan bulanan
-                Petugas mengajak umat untuk melihat kembali segala proses retret yang telah
dijalani
5.      Komitmen Bersama (dipersembahkan dalam misa)
-    Dalam bentuk doa, puisi, lagu, barang-barang sebagai simbolisasi dari komitmen tersebut.
6.      Peneguhan
7.      Doa dan Lagu Penutup
8.      Ekaristi

III.       PENUTUP
Demikianlah hasil upaya kami menggagas suatu katekese untuk kelompok umat dewasa, secara khusus para orangtua dengan anak usia balita. Tentu rancangan ini jauh dari sempurna. Tetapi kiranya ini bisa menjadi inspirasi dalam pemberdayaan orangtua katolik agar menyadari peran dan tanggungjawabnya dalam menyiapkan kader-kader penerus yang mau terlibat dalam kegiatan-kegiatan menggereja.
Harapan terdalam dari kelompok bahwa orang tua harus menyadari bahwa anak-anak mereka menjadi masa depan Gereja. Generasi orang tua yang sekarang ini terlibat membangun Gereja di kemudian hari akan diganti oleh anak-anak mereka. Sehingga mereka senantiasa disadarkan untuk menanamkan iman yang kuat kepada anak-anak. Orang tua memiliki tanggung jawab besar dalam menumbuhkan iman anak-anak mereka agar memiliki iman yang mendalam dalam membangun Gereja yang hidup dan berkembang.
             


[1] Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3, lihat juga KGK 1653 dan Familiaris Consortio art. 36.
[2] Ibid., Familiaris Consortio 36.