Jumat, 16 September 2011

Latar Belakang dan Perkembangan Katekese Umat
I.                   Pengantar
            Katekese umat sering dikatakan katekese dari umat, oleh umat dan untuk umat. Umat menjadi partisipan aktif dalam arti aktif berbicara, berkomunikasi bersama, bersama-sama mengambil keputusan, bersama-sama bertindak, dll. Tentu saja, partisipasi aktif ini dipengaruhi oleh beberapa factor yang telah ada dalam masyarakat Indonesia. Untuk itu dalam paper ini, kami berusaha untuk menguraikan beberapa dimensi yang mempengarui lahirnya katekese umat.
II.                Isi Buku Pegangan[1]
Pembaruan katekese dalam hidup menggereja dipengaruhi oleh beberapa hal berikut :
2.1.Budaya Musyawarah.
Sila 4 Pancasila berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.  Hal ini hendak menyatakan bahwa budaya musyawarah adalah kebiasaan masyarakat akar rumput di daerah-daerah[2] sejak dahulu kala. Budaya asli bangsa Indonesia.
M. Hatta berpendapat, “Gagasan kerakyatan terdapat dalam masyarakat desa/kampung. Kerakyatan (demokrasi) asli…mempunyai 3 segi yang mungkin dapat dimanfaatkan sebagai sendi domikrasi Indonesia. Tiga sendi itu adalah :
·         Gagasan rapat (musyawarah) yang hidup dari dulu hingga sekarang
·         Gagasan protes massal, yaitu hak rakyat untuk membantah peraturan yang tidak adil.
·         Gagasan saling menolong/rasa kebersamaan.”[3]
Pola katekese umat hendaknya mengacu pada 2 perspektif yang tidak asing bagi umat yaitu dengan metode musyawarah. Katekese umat adalah musyawarah iman.
2.2.Arus Demokratisasi dan beberapa pengertian seputar Demokrasi[4].
Etimologi Demokrasi. Demokrasi secara etimologi berasal dari “demos” dan “kratia” (bahasa Yunani). Demos berarti rakyat. Kratia berarti pemerintahan. Demokrasi adalah pemerintahan “dari rakyat untuk rakyat”.
      Definisi Demokrasi. Pertama, demokrasi adalah suatu pola pemerintahan, dimana kekuasaan untuk memerintah berasal dari mereka yang diperintah. Kedua, pola pemerintahan yang mengikutsertakan secara aktif semua anggota masyarakat dalam keputusan yang diambil oleh mereka yang diberi wewenang.
      Ciri khas Demokrasi. Pertama, adanya jaminan atau pengakuan atas hak-hak asasi manusia. Kedua, pelaksanaan demokrasi dengan sistem perwakilan, dimana wakil rakyat dipilih oleh rakyat sendiri, bukan oleh penguasa. Ketiga, rakyat berhak sepenuhnya menentukan garis pilitik daerah atau negaranya. Keempat, prinsip memberi kesempatan kepada siapa pun untuk melakukan inisiatif, mengajukan pendapat dan membela kepentingannya.
      Inti demokrasi adalah peranan aktif rakyat untuk ikut bertanggung jawab dalam bidang kenegaraan demi kepentingan umum. Demokrasi mampu mengembangkan kemampuan rakyat untuk memilih mana yang baik atau yang buruk sesuai kepentingan seluruh rakyat.
      Dasar Demokrasi adalah kesepakatan/prinsip “semua anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama yang tidak boleh diganggu gugat, juga tidak oleh mayoritas atau penguasa.”
      Syarat minimum mengembangkan sikap demokratis yaitu :
  • Menolak semua bentuk kekerasan atau pemaksaan. Penyelesaian masalah hendaknya melalui diskusi, persuasi dan negosiasi.
  • Sekurang-kurangnya harus menjamin kesempatan yang sama (equality of opportunities).
  • Memperjuangkan dan merealisasikan keadilan. Kebebasan dan kesempatan yang diciptakan oleh demokrasi tidak boleh manjadi alat di tangan sekelompok orang untuk menindas kelompok lainnya. Ukuran kebebasan yaitu merealisasikan kebebasan itu tanpa mengorbankan kebebasan orang lain. Maka, keadilan tercapai kalau kebebasan yang diwujudkan tidak mengorbankan kebebasan pihak lain.
Realita demokrasi ini mempengaruhi pola pikir umat dalam hidup menggereja, termasuk kegiatan Katekese. Oleh karena itu, pola katekese dari atas ke bawah dan pola informatif harus diimbangi dengan pola yang lebih komunikatif yaitu pola katekese umat.
2.3. Kemajuan Iptek
Perkembangan ilmu pengetahuan (teknologi) yang sungguh pesat telah mengubah perspektif manusia atas dirinya. Gambaran manusia akan dirinya di masa lalu menjadi berbeda ketika dibandingkan dengan gambaran manusia di masa kini.
Dahulu, manusia digambarakan sebagai botol/kertas kosong yang perlu diisi dengan nilai-nilai yang penuh makna. Implikasinya, manusia menerima pendidikan/pengetahuan dan ketrampilan dari generasi pendahulu yang dianggap lebih “mumpuni”. Sebentuk pengetahuan dan ketrampilan ini kemudian diteruskan dari generasi ke generasi. Proses perkembangan manusia merupakan pengalihan “sesuatu”, bisa ilmu pengetahuan, keterampilan, dll. Dari generasi “yang sudah tahu” ke generasi”yang belum tahu”.
Kini, manusia ibaratkan tumbuhan yang sudah memiliki daya tumbuh kembang dalam dirinya. Air, matahari, udara, dll. Hanyalah sarana yang membantunya untuk bertumbuh dan berbuah. Manusia memang meiliki segala kemampuan dalam dirinya untuk bertumbuh dan berkembang. Salah satunya adalah kecerdasan. Menurut para ahli, ada delapan jenis kecerdasan, seperti : kecerdasan logis/matematis, kecerdasan verbal/bahasa, kecerdasan visual/ruang, kecerdasan musik/ritme, kecerdasan gerak/kinestetik,  kecerdasan intrapersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan berkomunikasi dengan alam lingkungan.
III.             Gambaran Gereja Masa Kini
      Banyak pengertian dan pemahaman akan Gereja yang tergantung dari pengalaman iman umat yang hadir pada zaman itu. Konsili Vatikan II memahami Gereja sebagai Persekutuan umat beriman dan Sakramen Keselamatan bagi dunia yang kini sedang dilanda berbagai ancaman dan bahaya. Maka, setiap pemahaman Gereja memiliki latar belakang tersendiri dan menjadi jawaban akan situasi dunia yang dihadapi oleh Gereja pada zaman tertentu. Contoh: kemajuan  pengetahuan masa kini telah merambat ke berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ilmu pengetahuan sehingga seolah-olah mengancam eksistensi Gereja. Maka, untuk mewartakan Kerajaan Allah, banyak tokoh Gereja merenungkan fenomena ini dalam terang iman kristani sehingga melahirkan gambaran Gereja berikut :
3.1.  Gereja sebagai Umat Allah
      Istilah umat Allah dalam perjanjian Lama dihidupkan kembali dalam Konsili Vatikan II. Dalam Eklesiologi, pemahaman Gereja sebagai Umat Allah memiliki perspektif yang luas karena menghubungkan masa lampau dengan masa depan. Di masa lampau, Gereja memasuki tahap baru dalam sejarah keselamatan. Gereja lahir saat Pentakosta, ketika Roh Kudus turun atas Para Rasul (Kis 2), akan tetapi akar-akar Gereja sudah terdapat dalam Perjanjian Lama. Sejarah Keselamatan memang lebih luas dibandingkan sejarah Gereja, dimulai sejak manusia pertama dan dimulai kembali dengan umat Israel sebagai umat pilihan Allah.[5] Umat Allah Perjanjian Lama dipanggil dan dipilih untuk Tuhan dan untuk dunia. Dia dipilih untuk menjadi milik Allah dan ikut serta dalam menyelamatkan dunia. Umat Allah harus menaati perintah-perintah Allah. Ini berlaku bukah hanya umat Allah Perjanjian Lama, tetapi juga umat Allah perjanjian Baru. Gereja masa Depan memandang umat Allah sebagai umat peziarah dan berorientasi pada akhir zaman dengan menantikan kedatangan Yesus kedua kalinya.
      Berangkat dari situasi zaman sekarang, kemajuan dunia yang pesat mempengaruhi kehidupan umat. Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik “Spe Salvi” mengungkapkan bahwa Gereja telah terpengaruh dan bahkan tunduk pada kemajuan dunia. Iman Gereja tunduk kepada pengetahuan, teknologi, dan sebagainya. Kecenderungan umat ialah “diantara umat dalam satu Paroki tidak saling mengenal”. Bagaimana mungkin “merasa sebagai satu umat”, tetapi tidak saling mengenal, termasuk pihak Gembala/Imam yang tidak banyak mengenal umatnya. Bagaimana Gereja menjadi satu umat, jika satu sama lain tidak membuka diri? Keprihatinan ini melanda Gereja-Gereja di kota. Mentalitas indidvidualis dan materialis begitu besar sehingga orang merasa tidak membutuhkan sesamanya.
      Pengertian Eklesiologis “umat Allah” mampu mengungkapkan segi sosial dari Gereja. Maksudkan, tujuan karya keselamatan Allah ialah umat Allah seluruhnya dan setiap pribadi sebagai anggota umat, bukan para individu sendiri orang perorangan[6]. Gereja jaman sekarang khawatir atas ancaman individualistis dan anonym atau kolektifistis. Tetapi, umat Allah selalu berada dalam perjalanan penuh harapan. Umat (Perjanjian Lama) sudah menempuh perjalanan di padang pasir, begitupun dengan umat (Perjanjian Baru). Karena itu, Gereja merupakan suatu misteri karena ia telah direncanakan Allah sejak keabadian. Allah hadir di dalam GerejaNya. Konsili Vatikan II mengatakan,“Gereja tampak sebagai umat Allah yang dipersatukan dalam kesatuan Bapa, Putera dan Roh Kudus” (LG no. 4). Konsili meyatakan, “Gereja mengalami kedekatan hubungan dengan umat manusia serta sejarahnya” (GS 1). Selain itu, Gereja itu majemuk, ”Dari bangsa Yahudi maupun kafir, Allah memanggil suatu bangsa untuk bersatu padu bukan hanya menurut daging melainkan dalam Roh (LG 9).[7]
Bertitik tolak dari hasil konsili Vatikan II, ada pandangan baru tentang Gereja, seperti :
v  Tinjauan Gereja menurut perkembangan sejarah keselamatan. Gereja berada dibawah dorongan Roh Kudus. Segi Organisatoris kurang ditekankan, menonjolkan segi kharismatis. Jadi, Gereja berkembang dari kalangan umat. Kesadaran inilah yang ditanggapi Gereja dengan banyak kelompok kategorial maupun konggregasi. Realita ini menyadarkan Gereja bahwa seluruh perjalanan hidup Gereja dibimbing Roh Kudus. Gereja adalah Gereja Roh Kudus.
v  Hirarki tidak lagi berada di atas umat, tetapi di dalam umat. Para pelayan Gereja termasuk seluruh jajaran hirarkis Gereja (Uskup, imam dan para religious) tidak menempatkan diri sebagai penguasa umat, melainkan pelayanan umat. Hal ini tampak dalam Pedoman keuskupan ataupun Paroki. Contoh, tahun 2009 Keuskupan Malang mengambil tema tahun Komunio/ Paguyuban. Tahun 2008 bertema ‘Option for The Poor”. Tidak ada yang lebih penting, karena setiap orang adalah anggota tubuh mistik Kristus.
v  Terbukanya keragaman/pluriformitas dalam hidup menggereja, dalam cara hidup, maupun ciri dan sifat pelayanan Gereja.
v  Gereja sebagai umat Allah memiliki fungsi berbeda namun sama martabatnya. Konsekuensinya :
a.       Bagi pimpinan Gereja:
-    Fungsi hirarki sebagai pelayan umat, sekaligus melihat berbagai kharisma umat
b.      Bagi umat:
-          Umat perlu menyadari pentingnya persatuan umat Allah dan waspada terhadap sikap individualis.
-          Seluruh umat wajib aktif dalam kehidupan menggereja, seperti : doa, katekese, pendalaman iman dan sebagainya.
c.       Dalam relasi kaum awam dengan hirarki:
-            Kaum awam bukan pelengkap, melainkan partner Hirarki.
-            Kaum Awan dan Hirarki memiliki martabat yang sama.
Dalam katekese umat, semua orang sederajat dan saling meneguhkan.

3.2.             Gereja sebagai Sakramen Keselamatan
       Gereja sebagai sakramen berarti Gereja sebagai “tanda dan sarana” keselamatan. LG. 1 mengatakan, “Gereja merupakan tanda dan sarana kesatuan mesra dengan Alah maupun kesatuan bangsa manusia satu sama lain”. Gereja menjadi Sakramen dunia.[8] Dalam dokumen ini, keselamatan dihubungkan dengan kesatuan umat Allah. Gaudium Et Spes memiliki pandangan bahwa Gereja adalah penampakan karya keselamatan Allah yang, pertama-tama ditujukan kepada dunia. Keselamatan Allah tidak terbatas pada Gereja, tetapi meluas demi umat manusia. Pandangan Gereja “di luar Gereja tidak ada keselamatan” tidak menunjukan dimensi kekudusan Gereja, karena mengabaikan kepentingan Kerajaan Allah.
       Fungsi Gereja sebagai sakramen keselamatan tampak ketika membantu manusia membangun relasi dengan Allah. Gereja bertugas membuat dunia menjadi baik dan sesuai dengan kehendak Allah. Karya Penebusan Kristus yang tertuju kepada keselamatan manusia, sekigus membaharui tata hidup manusia.  Jadi, Gereja harus selalu berdialog dengan dunia.
a.      Gereja, Dunia dan Manusia.
Konsili Vatikan II menunjukan bahwa Gereja mewartakan Kerajaan Allah kepada dunia, sekaligus mengambil nilai positif dunia demi perkembangan Gereja. Gereja telah memiliki pandangan tentang dunia, seperti :
v Dunia yang dilihat sebagai suatu keluarga manusia dengan segala hal yang ada di sekelilingnya. Dunia menjadi pentas berlangsungnya sejarah umat manusia. Dalam penghayatan umat beriman kadang orang menyesali dunia oleh karena kehidupannya sangat menderita. Melihat dunia sebagai sisi gelap dari kehidupannya. Tetapi sebenarnya berkat iman, seseorang dapat melihat segalanya dalam rencana keselamatan Allah.
v Manusia dan beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain
a.    Martabat Manusia
Gereja mengajarkan bahwa manusia mempunyai martabat yang luhur. Manusia diciptakan dan dipanggil untuk mengembangan diri menyerupai Kristus. Kristus menampakkan citra Allah secara utuh. Gereja terbuka atas persoalan di sekitarnya dengan caranya sendiri. Melalui katekese, Gereja berpikir bersama sekaligus mencari solusinya.
b.    Masyarakat. Manusia diciptakan sebagai mahkluk sosial. Kristus berdoa agar semuanya menjadi satu sama seperti kitapun satu adanya (Yoh 17:21-22). Dimensi sosial Gereja terpancar ketika ia terbuka bagi semua orang, di tengah masyarakat umat kristani juga hidup dengan orang yang beragama lain atau beda iman. Untuk itulah diharapkan bahwa buah iman itu juga terpancar keluar ketika berhadapan dengan orang-orang yang berbeda iman. Maka, bentuk katekesenya bertujuan untuk menjaga kesatuan di dalam jemaat. Membangun iman yang berakar dan bertumbuh dalam kedewasaan iman.
c.     Usaha Manusia. Manusia adalah rekan kerja Allah. Manusia dipanggil untuk mengembangkan segala potensinya yang ada dalam dirinya. Kenyataannya, jarang kita temui orang Katolik di Indonesia yang menduduki posisi penting dalam masyarakat dan pemerintah. Maka, Katekese menjadi latihan untuk menemukan Allah dalam hidup manusia.

b.  Gereja dan Kerajaan Allah
     Dalam terang Roh Kudus, para rasul sadar bahwa Yesus Kristus telah bangkit. Karya Allah dalam para rasul merupakan perwujudan realitas  Ilahi yang kini mereka lihat sebagai isi sejarah Yesus[9]. Bertolak dari misi Yesus Kristus, manusia berjuang untuk membangun Kerajaan Allah. Para rasul meneruskan misi Kristus, sekaligus mewartakan Sabda dalam setiap pelayanannya. Kerajaan Allah merupakan simbol relasional antara Allah dan manusia. Kerajaan Allah adalah Allah sendiri yang mewahyukan dan memberikan diri kepada manusia. Kerajaan Allah adalah suasana dimana manusia menerima Allah sebagai penentu dan pengatur kehidupannya, baik perorangan maupun hidup sosial. Ada empat aspek pemahaman tentang kerajaan, seperti :
a.      Aspek Kristologi
     Pemakluman Kerajaan Allah sangat erat hubungannya dengan pribadi Yesus Kristus. Keselamatan yang hadir dalam diri Yesus Kristus menggambarkan relasi personalnya dengan Allah, baik dalam doa, sikap dan kenabianNya, maupun dalam tindakan dan sabdaNya. Allah hadir dan meraja dalam diri Yesus Kristsus. Hidup dan karya Yesus mewujudkan Kerajaan Allah. Kristus juga dikatakan sebagai kepala tubuh mistik Kristus untuk menunjukan bahwa kedatangan Kristus ke dunia bukan untuk memenuhi kehendakNya sendiri melainkan untuk mewujudkan kehendak BapaNya. Tujuan dari kedatanganNya ke tengah dunia ialah menarik semua orang untuk mengambil bagian dalam Kerajaan Allah. Atas dasar inilah umat dalam seluruh doa, devosi serta karya pelayanan sebenarnya mengumpulkan bekal untuk dapat berbahagia di dalam KerajaanNya yang terkasih[10].
b.      Aspek Teologis
     Pemakluman Yesus mengenai Kerajaan Allah ditentukan oleh pengalaman pribadiNya  dengan Allah sebagai Abba, Bapa tercinta. Agustinus berbicara tentang Gereja yang tidak saja melihat dunia tetapi juga merangkum surga: malaikat-malaikat dan para kudus adalah anggota-anggota Gereja yang berada di surga. Kristus sebagai kepala bersama dengan semua anggotan yang tertebus. Rahmat yang merupakan benih kemuliaan adalah rahmat Kristus. Maka, Gereja dibangun dari orang yang dipersatukan dengan Allah oleh karena rahmat atas kodrati yang mengalir dari Kristus sebagai kepala[11]
     Kesatuan Kristus dengan BapaNya menunjukan kesatuan Kristus dengan anggotaNya, juga anggota dengan sesama. Kerajaan Allah hadir secara nyata di tengah dunia, ketika Gereja mewujudkan kesatuannya, baik dengan Kristus sebagai kepalaNya maupun di antara anggota satu dengan yang lain. Kesatuan ini tampak ketika para Murid diajari Yesus berdoa : “Bapa Kami”. Dalam Roh kudus, kita ambil bagian dalam hidup Yesus dan menyapa Allah sebagai Bapa tercinta.
c.       Aspek Soteriologis
     Kerajaan Allah merupakan lingkup penyelamatan, peritiwa dan situasi penyelamatan. Kalau Allah meraja, maka keselamatan manusialah yang diperhatikan. Keselamatan bukan hanya keselamatan rohani, melainkan keselamatan manusia dengan mitra jasmaniah dan sosialnya. Apa maksudnya? Keselamatan itu diperoleh melalui tindakan nyata manusia dengan bantuan rahmat Allah. “Orang buta melihat, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan, dan kepada orang miskin diberikan kabar baik (Luk 7:22). Kedalaman hati seseorang bukan hanya terletak kepada kecintaannya kepada Tuhan saja, namun juga terletak pada relasinya dengan orang-orang yang dijumpainya khususnya mereka yang lemah.
d.      Aspek Eskatologis.
     Pada umumnya Gereja dipikirkan sebagai suatu kenyatan duniawi. Ada yang mengatakan Gereja akan lenyap pada akhir zaman. Karl Rahner berpendapat, “Gereja selalu hidup dalam pemakluman tentang statusnya yang sementara dan tentang kenyataan bahwa ia semakin menghilang dalam perkembangan sejarah menuju Kerajaan Allah yang sedang datang dan kepadanya dia berkelana dalam pengharapan sebagai seorang musafir. Gereja ialah suatu jemaat yang sedang berziarah menuju kebahagiaan kekal”.[12] Kerajaan Allah saat ini, secara dinamis mewujudkan diri sepenuhnya pada akhir zaman. Gereja sebagai persekutuan murid Yesus harus melanjutkan misi dan cita-cita Yesus untuk membangun Kerajaan Allah di bumi. Ada empat tugas utama Gereja yaitu Koinonia, Kerigma, Liturgia dan Diakonia. Menjadi pertanyaan reflektif (katekese umat) sejauh mana Gereja telah mengembangkan keempat tugas ini? Apakah Gereja sungguh menghadirkan Kerjaan Allah ditengah dunia? Apakah dalam meneruskan misi Yesus Kristus, Gereja sudah mengantar semua orang untuk menyiapkan diri dalam menyongsong akhir zaman?
3. 3. Gereja Kaum Miskin
       Keprihatinan dunia masa kini yaitu tiadanya penghaargaan terhadap martabat manusia. Peperangan dan permusuhan yang memunculkan realitas ketidakadilan menelantarkan banyak manusia. Para teolog merefleksikan suatu teologi dalam konteks manusia kini dan disini. Maka, muncullah teologi kontekstual. Semuanya bertujuan untuk membebaskan manusia dari situasi ketidakadilan. Sebagai contoh, kelompok masyarakat yang terbuang dan tidak diperhatikan masyarakat adalah kelompok masyarakat miskin. Seperti Allah yang  mempunyai keprihatinan terhadap hidup orang miskin, kita pun dipanggil untuk mengatasi penindasan. Kondisi Indonesia cukup memprihatinkan. Orang beriman yang bahagia semakin berkurang, sedangkan orang yang menderita semakin banyak. Di berbagai kota besar, ada banyak kaum miskin ini, seperti : mereka yang menjadi pencuri, pemulung, pengamen, tukang becak, dll. Indonesia sungguh berada di bawah garis kemiskinan. Dan panggilan bagi setiap orang Kristen ialah solider dengan orang miskin.
a.  Gereja Untuk dan Bersama Kaum Miskin
       Eklesiologi yang diharapkan adalah Eklesiologi yang memperhatikan orang kecil, tanpa mengabaikan orang yang berkelimpahan. Option for the poor dimaknai sebagai tindakan yang mendahulukan kaum miskin. Kadang orang keliru memahami hal ini, seolah Gereja tidak menyertai orang yang berkelimpahan. Sabda Yesus, “Orang sehat tidak perlu dokter” (Mat 9:12) mau menunjukan bahwa panggilan untuk memperhatikan sesama, khususnya yang menderita merupakan panggilan Gereja lewat perhatian bagi mereka yang membutuhkan[13]. Ketika Gereja menjadi sakramen keselamatan bagi masyarakat, maka ia wajib solider dengan orang-orang miskin.
       Hampir di setiap Keuskupan/Paroki, ada institusi yang hendak memperhatikan hidup kaum miskin ini. Gereja dipanggil untuk memperhatikan yang miskin. Gereja bukan penonton/hanya sebagai pemberi sumbangan layaknya pekerja social. Gereja hadir untuk meneguhkan yang lemah. Artinya, Gereja menjadi sesame, bagi saudara sebangsanya yang miskin.
       Kontekstualisasinya, Katekese umat hendaknya tidak berbicara tentang iman “melulu”, melainkan iman direalisasikan dalam hidup manusia. Melalui katekese umat, umat leluasa mengungkapkan keprihatinannya, sekaligus berusaha bersama menjawab berbagai tantangan kehidupan.
b.   Gereja Kaum Miskin.
       Paus Yohanes XXXIII dalam pesannya berkata, ”Dihadapan Negara-negara yang sedang berkembang, Gereja menampilkan diri ap adanya dan ingin menjadi Gereja bagi semua orang, khususnya orang-orang miskin”. Konsili vatikan II dalam LG 88 menyatakan, “Sebagaimana Kristus melaksanakan karya penebusan dalam kemiskinan dan penganiayaan, begitu pula Gereja dipanggil untuk mengikuti jalan yang sama bila ingin menyampaikan buah-buah keselamatan kepada orang-orang”. Maka, Gereja yang harus didirikan ialah Gereja yang melayani. Model Gereja ini menempatkan diri pada posisi pelayan bagi yang kurang mampu (miskin). Model ini akan menjawab kebutuhan masyarakat melalui iman akan Kristus, harapan akan datangnya Kerajaan Allah dan kerinduannya akan nilai damai, keadilan, persaudaraan. Gereja hadir untuk mengubah dunia menjadi lebih baik.
       Dengan bertindak demikian, Gereja menjadi Sakramen Keselamatan bagi masyarakat. Gereja dipanggil untuk bekerja sama dengan pemerintah demi kesejahteraan masyarakat.
3. 4.   Gereja Pemberdayaan dan Gereja Pemerdekaan
       Model Gereja ini mau menunjukan secara lebih jelas bahwa orang miskin bukanlah objek, melainkan subjek dalam kegiatan hidup menggereja dan bermasyrakat. Mereka diharapkan terlibat aktif dalam proses pembangunan Gereja dan masyarakat, mulai dari proses pengamatan, analisis, refleksi, membuat rencana dan melaksanakan apa yang direncanakan bersama. Kita dapat mengamati usaha sebuah Paroki yang ingin memberdayakan mereka yang tidak mampu. Ada beberapa kelompok kategorial seperti Legio Maria, SSV, Credit Union (koperasi), dll. yang sudah mengemban tugan ini. Orang-orang yang lemah diberi modal agar mampu mandiri.
      Katekese Umat yang partisipatif hendaknya melibatkan semua peserta untuk berpikir, berbicara, menganalisis, merefleksikan, merencanakan dan kemudian bertindak. Katekese umat hendaknya meningkatkan kemampuan, tanggungjawab dan harkat serta martabat setiap peserta. Katekese umat hendaknya bersifat memberdayakan dan memerdekaan kaum yang tersisihkan, tanpa memandang tingkat sosial, pangkat kedudukan dan status. Semuanya itu didasarkan pada keyakinan “semua orang sama di mata Yesus”. Kristus menyatukan semua orang dalam DiriNya. 
IV.             Tinjauan Kritis
      Pada bagian ini, kami memberikan tinjauan kritis terhadap latar belakang dan perkembangan katekese umat. Kita mengetahui bahwa Katekese Umat merupakan salah satu metode pengajaran Gereja Katolik Indonesia dengan menyesuaikan relitas bangsa Indonesia. Inilah pengajaran yang diwarnai oleh kebudayaan/kearifan lokal Indonesia.
      Katekese umat selalu bersifat dinamis. Sifat ini sungguh dipengaruhi oleh dinamika perkembangan kedewasaan iman Gereja ketika berdialog dengan realita. Oleh karena itu, kami hendak menyajikan sebuah analisa singkat tentang keunggulan maupun kelemahan Katekese Umat berkaitan dengan latar belakang perkembangannya.
4.1.Keunggulan
·         Katekese Umat yang memakai perspektif budaya musyawarah lebih mudah dipraktekkan, karena budaya musyawarah telah hidup dalam hati bangsa Indonesia sejak dulu hingga saat ini. Dengan budaya musyawarah, katekese umat menghormati kesamaan hak, kebebasan mengeluarkan pendapat dan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan.
·         Asas demokrasi dalam katekese umat meningkatkan peran serta umat dalam gereja sejak Konsili Vatikan II. Artinya, katekese umat membudayakan demokrasi dalam hidup mengereja sehingga katekese umat dari top-down berubah menjadi pola komunikatif yang menyebar bagai spora/ragi. “Demokrasi dimengerti sebagai upaya membuka dan memberi kesempatan kepada setiap orang untuk menlakukan inisiatif, berpendapat dan membela kepentingannya, sebab semua manusia itu bebas dan sama haknya”[14].
·         Ilmu-ilmu tentang manusia menjadi alat bantu katekese umat sehingga lebih efisien/efektif dalam menggapai hasil yang diharapkan yaitu kedewasaan iman umat baik dalam hidup menggeeja maupun dalam hidup bermasyarakat. Selain itu, ilmu-ilmu tentang manusia dapat membantu umat untuk menemukan gambaran yang tepat tentang identitas dirinya sebagai Gereja sesuai dengan konteks zamannya. Beberapa contoh gambaran Gereja masa kini yaitu :
·         Gereja sebagai Sakramen :
Dewasa ini Gereja semakin menyadari dan membaharui diri dalam hubungannya dengan manusia dan dunia. Gereja jauh lebih berpikir positif tentang dunia dan manusia. Untuk itulah Gereja tidak pernah terpisah dari manusia dan dunia. Pada masa lampau, Gereja lebih cenderung untuk menganggap dunia menjadi lahan dosa, tempat dimana Kerajaan Allah sulit untuk bertumbuh. Untuk itulah Gereja cenderung jatuh dalam superioritas khususnya dalam hubungannya dengan agama yang lain. Istilah “Di luar Gereja tidak ada keselamatan” merupakan ungkapan superioritas Gereja. Tetapi pemahaman Gereja sebagai Sakramen Keselamatan lebih ditandai dengan keterbukaan Roh Allah sendiri yang bekerja dalam diri para pembesar Gereja untuk selalu terbuka terhadap dialog dan segala kritikan terhadap Gereja. Disamping itu, di dalam penghayatan Gereja sendiri, umat beriman lebih menunjukan kedalaman hidup mereka ketimbang menampilkan segala hal-hal lahiriah misalnya kekayaan dan ekslusivitas dalam kelompok umat beriman. Umat beriman lebih terbuka untuk mengkritik dan memberi masukan baik terhadap penghayatan hidup para pemimpin Gereja sendiri maupun bagi diantara umatsendiri demi pembangunan Gereja.
·         Gereja “untuk” dan “bersama” kaum miskin
“Option for the poor” menjadi ungkapan yang marak diproklamasikan oleh Gereja dewasa ini. Itu berarti Gereja sungguh membuka mata terhadap situasi manusia, menjawab kehausan dan penderitaan manusia. Gereja-Gereja lokal sudah mulai menghidupkan semangat ini. Keuskupan Malang mengambil ungkapan ini menjadi tema keuskupan tahun yang lalu. Hal ini menunjukan bahwa Gereja tidak hanya berorientasi pada hal-hal rohani atau hanya berhenti pada upacara ritual belaka di  dalam Gereja tetapi  lebih menunjukan dimensi sosial hidup Gereja. Dan semangat ini senantiasa harus tetap dihidupkan agar semakin banyak orang yang memiliki harapan akan hidup.  Katekese senantiasa menjadi sarana yang ampuh untuk membuka mata kaum beriman dalam mencintai orang-orang miskin dan terbuang.
4.2.Kelemahan
·         Budaya musyawarah yang dimanfaatkan dalam katekese umat mulai tergerus oleh globalisasi. Gema budaya musyawarah ini berkurang seiring perkembangan budaya hedonism, konsumerisme dan sekularisasi. Kita perlu menyadari bahwa tidak semua penduduk di wilayah Indonesia yang masih mempertahankan budaya musyawarah ini.
·         Budaya musyawarah dan budaya demokrasi adakalanya mendapat tantangan dari otoritas Gerejawi. Gereja memiliki otorisasi yang bersifat turun temurun dalam hal ajaran iman dan moral. Maka, keberadaan otoritas (hirarki) Gereja membuat “sistem pemerintahan yang demokratis”[15] sungguh tak mungkin terjadi. Mengapa? Sistem pemerintahan Gerejawi bukanlah sistem pemerintahan duniawi  yang bersifat demokratis.
Yang mungkin terjadi adalah meningkatnya peran serta aktif umat dalam hidup menggereja, khususnya sejak Konsili Vatikan II.
·         Sifat dinamis ilmu-ilmu tentang manusia membuat bentuk/pola katekese umat menjadi beragam. Keragaman bentuk katekese umat ini menyesuaikan dengan realita masyarakat dan dinamikanya sehingga pola katekese tertentu belum tentu cocok untuk diterapkan di semua tempat. Akibatnya, banyak petugas yang mengalami kesulitan dalam berkatekese
·         Isi buku “Katekese Umat” ini kurang aplikatif/terlalu teoritis (bersifat idealis), namun baik jika kita jadikan sebagai acuan dasar untuk membuat pola/metode berkatekese.
·         Kita perlu berhati-hati. Pencapaian hasil Katekese Umat tak mungkin dipaksakan “harus sesuai target!” Mengapa? Pencapaian tujuan Katekese Umat sungguh membutuhkan perhatian/pemikiran, tenaga, biaya dan waktu yang tidak sedikit sehingga orientasi melulu pada hasil hendaknya direduksi seminimal mungkin. Oleh karena itu, pendewasaan iman merupakan sebuah proses panjang dalam hidup orang beriman dan dalam hidup menggereja dengan semua dinamika hidup dan keunikannya masing-masing.
·         Model Gereja sebagai Umat Allah
Sebenarnya kami tidak bermaksud mengatakan bahwa penghayatan Gereja akan dimensi yang satu ini mengalami kemunduran besar atau nilai ini sudah berangsur pudar tetapi kami hanya mengungkapkan beberapa kecenderungan yang mungkin memiliki pengaruh bagi penghayatan dimensi ini. Pertama, kecenderungan pastorsentrisme; kuasa sepenuhnya ada pada Pastor Paroki dan umat hanya sebagai pelaku pasif. Kecenderungan seperti ini masih terasa hingga sekarang. Dan ada bahaya besar jika nilai  ini tetap dipertahankan. Segala sesuatu mestinya diatur oleh Imam atau segala keputusan mestinya keluar dari mulut pastor Paroki. Kecenderungan kedua yaitu diantara umat sendiri tidak dapat saling mengenal. Hal ini diibaratkan orang yang ketemu di Mall atau di Pasar, orang hanya datang ke tempat itu hanya untuk memenuhi kebutuhannya tanpa memperhatikan orang di sekitarnya. Demikian kecenderungan ini mulai marak terjadi khususnya pada Gereja yang ada di kota yang terjangkit oleh arus individualisme. Jika diantara umat itu sendiri tidak dapat saling mengenal maka hancurlah Gereja. Dimensi Gereja sebagai umat Allah akan menjadi luntur dan Gereja diambang kehancuran. Tetapi Gereja senantiasa mereformasi diri untuk selalu menumbuhkan semangat partisipatif umat. Katekese Umat menjadi wujud yang paling nyata dari Gereja yang partisipatif. Dan inilah sebenarnya aplikasi paling nyata dari model Gereja sebagai Umat Allah.

4.3. Saran
v   Sebaiknya, setiap Keuskupan memperhatikan model-model Gereja ini, dalam menentukan tema-tema keuskupan sehingga umat beriman tidak  melupakan hal-hal yang esensial dalam kehidupan Gereja. Untuk itulah setiap fasilitator harus sungguh mendalami dimensi ini. Bagi kami inilah pengetahuan dasar yang harus dipahami oleh setiap orang beriman dalam memahami Gereja.
v  Katekese senantiasa menjadi sarana dan moment yang paling tepat untuk mengerti dan mendalami dimensi-dimensi hidup Gereja, karena itulah Katekese harus mendapat tempat yang utama dalam kegiatan umat di setiap Paroki.   


V.                Hasil Penelitian
  • Nama               : Lingkungan St. Yohanes Rasul.
  • Kegiatan umat :
Pendalaman iman (setiap Senin), doa lingkungan (setiap Kamis), latihan koor (setiap Jumat). Ada hari-hari tertentu untuk doa lingkungan dengan intensi khusus. Kegiatan bina iman anak setiap Sabtu sore di Paroki Ijen. Beberapa warga lingkungan menjadi pengurus Dewan Paroki dan pengurus Orka.
·         Keadaan Sosial Ekonomi Umat  :
Rata-rata berprofesi sebagai tenaga pendidik dan wiraswasta. Keadaan perekonomian mayoritas menengah ke bawah.
·         Pengurus Lingkungan            :
Tugas Pelayanan
Nama
Alamat
Penasihat
JB Wagiyo
Jl. Bareng Raya II N 560A
Ketua
Abdon Yulianto
Jl. Bareng Tengah V 688
Wakil Ketua
Dionisius  AH
Jl. Bareng Raya II B 328
Sekretaris
M Margaretha ASP
Jl. Bareng Raya II N 560A
Bendahara
Anselmus Basunanda
Jl. Bareng Raya II 504
Seksi Liturgi
Th Lanny Gunawan
Jl. Bareng Raya II N 551C

Stephanus Muryanto
Jl. Bareng Tengah V D 514

Bambang Kus
Jl. Bareng Raya II N 551C
Seksi Bina Iman
Maria Erna P
Jl. Bareng Raya II 473

Shanti
Jl. Bareng Raya II B 328
Seksi Pewartaan dan Keluarga
Sukardji
Jl. Bareng Tenes IV 576A

AM Wiwik Saraswati
Jl. Bareng Raya II B 328

C Sri Raharmeni
Jl. Bareng Tenes IV B 638H
Seksi Sosial
Bambang Suprapto
Jl. Bareng Raya II C 372

Yohanes Boimin
Jl. Bareng Raya II C 410

M Poerwani
Jl. Bareng Raya II N 550B
Seksi Mudika
Onny
Jl. Bareng Raya II

Bayu
Jl. Bareng Raya II N 551CB
Ketua Blok


Bareng Kartini
C Tutik Heriyanti
Jl. Bareng Kartini
Bareng Tenes
Indri
Jl. Bareng Tenes IV B 640
Bareng Raya
Lianti Anita
Jl. Bareng Raya II A 390A
Bareng Tengah Barat
M Margaretha ASP
Jl. Bareng Raya II N 560A
Bareng Tengah Timur
Diana Puspita Sari
Jl. Bareng Tengah v 710A
·         Status Lingkungan :
            Merupakan lingkungan tertua di wilayah 2 Paroki St. Perwan Maria dari gunung Karmel, Ijen Malang. Berdiri sejak 1972. Lingkugan ini telah mengalami pemekaran sebanyak 2 kali. Hasil pemekarannya adalah Lingkungan St. Yohanes Pembaptis (1975) dan St. Petrus (1981). Hingga Januari 2009, jumlah umat sekitar 80-an KK tidak termasuk para mahasiswa/pekerja yang berdomisili di lingkungan ini. Secara Eklesiologis, lingkungan ini menggambarkan Gereja sebagai Sakramen Sakramen Keselamatan Dunia yang mewartakan Kabar Gembira bagi siapa pun.
·         Relevansi Penelitian dengan Bagian II buku Katekese Umat adalah :
           Lingkungan ini memiliki pola Katekese umat yang relatif baik dengan memanfaatkan budaya musyawarah dan prinsip demokrasi. Hal ini tampak dalam pembagian kerja yang terencana dan terlaksana dengan baik. Contoh, ketika ada petugas yang berhalangan dalam suatu doa lingkungan, pengurus lingkungan dapat dengan mudah mencari penggantinya. Selain itu, sikap saling menolong demi kelancaran kegiatan tertentu sungguh tampak nyata dalam Lingkungan ini. Contoh, ada beberapa tenaga Pastoral senior yang mempersilakan jabatan/fungsi tertentu dalam Lingkungan yang dijalankan oleh tenaga muda, seperti posisi Ketua Lingkungan, Bendahara, dan sie Pembinaan Kaum Muda.
           Namun, proses kaderisasi Lingkungan ini mengalami kendala yang cukup berarti sehingga berjalan cukup lambat. Fakta-faktanya, pertama, banyak kaum muda yang keluar kota dengan alasan pendidikan dan pekerjaan. Kedua, kaum muda berpotensi di Lingkungan ini berasal dari kalangan pekerja yang berpindah (tidak menetap dalam kurun waktu yang cukup lama). Ketiga, tenaga fasilitator ada yang bersemangat namun berpengetahuan kurang, ada yang berpengetahuan namun kurang berinisiatif.
            Secara Eklesiologis, Jati diri Gereja yang diwartakan Lingkungan St. Yohanes Rasul ini adalah Gereja sebagai Sakramen Keselamatan Dunia yang mewartakan Kabar Gembira bagi siapa pun.

VI.             Penutup
            Katekese Umat merupakan bentuk katekese khas Indonesia. Katekese ini bertolak dari latar belakang budaya dan kekayaan bangsa Indonesia dalam terang iman. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk . Budaya leluhur yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia ialah musyawarah. Maka, katekese umat berupaya mengembangkan ciri khas bangsa Indonesia sehingga dapat diterima dalam umat Katolik Indonesia.
            Gereja Indonesia melalui Katekese Umat hendak menerapkan prinsip demokrasi dengan menekankan kebebasan bertanggung jawab ketika mengungkapkan aspirasi dan tindakannya. Perlu kita sadari bahwa Gereja Katolik Indonesia tidak terpisah dari pengaruh zamannya. Hal ini mempengaruhi bentuk katekese yang ideal.
            Unsur Teologi dalam Katekese Umat harus menjadi pedoman untuk merefleksikan dan menentukan segala sesuatu. Teologi kontekstual ialah teologi yang bertolak dari realitas konkret suatu masyarakat. Studi tentang latar belakang munculnya katekese umat sungguh membantu, bukan hanya demi  umat Gereja Katolik Indonesia sendiri, melainkan demi masyarakat beriman lainnya. Caranya adalah dengan menanggapi segala persoalan yang ada di sekitarnya dalam terang iman. Katekese umat menjadi sarana yang paling efektif untuk melihat seluruh aspek kehidupan. Harapannya adalah terbentuknya umat yang hidup dalam kedewasan iman. Semoga.






DAFTAR PUSTAKA
Dister, Nico Syukur OFM., Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan, Yogyakarta: Kanisius,
       2004.
Dulles, Avery SJ., Model-Model Gereja, Ende: Nusa Indah, 1990.
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, Jakarta: Obor 1996.
Lalu, Yosef, Katekese Umat, Yogyakarta : Kanisius, 2007.

Singgih, Emanuel Gerrit Ph.D., Berteologi dalam Konteks, Yogyakarta: Kanisius, 2000.




[1] Yosef Lalu, Katekese Umat, Yogyakarta : Kanisius, 2007, hlm. 60-81.
[2] Ibid. hlm. 63.
[3] Ibid. hlm. 63-64.
[4] Ibid. hlm. 64-68.
[5] Dr. Nico Syukur Dister, OFM. Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 207
[6] Ibid. hlm. 208
[7] Konferensi Wali Gereja Indonesia. Iman Katolik. Jakarta: Obor 1996, hlm. 333
[8] Dr. Nico Syukur Dister, OFM. Op.Cit., hlm. 207
[9] Ibid. hlm. 207.
[10] Avery Dulles, SJ, Model-Model Gereja, Ende: Nusa Indah, 1990, hlm. 74
[11] Ibid. hlm. 48
[12] Ibid. hlm. 97.
[13] Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D., Berteologi dalam Konteks, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 214.
[14] Yosef Lalu, Op. Cit., hlm. 65.
[15] Sistem pemerintahan demokratis memiliki kekuasaan memerintah yang berasal dari rakyat. Rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Legitimasi pemerintah berasal dari kemauan dan kontrol rakyat terhadap pemerintah. Biasanya sistem demokrasi ini dijalankan dengan sistem perwakilan di mana rakyat-lah yang memilih wakil-wakilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar