Jumat, 16 September 2011

            
“Keraguan Sama Kuatnya dengan Kepastian”

            Dalam hidup, kita tidak pernah luput dari pengalaman yang dinamakan keraguan. Pengalaman ini kadang-kadang membuat hidup kita menjadi  bingung , cemas dan kesulitan untk mengambil keputusan. Sehingga tidak mengherankan hidup kita menjadi tidak realistis atau tidak mengatakan kebenaran dari apa yang kita rasakan dan lakukan di sini dan saat ini. Kita bisa menyebut pengalaman keraguan dalam hidup tetapi kira bercermin pada pengalaman seorang artis yang masih segar dalam ingatan kita yakni pengalaman Sheila Marcia dimana Sheilla mengalami pergolakan atau keraguan yang hebat untuk mengakui secara publik siapa ayah dari anak yang dikandungnya. Dalam keraguan dan pergolakan tersebut, Sheila memilih diam dan membiarkan kebenaran yang berkata-kata. Dan tenangnya Sheilla dalam situasi keraguan-raguan akhirnya berbuah manis. Kebenaran itu sendiri yang mengungkapkan dirinya. Penulis di sini tidak bermaksud membuat penilaian akan pengalaman keraguan Sheilla tetapi yang mau ditekankan di sini soal bagaimana kita melihat hubungan antara situasi keraguan dengan kebenaran itu sendiri. Ada banyak pengalaman konkret keraguan yang kita alami, sebut saja misalnya dalam pengalaman kecil yakni keraguan dalam  menentukan apa yang kita sukai, hobi, makan dan sebagainya atau dalam kasus yang lebih besar yakni keraguan dalam menentukan pilihan hidup.
            Terhadap sikap keraguan ini, kebanyakan psikolog atau orang bijak mengatakan bahwa dalam situasi seperti itu, jangan kita sekali-kali mengambil keputusan. Lalu bagaimana kita memposisikan diri dalam situaisi keraguan? Dan bagaiman kita bersikap dan bertindak dalam situasi seperti itu? Penulis pertama-tama mengutip apa yang dikatakan pastor Flynn dalam film “Doubt” khususnya dalam mengatasi situasi keraguan. Beliau mengatakan “Kamu harus membedakan antara emosi dengan fakta itu sendiri, apa yang kamu alami sekarang adalah emosimu bukanlah fakta”. Dalam situasi keraguan antara emosi dan kebenaran dari apa yang dikatakan kadankadang bercampur sehingga membuat kita lupa membedakan mana yang murni kebenaran dan mana yang hanya sebatas emosi. Berangkat dari ucapan ini, penulis mencoba menguraikan bagaimana penilaian moral kristiani terhadap pengalaman keraguan yang dialami oleh Sr. Aloysius dalam film “Doubt”. Penilaian ini bertitik tolak dari moral kristiani khususnya berkaitan dengan moral 3K: Kehormatan, Kebenaran dan Kesetiaan.

Alur Cerita  :
            Sebelum mengulas penilaian lebih jauh tentang film di atas, penulis mencoba menunjukan secara garis besar alur cerita dari film tersebut.          Cerita ini menjadi menarik karena diawali dengan khotbah pastor Flynn dalam perayaan Ekaristi dimana beliau memberi gambaran bagaimana seseorang berada dan tinggal dalam pengalaman keraguan. Baginya, tidak ada pilihan lain selain bertahan dan secara perlahan menemukan kepastian dalam situasi tersebut. Bagi penulis, khotbah ini menjadi peta yang menunjukan alur cerita selanjujutnya atau menjadi pesan terkahir dari seluruh cerita tersebut. Cerita selanjutnya menunjukan karakter dan peran setiap tokoh. Ditunjukan dengan jelas bagaimana karakter Sr. Aloysius, seorang yang sangat keras dan tidak banyak kompromi. Sebagai kepala sekola, dia menerapkan disiplin yang tinggi kepada murid dan para guru. Ini terlihat dari tindakannya menghukum para murid yang melakukan kesalahan serta beberapa kali terlihat suster mengawasi secara langsung proses belajar mengajar di dalam kelas. Bukan hanya itu, disiplin tinggi juga diterapkannya dalam hidup berkomunitas. Para suster cukup merasa segan dengannya. Segala aturan yang ada dijalankan dengan disiplin yang tinggi dan seolah dikatakan bahwa tidak ada yang boleh melanggarnya. Suasana seperti ini membuat hidup para suster lainnya merasa tidak rileks dan semangat persaudaraan seolah pudar dalam komunitas itu.
            Lain halnnya dengan pastor yang baru dipindahkan ke paroki tersebut. Namanya pastor Flynn. Dia tampil sebagai bapa yang murah hati dan penuh semangat dalam membangun iman umatnya. Selain sebagai pastor paroki, beliau juga diperbantukan menjadi tim pembina di sekolah St. Nikolas. Menurut pengamatannya, beliau melihat adanya sistem yang kurang baik dalam sekolah tersebut dimana penerapan prinsip yang terlalu kaku membuat para murid yang nota bene masih kecil harus dicekoki dengan hal-hal yang urang menyenangkan dan kurang kreatif. Mereka tidak mengalami pengalaman menyenangkan dalam sekolah tersebut. Dan pastor ingin menciptakan suasana tersebut. Dia mulai melatih para murid bermain basket, membina para misdinar dan sebagainya. Dengan tindakan itu, para murid mengagumi pastor tersebut. Dan kesempatan ini menjadi awal dari ketidaknyaman Sr. Aloysius ketika dia melihat adanya suasana pembinaan yang bertentangan dengan prinsip yang diterapkannya. Beriringan dengan hal tersebut, rasa iri, curiga, benci dan takut mulai menghinggapi  Sr. Aloysius. Suster mulai merasa bahwa kemapanannya di sekolah itu perlahan-lahan diusik. Lalu apa yang mesti dilakukannya untuk mempertahankan kemapanannya itu? Sr. Aloysius mulai mencoba mencari celah untuk dapat menyingkirkan pastor Flynn. Dia menemukan celahnya. Pertama-tama kecurigaan yang timbul dalam dirinya ialah keterkaitan pastor terhadap anak-anak. Dia selalu bersama anak-anak dan mencoba menyenangkan mereka. Apa intensi dibalik semuanya itu? Suster melihat  adanya tanda-tanda kelainan yang terjadi dalam diri pastor. Misalnya, dalam suatu kesempatan, dari ruang kerjanya Sr. Aloysius melihat bagaimana pastor tersebut menjamah anak-anak murid, di kesempatan lain, dia menjumpai tindakan pastor yang meletakan celana dalam di lemari Donald Muller. Setiap praduganya, seolah-olah tidak meleset oleh karena konteks yang ditunjukan dalam film tersebut cukup jelas.
            Titik tuduhan Sr. Aloysius menjadi jelas kala dijumpai Donald Muller, seorang murid yang berkulit hitam bersama pastor dalam ruang sakristi. Sr. Aloysius mencurigai bahwa di dalam sakristi, pastor memberikan anggur kepada Donald sehingga membuat anak itu  mabuk. Dan dalam situasi tersebut, pastor bisa melakukan tindakan tindakan penyimpangan (phediofilia) kepada anak tersebut. Tetapi sekali lagi, tuduhan ini ibarat anjing yang menggonggong di malam hari tetapi tidak ada pencuri dan perampok yang datang. Dalam arti ini, segala kecurigaan suster tidak mengatakan fakta atau realita apa-apa dan itu hanya tinggal. Tuduhan ini tidak memilki alasan dan bukti yang pasti. Tuduhan dan celaan itu pertama kali diceritakan kepada Sr. James, seorang suster muda yang menyayangi anak muridnya. Ketika mendengar tuduhan dan celaan tersebut, Sr. James tenggelam dalam situasi  ragu-ragu atas apa yang didengarnya. Dan lebih parah lagi, keraguan Sr. Aloysius yang dibungkus oleh keyakinan yang besar juga diceritakan dan diberitakan kepada Ibu dari Donald Muller yang nota bene juga mengagumi pastor yang baginya telah membuat anaknya berubah dan menjadi optimis dengan hidupnya.
            Aroma berita yang tak sedap itu akhirnya menjadi buah bibir di kota itu. Ketika mendengar berita tersebut, Pastor Flynn seolah-olah tidak percaya akan apa yang terjadi. Dengan tenang dia berusaha untuk menyelesaikannya. Orang pertama yang diyakininnya ialah Sr. James. Dan Sr. James mempercayai apa yang benar dikatakan pastor. Dan ketika aroma tersebut sudah menjadi berita hangat dikota itu, menjadi kesulitan bagi pastor untuk berkata-kata yang benar tentang dirinya. Dan dalam suatu kesempatan berkhotbah, melalui analoginya tentang bantal yang dirobek dan membiarkan buluh-buluh beterbangan serta nmemenuhi seluruh kota menjadi  gambaran bagaimana jika gosip tentang dirinya menjadi sulit dipulihkan. Tidak ada yang bisa mengobati dan mengatakan kebenaran jika sugesti kejahatan dan keburukan telah menghinggapi pikiran dan hati setiap orang apalagi dengan alasan yang seolah-olah terbukti dan meyakinkan. Pastor merasa kecewa dengan situasi seperti itu. Di satu sisi, dia memililki rasa empati kepada para muridnya khususnya Donald Muller,  tetapi di sisi lain dia harus bersikap waspada atas isu dan tuduhan terhadap dirinya. Satu-satu jalan yang harus ditempuhnya ialah berkontak dengan sebab semuanya itu. Dalam salah satu kesempatan, pastor akhirnya datang ke ruang kerja Sr. Aloysius dan mencoba untuk meminta kejelasan dari apa yang dilakukan suster terhadapnya. Penulis sempat berpikir dan menduga bahwa Sr. Aloysius akan menyadari kesalahan dan memohon pengampunan atas tindaknya tetapi fakta berkata lain. Prediksi penulis malahan meleset. Di dalam ruangan itu terjadi perdebatan yang sengit.  Dan yang mengherankan bagi penulis ialah pastor pada kesempatan itu seolah-olah berada pada posisi yang disudutkan. Seolah-olah apa yang dikatakan suster itu benar adanya. Dan pastor berada dipihak yang salah dan seolah-olah tahkluk kepada suster. Setelah kejadian tersebut, dalam ketulusannya, pastor terpaksa meminta uskup untuk memindahkannya. Dan permohonan dikabulkan. Baginya, perpindahanya itu tidak dilihat sebagai perasaan diri kalah dalam pertarungan ideology dan cita-cita pribadi tetapi demi kebaikan bersama. Pastor akhirnya beranjak pergi dan tinggallah Sr. Aloysius di tempat itu. Apakah dia merasa menang atau aman dengan kepergian pastor. Lagi-lagi dugaan penulis meleset, ternyata Sr. Alosysius memiliki penyesalan yang mendalam, hal itu diungkapkannya bahwa: “saya memilki keraguan yang mendalam”. Di akhir cerita ini, penulis hanya mengatakan bahwa sejahat-jahatnya seseorang pasti memilki penyesalan apalagi seseorang yang terikat oleh kaul dan disebut sebagai seorang biarawan.

Penilaian Moral :
            Alur cerita dari Film Doubt selain menegangkan juga menghantar penulis berpikir kritis dan merefleksikan bagaimana hidup manusia yang telah dinodai kehausan akan jabatan, kuasa, kehormatan dan prestise. Kebenaran selalu tahkluk dihadapan kelicikan hati manusia. Cerita film tersebut sebenarnya bersentuhan langsung dengan realitas hidup manusia. Tidak jarang ketulusan hati, nama baik dan kepolosan seseorang diperjualbelikan hanya untuk mengejar pemuasan nafsu dan ambisi seseorang. Bukankah dibalik sikap disiplin dan perfeksionis dalam diri Sr. Aloysius ada keangkuhan dan kelicikan. Penulis mencoba mengangkat beberapa penilaian pokok atas film tersebut  dengan bertitik tolak dari moral kristiani 3K :

Tindakan dan sikap Sr. Aloysius  melanggar beberapa moral Kristiani:
·         Mengejar kehormatan yang tidak berdasarkan keutamaan.
Kehormatan dalam arti ini tidak boleh diartikan secara dangkal atau dalam istilah moral diartikan secara lahiriah seperti dilihat sebagai pujian atau sanjungan tetapi kehormatan harus dilihat dalam arti yang lebih mendalam. Kehormatan dalam arti klasik dan Prumer yang menunjuk pada teks Thomas Aquinas menunjuuk pada keunggulan seseorang.[1] Dalam arti ini kehormatan yang diperoleh berdasarkan anugerah dari Tuhan dan ketulusan hati orang yang menanggapinya. Kehormatan yang diperoleh pastor disebabkan oleh ketulusan dan kebaikan hatinya kepada umat dan murid yang dilayaninya. Apa yang dilakukan pastor merupakan pancaran dari apa yang menjadi cita-cita luhur dalam hatinya. Demikianpun dilakukan oleh Sr. Aloysius tetapi tindakan dan sikapnya kemudian menjadi keliru atau salah ketika timbul rasa terancam dan tersaingi dalam relasinya pastor flynn. Dari sikap ini, Sr. Aloysius terlampaui mengikuti perasaan dan melawan suara hatinya yang terdalam.         Berbicara tentang kehormatan dalam morall kristiani selalu dikaitan dengan keutamaan karena keutaaman menjadi dasar dan penggerak munculnya kehormatan. Atau dengan kata lain, kehormatan yang diperoleh harus keluar atau mendasarkan diri pada keutamaan. Dalam moral kristiani mengajarkan bahwa kedua hal ini harus berjalan bersama. Keutamaan itu sendiri selalu dilihat dalam hubungan dengan Tuhan dan sesama.[2] Tuhan yang menciptakannya dan sesama yang menjadi subyek relasiona. Apakah tindakan Suster telah mencerminka kedua hal tersebut. Penulis menilai bahwa tindakan dan sikap suster hanya berhenti sampai pada kehormatan dalam arti lahiriah yakni pemuasaan diri dan pemenuhan ambisi serta prinsip pribadi. Penulis melihat, Sr. Aloysius belum membuat eloboratif sempurnah antara kehormatan dan keutamaan. Dan lebih jauh dari itu, Sr. Aloysius belum mendengar ketajaman suara hati dimana di sana Tuhan yang berbicara dan mendorongnya untukk bertindak dan bersikap baik dan benar.[3] Untuk itulah, Sr. Aloysius penuh mengasah kepekaan hati nurani.

·         Pelanggaran kehormatan : Maki, Fitnah dan mencemarkan nama baik
Kehormatan berkaitan erat dengan nama baik seseorang. Kita sering menjumpai dua kata ini sering disejajarkan atau memilki arti yang sama. Rasa iri hati, dendam, dan curiga dapat menghantar orang kepada kriminalitas dalam arti mencemarkan nama baik seseorang. Tidak jarang itu terjadi dalam kehidupan kita. Kadang karena seorang teman lebih pintar atau mendapat nilai tinggi, kita sering mencurigai teman tersebut misalnya mungkin karena dia menyontek atau karena dosen pilih kasih dan sebagainya. Hal itu muncul karena keirihatian kita. Demikianpun yang terjadi dengan Sr. Aloysius. Ketika melihat kelembutan hati dan semangat yang dimiliki pastor dalam membangun relasi dengan para murid, muncul rasa curiga dan iri dalam hati suster. Kebaikan seseorang kadang ditafsirkan secara keliru. Sr. Aloysius telah melakukan hal demikian. Kategori kesalahan semacam ini masuk dalam ranah kesalahan mefitnah dan mencemarkan nama baik.[4] Dapat dibenarkan seandainya jika suster melakukan pendekatan dengan pastor dan membangun sikap komunikatif dalam rangkah mengoreksi dan meminta kejelasan atas apa yang menjadi praduganya. Tetapi itu hanya pengandaian karena suster telah melakukan tindakan pemfitnaan dan mencemarkan nama baik pastor. Tuduhan yang tidak memiliki dasar tersebut telah menodai keharuman nama pastor.  Hal itu tampak dalam film tersebut dimana Sr. Aloysius mencoba meyakinkan ibu dari Donald Muller bahwa anaknya menjadi korban pelecehan seksual yng dilakukan pastor. Tetapi ibu dari Donald tidak mempercayai tuduhan tersebut selain tidak ada bukti yang jelas tetapi lebih karena pancaran kelembutan hati pastor yang dirasakany. Penulis mencoba menunjukan apa yang dikatakan Kitab Suci khususnya kitab Imamat. Di sana dikatakan “Janganlah kamu pergi kesana ke mari menyebarkan fitnah diantara orang-orang sebangsamu”(Im 19:16). Bagi penulis tindakan semacam ini berakibat fatal selain karena mempengaruhi relasi social juga demi pembaharuan hidup. Bayangkan jika seandainya pastor Flynn masih berada di situ, sistem pendidikan dan pembinaan mungkin akan mengalami pembaharuan ke arah yang lebih baik.
·         Ketidak setiaan Sr. Aloysius terhadap Otoritas.
Setiap biarawan dan biarawati terikat oleh kaul ketaatan. Bagi penulis, kata ketaatan memilki arti yang sepadan dengan kesetiaan. Sekalipun Sr. Aloysius memilki kesetiaan terhadap tugas yang dipercayakannya tetapi dia juga masih terikat oleh kesetiaan kepada otoritas. Siapakah otoritasnya? Otoritasnya ialah pastor Flynn dan Uskup setempat. Ada beberapa bukti yang menunjukan ketidak setiaan suster terhadap otoritas. Misalnya, dalam perdebatannya yang sengit dengan pastor perihal pembuktian atas tuduhan suster, pastor mengatakan: “kamu harus meminta bukti dan keterangan kepada pastor paroki yang memiliki wewenang  untuk memberi keterangan bukan kepada orang lain atau biarawati yang lain”. Bukti lainnya, dalam kesempatan lain, pastor juga mengatakan kepada suster bahwa apa yang dilakukannya harus berdasarkan pertimbangannya dan uskup setempat karena sekolah katolik yang dikelolahnya berada di bawah pengawasan ordinaris setempat. Tetapi suster terlampau mengikuti prinsip hidupnya sendiri yang menekankan gaya hidup yang kaku dan dengan disiplin yang tinggi. Bukankah perkara kesetiaan tidak hanya terletak pada tugas atau tanggung jawab pribadi tetapi juga dalam hubungan dengan sesama dan Tuhan. Letak penyimpangan yang dilakukan oleh Sr. Aloysius ialah dia terlampau mengikuti kehendak dan prinsip hidupnya sendiri. Apa yang benar  menurutnya itulah yang harus dikerjakan tanpa pertimbangan dan komunikasi dengan orang lain. Akibatnya orang kurang menaruh simpati kepadanya.
·         Melakukan kebohongan serentak menegasikan kebenaran.
Menurut pandangan umum, kebenaran itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang sesuai dengan kenyataan (fakta). Apa yang dikatakan atau dilakukan itulah yang mencerminkan realitas.[5] Dalam moral kristiani, bertindak dan berkata benar pada hakikatnya menunjuk kepada sikap reseptivitas yakni sikap yang tunduk kepada keberadaan dan kesediaan untuk menerima realitas.[6] Dengan bertitik tolak dari ucapan Pastor Flynn, penulis menunjukan disposisi kebohongan yang dilakuakn oleh Sr. Aloysius. Pastor Flynn mengatakan demikian: “apa yang kamu katakana itu hanya emosi saja dan tidak mengatakan fakta”. Hal ini dikarenakan apa yang menjadi tuduhan suster hanya ada dalam insting dan kecurigaan suster karena tidak adanya bukti yang jelas. Itu berarti Sr. Aloysius berada dalam disposisi selain pefitnaan juga kebohongan karena tidak mengatakan sama sekali kebenaran. Dalam situasi keraguan, seseorang berada dalam disposisi kebingungan oleh karena itu tidak adanya kepastian di dalamnya. Yang pasti bahwa dalam situasi ragu-ragu, seseorang terlempar dari pengalaman kepastian dalam hidupnya. Dan hingga kepergiaan pastor Flynn, suster tetap berada dalam situasi ragu-ragu yang mendalam seperti yang terungkap di akhir cerita tersebut.
Aktualisasi : pesan film dalam konteks Gereja dan pembinaan calon imam.
Di dalam Gereja sendiri bukan lagi persoalan  penfitnaan atau pencemaran nama baik lagi bila berbicara tentang  kasus imam yang phedofilia. Paus Benediktus sendiri dalam kunjungan ke beberapa negara seperti Malta yang nota bene memiliki kasus tersebut,  harus menetaskan air mata mendengar bagaimana para korban menceritakan apa yang mereka alami. Jika kita menarik lebih jauh pesan film di atas, kita dapat menemukan apa yang dikatakan film tentang realitas kehidupan Gereja. Bukan lagi kebohongan tapi kebenaran, bukan lagi pelanggaran kehormatan tapi juga keutamaan dan bukan lagi kesetiaan tapi juga ketaatan dalam hidup bakti yang dipersoalkan ketika Gereja berhadapan dengan kasus Phedofilia. Film tersebut secara tidak langsung mengkritik  Gereja untuk bertindak lebih bijaksana dan tegas terhadap para imam yang melakukan skandal tersebut. Gereja seolah-olah diperokporandakan dan dicela lantaran kasus tersebut. Bukankah Gereja selalu berdiri sebagai penegak moral.
Sr. Alyosius dalam konteks real menjadi amat relevan untuk diletakan sebagai pengkritik Gereja. Tindakan Sr. Aloyius dalam film “Doubt” disalahkan oleh karena tindakan yang dilakuakan melanggar moral kristiani dalam arti apa yang dilakukan dan dikatakannya hanya berisikan kebohongan, pemfitnaan, pencemaran nama baik dan ketidaktaatnya pada otoritas. Tetapi jika diletakan dalam konteks Gereja yang bermasalah sekarang, tindakan yang dilakukan Sr. Aloysius dalam film tersebut menjadi titik tolak untuk menyadarkan Gereja betapa pentingnya adanya kesatuan koordinasi dalam tubuh Gereja. Di antara para petinggi Gereja, mulai dari para biarawan-biarawati, imam. Uskup dan Paus perlu adanya kesatuan tanggung jawab dalam hidup bakti. Setiap orang yang menjadi imam, suster atau bruder harus bebas dari segala kecenderungan atau kelaianan semcam itu. Hal ini secara eksplisit termuat dalam dokumen Vita Consecrata, dimana di dalamnya termuat bagaimana dikatakan kriteria para calon seminaris yakni oran-orang yang memilki kematangan dan keutuhan hidup. Dengan kata lain tidak adanya kelaian dan kecenderungan negatif dalam diri seminaris. Gereja harus lebih berbenah diri.
            Konteks relevansi dari film tersebut juga ditunjukan dalam kehidupan perutusan seorang imam, lepas dari benar atau salahnya apa yang dikatakan seseorang. Dalam konteks Gereja Indonesia sendiri. Persoalan gosip-gosipan romo bukan hal yang langkah. Misalnya saja, penulis pernah membaca hasil pertemuan para formator seminari di kota Malang. Hasil pertemuan tersebut mengsurvei bagaimana tanggapan dan keluhan umat atas diri pastor. Tidak mengherankan sederetan litani keluhan dan kekecewaan umat atas kehidupan para imam. Persoalan khotbah yang tidak menarik, imam yang suka mengumpalkan harta duniawi, imam yang suka janda-janda dan sebagainya. Harus diakui sederatan litani keburukan imam menunjukan bahwa kehidupan dan pembinaan para calon iman senantiasa dibenah dan diperbaharui. Penulis di satu sisi, tetap menyetujui tindakan yang dilakukan pastor Flynn dalam film tersebut. Pastor cukup bertindak bijaksana. Dia sangat mencintai umatnya. Dia lebih mengorbankan perasaaa, status, kemapanan dan persoalannya ketimbang harus merusak kesatuan umatnya. Pastor Flynn menjadi model bagi kehidupan para imam dewasa ini. Para imam harus memiliki semangat pengorbanan dan kesetiaan kepada janji imamat daripada mengikuti ambisi dan kepuasaan diri. Para imam harus dengan tabah menerima segala masukan atau kritik dari umat dan bukannya selalu menyalahi umat. Ketika seorang menjadi imam serentak dia menjadi publik figur dalam arti akan dimonitor oleh semua orang yang mengenalnya. Dan tidak mengherankan bahwa pujian dan celaan datang silih berganti. Tidak ada imam yang paling sempurnah selain Kristus sendiri. Kristus ketika masih berada di dunia juga mengalami hal yang sama, dicela, difitnah dan di tolak. Tetapi Sang Imam Agung ini tidak pernah mengutuki atau menyerang orang yang telah menfitnahnya tetapi bahkan Ia mengampuni mereka. Dengan mengikuti teladan Imam Agung ini, setiap imam harus bersikap sabar danpenuh pengampunan kepada semua orang yang berlaku buruk terhadapnya.
            Sebagai seorang calon imam, pesan Film Doubt juga menunjukan bagaimana arah i pembinaan para calon imam yang paling efektif. Pembinaan para calon imam hendaknya terarah kepada pembinaan yang utuh dalam segala segi kehidupan baik dalam hidup rohani, relasi dengan umat, managemen kepempinan serta terah kepada hidup bakti yang utuh khususnya dalam penghayatan ketiga kaul. Semua ini akan sangat berguna ketika menjadi imam dan ditempatkan diberbagai tempat suasana dan latarbelakang kehidpan yang sanga variartif. Para calon imam dibiasakan diberi tanggung jawab yang berat serta dibiasakan untuk berhadapan lansung dengan persoalan-persoalan konkret baik dalam diri maupun dalam relasinya dengan orang lain sehingga ketika kelak menjadi imam dapat menjadi imam yang tegas, berwibawa dan tanpa kelah lelah mewartakan kabar baik.    


[1] Prof. Dr. Piet Go, O’Carm, diktat moral, (Malang: STFT Widya Sasana, 1980), hal. 3
[2] Ibid., hal 4
[3] Hati nurani menjadi amat pennting dalam menentukan sikap dan keputusan seseorang apalagi berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan banyak orang. Id, Teologi Moral Dasar, hal. 229.
[4] Karl Heinze Peschke, SVD, Etika Kristiani jilid III, (Maumere: Ledalero, 2003), hal. 185.
[5] Ibid., hal. 234.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar