Jumat, 16 September 2011

KEKUASAAN (KUASA) MENURUT MICHEL FOUCAULT

I  Pendahuluan
            Ulasan tentang kekuasaan seolah-olah tidak pernah absen dari diskusi dan perdebatan manusia sepanjang jaman. Kekuasan selalu menjadi tema aktual untuk dibicarakan. Tampilan berita utama setiap surat kabar seperti Kompas, Jawa Pos dan sebagainya selalu menyajikan ulasan penting seputar persoalan politik dan kekuasaan. Berita tentang kekacauan di Timur Tengah, atau perhelatan politik yang terjadi akhir-akhir ini baik dalam negeri maupun luar negeri, menunjukan bahwa manusia tidak puas dalam mengartikan dan memahami gagasan tentang kekuasaan. Mengapa demikian? Karena berbicara tentang kekuasan berarti berbicara dalam arti Hegel dilihat sebagai roh yang menggerakan hidup bersama atau dengan kata lain berbicara tentang segala ketentuan dan kebijakkan yang menjadi jiwa dari dinamika hidup bersama. Pemahaman akan kekuasaan suatu masyarakat selalu bertolak dari apa yang dinamakan “pengalaman bersama”. Dalam tulisan ini, pembahasan tentang kekuasaan akan difokuskan pada pemikiran Michel Foucault. Penulis akan menyajikan bagaimana Foucault memahami dan mengartikan kekuasaan secara unik dan khas.  

 II  Latar Belakang Pemikiran Michel Foucault
            Paul Michel Polanyi (Poitiers, 5 Oktober 1926 – Paris, 25 Juni 1984) adalah seorang filosof Perancis, sejarawan, kritikus dan seorang sosiolog. Semasa hidupnya, ia memegang kursi jabatan di Collège de France, dengan titel "Sejarah sistem pemikiran" (History of Systems of Thought" dan juga mengajar di Universitas Kalifornia Berkeley.[1] Dengan titel yang disandangnya ini terlihat jelas bahwa Foucault adalah pemikir yang kritis, kreatif dan terkemuka. Pemikirannya tidak hanya terbatas pada ilmu filsafat atau kedokteran saja tetapi juga menyentuh persoalan sosial-politik dan etika. Hal ini dilatarbelakag oleh situasi Prancis pada saat itu yang menekankan proses berpikir kretif dan kritis. Pada masa pendidikannya di Prancis,  filsafat menjadi ilmu yang banyak diminati oleh mahasiswa bahkan kurikulum pendidikan di setiap universitas mewajibkan mahasiswanya untuk menekuni ilmu filsafat.[2] Tidak mengherankan bahwa berbagai pemikiran dan ide-ide datang dan pergi karena setiap orang diajak untuk berpikir kritis, kreatif dan mencapai penemuan-penemuan baru dalam bidang yang digelutinya masing-masing. Dalam suasana hidup dan gaya berpikir seperti ini, Foucault akhirnya dapat menyumbangkan ide-ide cemerlang dan memberikan terobosan baru dalam meneropong filsafat, ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Dan segala pemikirannya tidak pernah terlepas dari pengaruh pemikir-pemikir kritis pada zaman itu. Sebut saja misalnya Nietzshe, filsuf Jerman  dimana melalui ajarannya telah memberi banyak inspirasi bagi Foucault khususnya dalam menggagas tentang keterkaitan antara filsafat dan ilmu pengetahuan.[3]
            Selanjutnya, untuk mengerti gagasan kekuasaan dari Foucault secara lebih baik, penulis terlebih dahulu menunjukan disposisi gagasan ini dalam seluruh pemikirannya. Dalam seluruh ajarannya, Foucault menulis tiga tema utama yang memiliki penekanan dan ciri khas tersendiri. Tema pertama yang diutarakannya berkenaan dengan pembenaran pengetahuan. Bagi Foucault, pengetahuan tidak hanya muncul dari proses berpikir kritis (rasio) tetapi juga muncul dan ada dalam hidup, karya, percakapan dan peristiwa. Dengan sendiri, dia menekan adanya dimensi unreason dalam pengetahuan.[4] Bagi penulis, sama seperti filosof dan ilmuwan Inggris yakni Michel Polanyi[5], Foucault juga menekankan segala dimensi hidup manusia menjadi sebab pembentukan ilmu pengetahuan. Selanjutnya, tema kedua yang digagasnya berkenaan dengan kekuasaan. Foucault yang memiliki latar belakang marxisme melihat bahwa kekuasaan bukanlah pertama perkara “milik” tetapi lebih sebagai proses relasi antara berbagai kekuatan.[6] Kita dapat dengan mudah melihat bahwa kekuasaan bukan hanya menjadi milik para pemerintah atau dalam konteks marxime, menjadi milik kaum masyarakat kelas atas tetapi muncul karena relasi timbal balik antara subyek dalam hidup bersama.
Tema ketiga yang menjadi perhatian Foucault yakni subyek dan etika, Foucault secara eksplisit menunjukan peran subyek dan nilai etis dalam hidup bersama. Foucault mengatakan bahwa kalau kita menaruh perhatian yang benar akan diri kita sendiri, kita juga akan memberi perhatian yang layak kepada orang lain.[7] Atau meminjam bahasa Heidegger, penulis dapat mengatakan sesama bukanlan orang lain tetapi “aku yang lain[8]. Hal ini menunjukan adanya penghargaan dan keterlibatan subyek dalam hidup orang lain. Dari latar belakang pemikiran ini, kita dapat melihat betapa gagasan tentang kekuasaan menjadi tema sentral dalam pemikirannya.

III   Pemikiran Filosofis Kekuasaan menurut Michel Foucault
            Foucault memiliki beberapa kerangka dasar dalam menerangkan pandangannya tentang kekuasaaan. Penulis mencoba melihanya dari beberapa sudut pandang yakni arti kekuasaan, starategi dan mekanisme kekuasaan serta hubungan antara pengetahuan dan kekuasan.
3.1. Arti Kekuasaan
            Harus diakui bahwa kekuasaan itu mempesona karena setiap orang tergila-gila dengan kekuasaan dan bahkan berusaha untuk memilikinya. Kekuasaan dalam arti ini lebih mempunyai makna sebagai “milik” artinya kekuasaan hanya disempitkan sebagai milik pemerintah atau institusi tertentu sehingga muncul terminologi adanya perebutan dan peralihan kekuasan dalam kursi pemerintahan. Bagi penulis, Foucault sama sekali tidak memaksudkan makna kekuasaan seperti ini. Gagasan Foucault tentang kekuasaan lebih orisinal dan realistis. Dengan latar belakang sebagai seorang sejarawan, Foucault sama sekali tidak mendefenisikan secara konseptual apa itu kekuasaan tetapi lebih menekankan bagaimana kekuasaan itu dipraktikan, diterima dan dilihat sebagai kebenaran dan berfungsi dalam berbagai bidang kehidupa.[9] Dalam arti inilah, kekuasaan tidak hanya disempitkan dalam ruang lingkup tertentu atau menjadi milik orang atau intitusi tertentu seperti pandangan umum bahwa kekuasan itu selalu dikaitkan dengan negara atau institusi pemerintah tertentu. Atau dalam konteks Indonesia, kekuasaan tidak hanya menjadi milik Presiden Bambang Yudhoyono, DPR-MPR, Gubernur dan sebagainya tetapi kekuasaan menyangkut relasi antara subyek dan peran dari lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi tertentu dalam masyarakat. Sumbangan kekuatan dari setiap subyek dan lembaga-lembaga yang menjalankan peran sebaik-baiknya, itulah yang menunjukan arti kekuasaan.
Pemahaman kekuasaan diatas, jelas bertolak belakang dengan pemahaman Karl Marx yang melihat kekuasaan hanya menjadi milik masyakat kelas atas. Dominasi dan monopili kaum borjuis menentukan kehidupan seluruh masyarakat.[10] Atau juga bertentangan dengan gagasan Thomas Hobbes yang mengartikan kekuasaan  hanya menjadi milik lembaga yang disebut negara dan negara memiliki kuasa mutlak untuk menentukan kehidupan masyarakat.[11] Berdasarkan kedua gagasan ini, penulis mengamini apa yang dikatakan Foucault dimana kekuasaan tidak hanya menjadi milik pemimpin atau entitas yang berpengaruh dalam masyarakat tetapi kekuasaan berangkat dari kekuatan dan sumbangan pemikiran setiap subyek. Di dalamnya ada saling percaya dan menopang satu terhadap yang lain, ada pengakuan kekuatan dan kecerdasaan setiap pribadi sebagai sumbangan untuk hidup bersama. Dan penulis berpikir bahwa pemahaman Foucault tentang kekuasaan memberi inspirasi yang kuat bagi munculnya paham demokrasi. Karena dilihat dari gagasan umum demokrasi yang menjunjung tinggi kreatifitas dan sikap kritis setiap subyek atau dengan kata lain adanya pengakuan kekuasaan setiap pribadi.
3.2. Mekanisme dan Strategi Kekuasaan
            Konsekuensi dari paham kekuasaan Marxian yakni tidak adanya relasi kekuasaan antara subyek, yang ada hanya monopoli kaum kelas atas dan perampasan segala hak milik kaum kecil. Dan akibat dari paham kekuasaan Thomas Hobbes ialah adanya tindakan represif yang tiada hentinya, kekerasaan, otoriter dan sebagainya. Kondisi seperti ini yang menodai makna kekuasaan itu sendiri. Bagi penulis, mungkin berangkat dari keprihatinan seperti ini, Foucault akhirnya menrefleksikan dan mengkritisi makna kekuasaan. Bagi Foucault kekuasaan lebih menunjuk pada mekanisme dan strategi dalam mengatur hidup bersama.[12] Dalam arti ini kekuasan mengasalkan diri dari berbagai sumber dan memiliki keterkaitan satu terhadap yang lain. Adanya pengakuan struktur-struktur yang menjalankan fungsi tertentu dan dalam struktur itulah kekuasaan mengasalkan dirinya. Dari gagasan kekuasaan sebagai suatu strategi dan mekanisme; penulis memaparkan beberapa metedologis kekuasaan yang menjadi fokus perhatian Foucault.
Pertama; peran hukum dan aturan-aturan. Foucault mengatakan “kuasa tidak selalu bekerja melalui represif dan intimidasi melainkan pertama-tapa bekerja melalui aturan-aturan dan normalisasi”.[13] Segala aturan dan hukum pertama tidak dilihat sebagai hasil dari ketentuan pemimpin atau institusi tertentu tetapi sebagai sintesis dari kekuasaan setiap orang yang lahir karena perjanjian. Segala aturan yang lahir karena konsensus bersama memiliki kekuatan yang lebih dalam hidup bersama. Kedua, tujuan kekuasaaan. Tujuan dari adanya mekanisme kekuasaan ialah membentuk setiap individu untuk memiliki dedikasi dan disiplin diri agar menjadi pribadi yang produktif.[14] Setiap orang diberi ruang untuk berpikir, berkembang dan dengan bebas menyampaikan aspirasinya demi kemajuan bersama.
Ketiga, Kekuaaan itu tidak dilokalisasi tetapi terdapat di mana-mana. Kesadaran akan kekuatan dari suatu negara dan masyarakat tidak dibatasi hanya dari para pemimpin tetapi atas kerjasama setiap pribadi dan lembaga yang memiliki orientasi produktif. Misalnya, dengan adanya ruang komunikasi antara pemimpin dan warganya, kesatuan tercipta dalam suasana dialogis dan mengarah kepada cita-cita bersama. Keempat, kekuasaan yang mengarah ke atas.[15] Dalam arti ini, kekuasaan setiap orang dan lembaga dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga membentuk konsensus bersama. Atau dengan kata lain hasil dari proses komunikasi kekuasaan bersama akan menghasilkan kekuasaan bersama atau dalam bahasa, Thomas Kuhn, adanya paradigma bersama.[16] Kelima, kombinasi antara kekuasaan dan Ideologi. Setiap anggota dalam masyarakat kurang lebih memiliki impian yang sama yaitu adanya pengakuan hal setiap orang yang terarah pada kesejahteraan bersama. Harapan ini harus berjalan bersama dengan kekuasaan bersama. Segala hukum dan aturan diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Dari kelima point di atas, kita melihat dengan jelas adanya perbedaan menyolok antara gagasan Foucault dengan para pemikir abad modern. Misalya, Machiavelli yang melihat kesejahteraan bersama tidak ditentukan oleh konsensus bersama tetapi oleh penguasa. Machievelli mengatakan “Orientasi kekuasaan tertuju kepada apa yang dinamakan penguasa artinya merujuk pada pemimpin negara. Dimana dikatakan bahwa seorang penguasa harus bisa membentuk opini umum dalam mengendalikan tingkah laku warganya.[17] Dalam arti ini, penguasa memiliki kuasa mutlak untuk mengatur negara. Tidak ada aturan dan hukun yang muncul sebagai akibat perjanjian setiap  subyek. Dengan membandingkan kedua gagasan ini, kita dapat melihat bahwa arti kekuasaan dan jiwa yang menggerakan hidup bersama memiliki titik tolak yang berbeda. Bagi penulis, Foucault menjunjung tinggi pada proses kreatif dan kritis setiap orang dalam membangun ideologi bersama.

3.3. Kekuasaan dan Pengetahuan
            Bagi Foucault, kekuasaan tidak pernah lepas dari pengetahuan. Untuk itu, Foucault mengatakan bahwa “kekuasaaan menghasilkan pengetahuan…. Kekuasaan dan pengetahuan saling terkait… tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan”(Surveiller et Punir (1975), hal. 36).[18] Ketika berbicara kaitan antara kekuasaan dan pengetahuan secara tidak langsung bersentuhan dengan kodrat manusia mencari dan mengetahui. Penulis boleh mengatakan bahwa usaha mengetahui dalam konteks kekuasaan menurut Foucault harus diletakan dalam ranah sosietas. Ada banyak indikasi keterkaitan antara keduannya. Yang pertama ialah peran bahasa. Bagi Foucault, bahasa menjadi sarana dalam mengartikulasikan kekuasaan. Gagasan ini sejalan dengan apa yang dikatakan Habermas yang melihat bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi tetapi memiliki powerfullty propaganda dan wacana.  Atau dengan kata lain, dengan menerapkan teori emansipatoris, Habermas menunjukan kekuasan atau politik juga menunjukan pola komunikatif, diskursif, kritis dalam hidup sosial. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan yang dijalankan dengan kekerasan karena kekuasaan terjadi dalam situasi komunikatif diantara orang-orang yang sedang mencari dan berusaha untuk mengetahui esensi dari hidup bersama.[19] Bagi penulis, Foucoult bukan tanpa dasar meletakkan pengetahuan sebagai dasar kekuasaan agar di dalamnya orang diajak untuk berpikir dan bertindak kritis bukan hanya timbul dari luapan emosi semata.
            Selain itu, dengan melukiskan penjara sebagai tempat pembentukan kekuasaan, Foucault menunjukan pentingnya mekanisme kekuasaan.[20] Kekuasaan setiap orang perlu ditata sebaik mungkin demi terjaminya kesejahteraan. Pengakuan akan adanya berbagai bidang dalam kehidupan tidak pernah terlepas dari pengaruh berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu pengtahuan secara tidak sadar membentuk karakter kehidupan suatu masyarakat misalnya saja, negara-negara Eropa yang mengalami kemajaun begitu pesat dalam berbagai bidang kehidupdan disadar bahwa hal ini didorong oleh semangat mereka untuk mengembangkan berbagai bidang ilmu pengetahuan secara efektif. Selain itu, setiap ilmu pengetahuan memiliki otonimitas kekuasaan misalnya sosiologi, antropologi, matematika, politik, fisika, kimia dan sebagainya. Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut memberi sumbangan dalam hidup bermasyarakat. Kekuasaan dan kekuatan dari setiap bidang ilmu pengetahuan secara tidak sadar menjadi dasar dan membangkitkan ideologi bersama untuk mencapai cita-cita hidup bersama. Untuk itu, kekuasaan dalam pengertian Foucault tidak menunjuk pada figur atau bidang tertentu tetapi meliputi segala dimensi kehidupan manusia.
IV. Tinjauan kritis dan Relevansi
            Pemikiran Foucault memberi sumbangan besar dalam alam pemikiran filsafat khususnya dalam menelitik gagasan tentang kekuasaan. Kekuasaan pertama-tama bukan merujuk pada kepemilikan tetapi lebih dilihat sebagai mekanisme dan strategi kekuasaan. Itu berarti Foucault melihat kekuasaan bukan semata konsep tetapi kekuasaan itu ada di mana-mana dan dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menunjukkan keterkaitan antara pengetahuan dan kekuasaan, pemikiran Foucault memberikan pengaruh bagi pemikir-pemikir sejamannya seperti Roland Barthes, Louis Althusser. Dan karena ketajamannya berpikir, Foucault kemudian digolongkan sebagai filosof strukturalisme. Tetapi Foucault sendiri menepis tuduhan tersebut, dia ingin terus mengalami proses kreatif fan kritis dalam berpikir sehingga pemikirannya bisa berubah sesuai dengan fakta dan kebenaran yang berkata-kata. Dengan gagasan-gagasannya, Foucault telah memberi sumbangan besar bagi dunia dalam memahami pengertian kekuasaan yang lebih orisinal.
            Bagi penulis, meskipun Foucault diakui sebagai filosof besar, pemikirannya tidak pernah lepas dari kritik, Penulis mencoba menyoroti satu kecenderungan yang diabaikan Foucault dalam meneropong kekuasaan. Foucault pertama-tama hanya menjelaskan kekuasaan dalam arti global dan tidak menunjukan secara spesifik bagaimana bentuk kekuasaan yang dipraktikan oleh setiap subyek serta bagaimana kekuasaan setiap subyek dan lembaga membentuk kekuasaan bersama? Bagi penulis mau tidak mau pemimpin dalam arti tertentu harus memiliki kekuasan yang lebih dari masyarakat biasa? Lalu jika otonomitas kekuasaan setiap subyek dan lembaga tidak terarah dan sejalan dengan ideologi dan  mimpi bersama, bagaimana kekuasaan tersebut bisa dijalankan dan diaplikasikan? Misalnya saja, Indonesia terdiri atas berbagai kelompok jemaah, misalnya Muslim sendiri memiliki beberapa aliran seperti NU. Muhamadyah, Ahmadyah dan sebagainya. Setiap aliran memiliki otonomitas kekuasaannya sendiri dan ada beberapa butir ajaran dari aliran tersebut yang sama sekali tidak mengakomodasi kepentingan seluruh rakyat. Bagaimana hal ini bisa dijalankan? Penulis mengamini apa yang dikatakan Foucault bahwa kekuasaan itu harus dipraktikan seperti pada kasus di atas, tetapi harus disadari bahwa tidak semua kekuasaan bisa dipraktikan dalam kehidupan bersama yang heterogen. Selain itu, terminologi kekuasaan sebagai kepemilikan tetapi diaktualkan kepada pemimpin, konstitusi dan aparatur negara hanya saja kepemilikan semacan itu dilihat sebagai sintesis dari kekuasaan setiap subyek atau lembaga yang ada dalam negara tersebut. Penulis berpikir bahwa paham demokrasi lebih memilih gagasan demikian untuk menghinari penyelewengan yang terjadi oleh karena ulah para koruptor, pemberontak  yang mensalahartikan kekuasaan.  
            Lalu apa yang menjadi relevansi pemikiran Foucault tentang kekuasaan? Bagi penulis, gagasan tentang kekuasaan sebagai mekanisme dan strategis serentak menguburkan sistem pemerintahan negara tirani dan otoriter karena di dalam kekuasaan sebagai mekanisme, kekuasaan pertama-tama ada dalam diri setiap subyek dan lembaga-lembaga yang terbentuk. Kekuasaan negara dilihat sebagai sintesis dari kekuasaan setiap subyek tersebut. Ada slogan terkenal, pemerintaha dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam arti dalam negara hak, kreatifitas, tuntutan kesejahteraan hidup setiap subyek dijunjung tinggi. Bangsa Indonesia sendiri sedang dalam proses menata strategi dan mekanisme kekuasaan yang lebih solid setelah sekian lama secara tidak sadar dimanipulasi oleh kekuasaan dalam arti “milik”. Kasus korupsi, terorisme, perdagangan perempuan perlahan-lahan mulai dibasmi. Sistem pemerintah dan perundang-undangan mulai dibenah, otonimitas dan kreatifitas setiap lembaga pemerintahan baik sosial, ekonomi mapun politik mulai digalakkan. Inilah tanda-tanda kesadaran akan penting kekuasaan sebagai suatu strategi dan mekanisme.
            Akhirnya, tema tentang kekuasaan menurut Foucault tidak pernah selesai untuk dikatakan karena aktualisasi pemahaman ini sedemikian efektif dan membawa setiap masyarakat kepada kemajuan yang tiada hentinya. Sistem pemerintahan akan berjalan dengan baik apabila adanya saling percaya dan kerjasama antara subyek dalam masyarakat.






                                                            DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Prancis,Jakarta: Gramedia, 2006.
Foucault, Michael, Seks dan kekuasaan, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta: PT. Sun, 1997.
Foucault, Michael, Wacana Kuasa/ Pengetahuan, diterj. Yudi Santoso, Yogyakarta: Bentang Budaya, 200.
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 2007. 
Haryatmoko, Dr., Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003.
Kebung, Konrad, Dr, SVD, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008.
Polanyi, Michael,  Segi Tak Terungkap dari Pengetahuan, Jakarta:Gramedia, 2002,  hal. 4.
Riyanto, E. Armada, Prof. Dr., Politik, Sejarah, Identitas, Postmodernitas, Malang: Widya Sasana publication, 2009.

Data Internet:




[2] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis,(Jakarta: Gramedia2006),  hal. 332.
[3] Ilmu pengetahuan dan filsafat menjadi tema sentral yang digagas oleh para pemikir dan filosof abad 20 dan selanjutnya. Dan corak pemikiran seperti ini nampak dalam pemikiran Foucault dimana dia selalu menekankan peran ilmu pengetahuan dalam segala segi kehidupan manusia.Ibid., hal. 333.
[4] Dr. Konrad Kebung, SVD, Rasionalisasi dan Penemuan Ide-Ide, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2008), hal. 161.
[5] Michael Polanyi  menekankan bahwa seluruh dimensi kehidupan manusia itu menjadi sebab kemunculan ilmu pengetahuan misalnya seni, arsitektur, relasi sosial dan sebagainya. Bdk. Michael Polanyi,  Segi Tak Terungkap dari Pengetahuan, (Jakarta:Gramedia, 2002),  hal. 4.
[6] Dr. Konrad Kebung, SVD, Op. Cit.,  hal. 212.
[7] Ibid.,  hal. 213.
[8] Bdk. Prof. Dr. E. Armada Riyanto, Politik, Sejarah, Identitas, Postmodernitas, (Malang: Widya Sasana publication, 2009), hal. 10.
[9] Dr. Konrad Kebung, SVD, Op. Cit, 212.
[10] Michael Foucault, Wacana Kuasa/ Pengetahuan, diterj. Yudi Santoso, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), hal. 167.
[11] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2007),  hal. 71.
[12] Mickel Foucault, Op. Cit., hal. 120.
[13] Dr. Konrad Kebung, SVD, Op. Cit, hal. 121.
[14] Dr. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 22.
[15] Michael Foucault, Op. Cit, hal. 127.
[16] Kuhn melihat bahwa pandangan dasar setiap orang dikomunikasikasi bersama sehingga mencapai adanyan pandangan dasar bersama. Paradigma pertama-tama tidak merujuk kepada pandangan setiap orang tetapi merujuk padangan dasar bersama. Thomas Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Sumarjan, (Bandung: Remaja Rosdarya, 2000), hal. 43.
[17] Dr. Haryatmoko, Op. Cit, hal. 223.
[18],Ibid.,  hal. 224.
[19] Prof. Dr. Armada Ryanto, Op. Cit., hal. 22.
[20] Dr. Haryatmoko, Op. Cit., hal. 227.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar