Jumat, 16 September 2011



Perawan Sewaktu Melahirkan




Kitab suci (Mat 1 Luk 1) memberi kesaksian tentang keyakinan Kristiani bahwa Yesus dikandung oleh IbuNya sebagai perawan. Sejak abad II muncul kepercayaan bahwa Yesus dilahirkan oleh Maria sebagai perawan. Secara tradisional Gereja memahami keperawan Maria sewaktu melahirkan dalam arti bahwa Yesus keluar dari Rahim IbuNya tanpa membuka rahim. Dengan kata lain, Maria melahirkan tanpa mengalami kerusakan pada tanda-tanda fisik keperawanan yang dimiliki oleh orang masih perawan. Ia juga melahirkan tanpa mengalami sakit bersalin dan kesakitan-kesakitan lainnya misalnya: pendarahan,yang selalu terjadi dalam proses kelahiran anak sesudah Hawa jatuh dalam dosa. Secara konkret itu berarti bahwa Yesus tidak hanya dikandung secara luar biasa tetapi juga dilahirkan secara luar biasa. Kelahiran ini seperti ini adalah “kelahiran ajaib” yang lebih berkaitan dengan perannya dalam penciptaan baru - dan juga dengan pengandungannya yang tak bernoda serta kenaikannya ke surga-daripada dengan keperawanan sebelum dan sesudah melahirkan.
            Dikatakan lebih jauh bahwa keyakinan ini barangkali sudah terungkap oleh Ignasius,uskup Antiokhia (sekitar tahun 110) dan Ireneus (sekitar thn. 20000), meskipun keterangan mereka tidak jelas. Dalam karangan apokrif (pra-injil Yakobus, Pengakatan Yesaya ke surga) pandangan ini juga tampil. Dalam karangan itu, hal yang lebih ditampilkan dan dibuktikan sebagai fisik, artinya: selaput darah Maria tidak rusak oleh kelahiran Yesus. Sebaliknya tokoh-tokoh seperti Tertulianus (sekitar 223), Origenes (sekitar 254) dan bahkan Hieronimus (thn. 419) tidak menerima bahwa Yesus dilahirkan secara ajaib. Namun sejak abad V (Agustinus, Ambrosius) kepercayaan bahwa Yesus dilahirkan secara luar biasa, juga secara fisik,menjadi umum. Waktu Jovianus (abad V) melancarkan pendapat bahwa keperawanan fisik hilang waktu Maria melahirkan Yesus, ia ditolak.
            Ajaran bahwa Maria melahirkan tanpa kehilangan keperawanan fisik telah diajarkan dengan jelas sepanjang hidup Gereja. Ajaran ini “melindungi” hakikat ajaib dari kelahiran Kristus, dan pada gilirannya kelahiran ajaib itu menunjukan keutuhan fisik Maria. Keutuhan fisik ini tidak hanya menunjukan adanya hubungan seksual, tetapi juga merupakan tanda keperawan batiniah Maria. Secara fundamental meskipun tidak secara eksklusif, keperawan Maria sewaktu melahirkan adalah pernyataan, dan karenanya merupakan batu sandungan bagi mereka yang secara sistematis mengabaikan kemungkinan mujizat. Dan ini terjadi pada masa Reformasi Gereja dimana ada orang  yang mengatakan bahwa tradisi mengenai mengenai “Virginitas in partum” itu berlawanan dengan penegasan Kitab Suci, khususGal 4:4, mereka menekankan bahwa Yesus “lahir dari perempuan” seperti manusia lain, sungguh-sungguh menjadi senasib apalagi jika melihat Kej 3:16, wanita itu menjadi terkutuk justru dalam melahirkan anak dengan sakit bersalin. Argument ini cukup mengesankan.
            Berhadapan dengan argumen tersebut ada orang yang menunjuk kepada Luk 2:7, menurut ayat ini Maria sendiri membendung anaknya dengan lampin dan membaringan dalam palungan. Jadi penginjil memikirkan halnya sedemikian rupa,sehingga Maria tidaseperti ibu lain terkena sakit beranak waktu melahirkan Yesus. Ibu yang baru melahirkan tidak dapat sendiri mengurus anaknya. Tetapi tidak amat jelas kalau penginjil berpikir sejauh itu maka ini tidakdapat dipakai untuk membatalkan Gal 4:4. Tetapi juga Gal 4:4 tidak memberikan laporan dan tidak merepotkan dengan bagaimana ibu Yesus melahirkan anaknya. Paulus hanya secara kristologik mau menonjolkan bahwa Anak Allah menjadi senasib dengan manusia, keturunan wanita. Tentu saja Paulus tidak tahu apa-apa tentang kelahiran Yesus secara luar biasa, apalagi secara fisik. Maka mesti diakui bahwa bahwa maksud tradisi tentang keperawanan dalam melahirkan” tidak jelas atau tidak selalu sama kadang dimaksudkan ialah keperawanan fisik tetapi dilain pihak melihat  keperawanan dalam arti spiritual yang berarti sikap hati, penyerahan eksklusif dan total Maria. Sehingga keperawanan pada saat melahirkan dimengerti sebulat-bulatnya Maria secara pribadi merelakan diri untuk melahirkan Yesus dan menjadi ibunya.  
            Dalam Perjanjian lama, ada beberapa gambaran yang menunjukan keperawan Maria sewaktu melahirkan misalnya: santo Ambrosius menyebut Maria sebagai “Pintu gerbang yang tetap tertutup” dari Yehezkhiel 44:2. Yesaya menyebutnya kelahiran bayi-laki-laki tanpa mengalami sakit bersalin (Yes 66:7). Beato Thomas dari Villanova dan lain-lain telah melihat gambaran Maria dalam semak yang dilihat Musa yang menyala tetapi tidak terbakar.
                        Menjelang berakhirnya sinode Milan thn. 390 Santo Ambrosius menulis bahwa nubuat Yesaya 7:41 “Menyatakan bahwa tidak hanya seorang perawan akan mengandung, tetapi juga bahwa seorang perawan akan melahirkan”. Demikian pula penggunaan nubuat ini oleh santo Matius dalam kisahnya mengenai masa kanak-kanak Yesus (mat 1:22-23) sekurang-kurangnya secara implisit menyatakan kelahiran seorang perawan. Hendaklah dicatat bahwa penafsiran santo Ambrosius terhadap Yesaya 7:14 dan Matius 1:22-23 sebagai acuan terhadap pengandungan keperawanan dan kelahiran keperawanan mewakili penafsiran Bapa Gereja awal. Dan sesungguhnya ajaran santo Ambrosius mengenai keperawanan Maria sewaktu melahirkan ini,diambil alih oleh sinode Milan pada thn. 390.
            Sementara itu, di Timur keperawan Maria sewaktu melahirkan merupakn tema yang terus-menerus muncul dalam tulisan-tulisan santo Efrem dari Suriah (sekitar 373). Ia mengajarkan kebenaran luhur bahwa Imanuel mampu “membuka rahim” Maria tanpa merusak keperawananNya. Pada peralihan abad ke empat, santo Agustinus dan Hieronymus juga memberikan kesaksian yang penting mengenai hakikat ajaib kelahiran Kristus. Barangkali gambaran yang paling mengesankan adalah gambaran santo Agustinus yang membandingkan kelahiran keperawanan dengan penampakan Yesus sesudah kebangkitan, dimana Yesus memasuki ruangan meskipun pintu-pintu ditutup (bdk. Yoh 20:19). Penggambaran ini juga dilakukan oleh santo Efrem.
            Dalam tulisan yang termasyur, Paus Leo Agung menyajikan ajaran berikut mengenai kelahiran keperawanan:
            Yesus dilahirkan dalam suatu “pola kelahiran baru”, yakni dalam keperawanan yang tidak dirusakan dan tidak mengalami gairah nafsu, tetapi sungguh memberikan bahan untuk suatu tubuh…Tuhan Yesus Kristus, yang lahir dari rahim seorang perawan memiliki kodrat insani yang tidak berbeda dari kodrat kita meskipun kelahiranNya bukanlah kelahiran yang lazim.
            Dalam konsili Kalsedon pada tahun 451, dokumen penting ini dibacakan kepada jemaat, dan diterima tanpa syarat, bahkan dengan antusias, karena mencerminkan baik ajaran Gereja Timur maupun Gereja barat. Bukti-bukti lebih lanjut dapat ditemukan dalam kanon yang sudah dikutip di atas konsili Lateran tahun 649, yang menyatakan bahwa Maria melahirkan Yesus “tanpa kehilangan keperawanan.” Kanon ini disahkan oleh Paus Santo Martinus III pada thn 681. Mengikuti pernyataan Magisterium, dogma ini hanya merupakan penegasan kembali dari kebenaran yang terus-menerus diihlami Gereja. Dan dalam konsili vatikan II kita memiliki pernyataan berikut,yang mengutip konsili Lateran dan Paus santo Leo Agung:
“Persatuan Bunda dengan PuteraNya dalam karya penyelamatan itu terus terungkap sejak saat Kristus dikandung oleh santa perawan hingga wafatNya… kemudian pada kelahiran Yesus, yang tidak mengurangi keutuhaan keperawanan, melainkan jusru menyucikannya (LG 57)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar