Jiwa sebagai Penggerak Hidup
Summa Theologica dan ”Konsep Mana” dalam
Suku Dayak Iban
Kehidupan
manusia selalu ditandai oleh dua sisi pengalaman yang saling bertentangan. Di
satu sisi, manusia mengalami kegembiraan dan kebahagiaan tetapi di sisi lain, manusia
mengalami kesusahan, sakit dan penderitaan. Lalu apa yang menyebabkan dua sisi
pengalaman ini ada dan terjadi dalam diri manusia? Satu jawaban mendasar bahwa dua
elemen utama yaitu tubuh dan jiwa yang menentukan seluruh pengalama dan gerak
hidup manusia. Pengalaman ditentukan sejauh bagaimana jiwa dan tubuh berfungsi dan
bekerja sebagaimana mestinya dalam hidup. Lalu sejauh mana jiwa bekerja di
dalam diri sehingga cara kerja jiwa terhadap tubuh lebih mendatangkan
pengalaman kegembiraan dan sukacita daripada pengalaman kesusahan dan
penderitaan? Tentunya ada
banyak pandangan dan gagasan yang menyoroti topik dan persoalan ini tetapi dalam
paper ini, penulis membatasi diri hanya melihat kemungkinan adanya dialog pemahaman
antara Thomas Aquinas dan budaya lokal suku Dayak Iban dalam menggagas soal peran
jiwa dalam diri manusia. Penulis menggambil ulasan Thomas Aquinas dari Summa
Theologica, Ia, q. 75, a.1 dan didialogkan dengan paham “Mana” dalam religiusitas suku Dayak Iban yang kurang lebih
keduanya mengulas tentang peran jiwa sebagai penggerak tubuh.
I.
Jiwa sebagai Penggerak Tubuh dalam Summa
Theologica Ia, q.75. art.1
Pemahaman mengenai
konsep jiwa tidak jarang menuai banyak persoalan khususnya dalam sepanjang
sejarah pemikiran manusia. Sorotan tentang konsep jiwa tidak hanya dilihat dari
sudut arti; apa itu jiwa? Tetapi lebih pada bagaimana melihat peran dan
kedudukan jiwa dalam diri manusia. Tiga keberatan yang dilontarkan dalam Summa
Theoligica Ia,q.75,a.1 kurang lebih menyoroti hal ini. Pertanyaan mendasar
dalam menggagas peran jiwa ialah apakah jiwa merupakan tubuh?[i]
Pertanyaan mendasar ini dilihat sebagai suatu usaha untuk mencermati peran dan kedudukan jiwa. Untuk itulah, tiga
keberatan yang muncul mempertanyakan serentak meminta pertanggung jawaban yang
jelas perihal gagasan dasar di atas. Pernyataan keberatan pertama ialah jika
jiwa merupakan tubuh, maka pemahaman yang timbul ialah jiwa dan tubuh itu
identik sehingga kesatuan antara jiwa dan tubuh tidak dapat dibedakan lagi.
Dalam arti ini, tidak ada pemisahan yang jelas antara peran jiwa dan tubuh. Keberatan kedua
dengan bertolak dari keberatan pertama, mempertanyakan lebih jauh; apakah
pengetahuan dilihat sebagai produk dari keserupaan antara jiwa dan tubuh? Dan keberatan
ketiga membuat semacam pengandaian bahwa jika ada pemisahan antara jiwa dan
tubuh maka apakah ada kontak yang terjadi antara keduanya. Bagi penulis, ketiga
keberatan ini sebenarnya menyentuh satu gagasan dasar yakni sejauh mana peran
jiwa dalam diri manusia?
Sebelum menjawab tiga
keberatan ini, Thomas Aquinas menunjukan prinsip dasar dari cara kerja jiwa.
Bagi Thomas, jiwa merupakan prinsip
pertama dari segala sesuatu yang hidup.[ii]
Bagi Thomas, jiwa merupakan tubuh dalam arti jiwa tinggal dalam tubuh manusia
tetapi tetap ada distingsi yang jelas antara peran jiwa dan tubuh. Berkenaan
dengan gagasan ini, beberapa pemikir menyoroti secara tegas bahwa rupanya
sesuatu tidak dapat bergerak jika tidak ada yang menggerakan di dalam dirinya.[iii]
Dan ada yang berpendapat lain bahwa jika ada yang bergerak dan tidak ada yang
digerakan maka inilah penyebab pertama yang bersifat kekal.[iv]
Terhadap beberapa gagasan ini, penulis melihat bahwa, jiwa selalu dilihat
sebagai penggerak utama yang memberi hidup bagi manusia. Untuk mengerti hal
ini, Thomas menunjukan prinsip dasar untuk mengerti secara lebih mendalam
tentang peran jiwa bahwa setiap gerak mesti selalu terdapat unsur potensi dan
aktualitasnya.[v]
Potensi selalu dilihat dari gerakan yang berasal dari jiwa sedangkan aktualitas
selalu dilihat dari reaksi atau respon
tubuh atas gerakan yang berasal dari jiwa sebagai gerakan pertama.
Sampai pada titik ini, penulis ingin
menunjukan bahwa meskipun jiwa dan tubuh menampakan kesatuan antara keduanya
tetapi tetap ada pemisahan peran atau fungsi yang jelas. Di sinilah letak
kekeliruan dari pandangan yang memunculkan ketiga keberatan di atas gagasan
dasar apakah jiwa merupakan tubuh. Untuk itulah, dalam menjawab keberatan
pertama Thomas menggagas bahwa jiwa berperan sebagai penggerak pertama dan
utama tubuh. Dan terdapat dua tesis utama mengapa jiwa sebagai penggerak utama tubuh
yakni pertama, sesuatu yang bergerak
karena ada yang bergerak di dalam dirinya. Atau dengan kata lain, penulis boleh
mengatakan tubuh bisa bertindak atau melakukan sesuatu karena digerakan oleh
sesuatu yang ada dalam diri manusia yakni jiwa. Tesis kedua, Jiwa dikatakan
sebagai penggerak yang bergerak karena dia tinggal di dalam diri manusia. Hal
ini menunjukan efektivitas kerja jiwa. Jiwa memainkan peran utama dalam
menggerakan hidup seseorang tetapi efektivirtas peran jiwa akan terpenuhi jika
memainkan perannya dalam tubuh. Hal ini serentak menegaskan bahwa ada kesatuan
dan kesinambungan peran antara jiwa dan tubuh. Selanjutnya dalam menjawab
keberatan kedua, Thomas bertitik tolak dari gagasan, jiwa sebagai penggerak
pertama yang menunjukan bahwa pengetahuan yang ada selalu dilihat dari produk
relasi fungsional antara jiwa dan tubuh. Pengetahuan tidak akan muncul sebagai pengetahuan jika jiwa tidak mampu
bekerja sama dengan tubuh. Misalnya otak sebagai intrumen berpikir akan menjadi
efektif karena ada gerakan dari jiwa. Sesuatu yang diproduk secara empiris
lahir dari kerja sama antara jiwa dan relaksasi tubuh. Dan dalam keberatan ketiga, Thomas Aquinas mengamini bahwa antara
penggerak dan yang digerakan harus ada kontak
tetapi Thomas menerangkan lebih jauh bahwa kontak antara keduaya harus memiliki
dua kualitas yakni dari sudut “kuantitas”
dan “kekuatan” dan hal ini hanya akan
terjadi dalam tubuh. Misalnya api yang berkorbar selalu mengeluarkan panas
karena di dalam dirinya mengandung energi panas. Potensi atau peran jiwa dalam
diri manusia menentukan bagaimana proses aktualitas tubuh yang terpancar dari
kedalamannya.
Dari pergulatan Thomas
Aquinas, penulis menyoroti satu poin penting yang ditunjukan Thomas dalam
menjawabi keberatan di atas bahwa jiwa sebagai sumber penggerak dari tubuh yang
memungkinkan seseorang menjadi sungguh hidup. Hidup manusia tidak hanya
ditentukan oleh kontraksi organ-organ dan reaksi tubuh semata tetapi terdapat
kekuatan yang mengarahkan sekaligus menggerakan manusia untuk memberi arti pada
hidupnya secara lebih mendalam.
II. Konsep Mana dalam Masyarakat
Suku Dayak Iban
Suku Iban merupakan salah satu
bagian suku dari suku dayak. Masyarakat suku ini seperti masyarakat dayak pada
umumnya memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Hal ini terbukti dengan adanya banyak upacara yang
dibuat untuk menghornati Petara, (suatu
istilah untuk merujuk pada wujud tertinggi). Bagi mereka, wujud tertinggi
bisa menjelma dalam bentuk apapun tetapi penjelmaan wujud tertinggi lebih
khusus terjadi melalui Mana. Istilah Mana merujuk kepada sesuatu yang tidak
berbentuk tetapi justru menunjukan manifestasi dari wujud tertinggi. Arti
harafiah dari Mana ialah ”sakti”
yaitu penggerak hidup atau materi jiwa-jiwa.[vi]
Kata materi jiwa-jiwa tidak hendak menunjukan bahwa jiwa memiliki wujud
tertentu atau memiliki bentuk tetapi merujuk pada suatu daya yang luar biasa
yang terdapat dalam diri manusia. Selanjutnya dalam arti luas, Mana diartikan sebagai ”kekuatan
menyeluruh di dalam tubuh manusia tetapi khusus kepada suatu elemen yang tidak
dapat dilihat, ada dalam diri manusia tetapi memiliki kekuatan yang besar dalam
diri”.[vii]
Gagasan ini terungkap dengan jelas dalam teks asli doa yang didaraskan pada
saat upacara pemulihan dari sakit[viii]
:
O, sumangat[ix]
diyau meh, apeie aku segala-galanya
diduduki oleh jiwa
Jaga meh aku utai tingaru tinadai
depedaah penghuni yang
tak kelihatan
Oh, sumangat diyau meh uan apaie hai jiwa, tinggallah
dalam diriku
Gawai aku tou nyamai-grai buatlah
aku bertumbuh
Anangbah nuan nudi kediree jangan
tinggalkan aku
Aku tou lema ndai bedayaa sekalipun
aku lemah
Mana bagi orang Iban selalu
merujuk kepada jiwa yang memiliki arti kekuatan dalam diri yang menghidupkan
manusia sehingga tidak mengherankan orang Iban percaya bahwa pola tindakan baik
sosial maupun kultural selalu didorong oleh kekuatan ini. Selain itu, kekuatan
dari dalam diri yang tak kelihatan mempengaruhi organ-organ vital lainnya yang
sifatnya bertumbuh, misalnya orang Iban beranggapan bahwa rambut memberi
kekuatan tertentu bagi setiap orang. Dalam arti inilah Mana tidak merujuk kepada organ vital, zat atau benda tertentu
tetapi lebih sebagai kekuatan dalam diri yang menggerakan mereka untuk
bertindak. Dan kekuatan itu, dipandang ada sejak lahir dan terus mengalir dan
tidak tahu kapan akan hilang meskipun tubuh akan hancur dan membusuk. Bagi
mereka, kekuatan tersebut menjadi penggerak
baik untuk pertumbuhan fisik seseorang maupun kekuatan spiritual yang
melindungi seseorang dari pengaruh jahat yang datang dari luar diri. Hal ini
terdapat pada ungkapan orang dayak pada saat seorang bayi atau siapa saja yang
sakit. Mereka biasanya mengucapkan doa ini:
Kin Semangat[x] jiwa, kembalilah!
Pulah ba nuan, usir meh jauh pemedah
singkirkan segala penyakit
Pemedah nyah maii bahaya ngau aku segala penyakit yang membahayakan
O’ sumangat diyau meh nuan apeie aku oh jiwa selamatkan
aku
Ayu k aku tauu slamat ngau nyamai grai tinggalah dalam diriku supaya
selamat
Seruan ini bukan hanya sekadar
diucapkan tetapi orang Iban melihat bahwa pada saat seseorang sakit, jiwa tidak
menjadi benteng pertahanan yang kuat bagi tubuh. Sehingga apabila jiwa tidak
bekerjasama baik dengan tubuh maka tubuh akan cepat terserang penyakit atau
kuasa jahat. Karena itu, orang Iban selalu mengenakan simbol tertentu untuk
mengungkapkan kekuatan (jiwa) tersebut seperti mengenakan gelang atau perhiasan
pada anak yang sakit. Menurut kepercayaan mereka, apabila kuasa jahat melihat
gelang atau perhiasan yang dikenakan anak tersebut, roh jahat akan lari dan
tidak mendekati anak tersebut karena anak tersebut memiliki dalam dirinya
kekuatan yang luar biasa (mana). Dari gambaran ini terlihat jelas bahwa jiwa
yang diartikan sebagai kekuatan dalam diri melekat dalam tubuh dan mempengaruhi
setiap pergerakan hidup manusia.
Konsekuensi lebih lanjut dari
gagasan ini bahwa orang dayak Iban sungguh meyakini Mana (jiwa) memiliki
keterkaitan dengan Petara (wujud tertinggi)
karena apa yang disebut Mana ialah kekuatan dalam diri yang menantang segala
hal buruk dan jahat yang membahayakan diri.[xi]
Hal ini terungkap jelas dalam keseharian, misalnya dalam arti tertentu ada kata-kata
atau perbuatan yang tidak boleh diaktualisasikan karena sama sekali
bertentangan dengan Mana misalnya
kata-kata kutukan atau tindakan membunuh hewan langkah di hutan karena hal
tersebut mendatangkan malapetaka bagi diri sendiri. Orang Iban beranggapan
bahwa Petara (wujud tertinggi) sebagai pencipta hanya menginginkan adanya
kebaikan dalam diri dan Mana menjadi
benteng yang kuat dalam mempertahankan pertumbuhan nilai baik dalam diri
manusia. Tidak mengherankan misalnya upacara
Sampi (upacara mohon berkat untuk membuka ladang) atau upacara adat lainnya
selalu dimulai dengan litani yang mengungkapkan doa kepada Petara untuk mendatangkan
kebaikan dan kemakmuran bagi masyarakat Iban. Demikianpun, ketika masa-masa
memanen tiba, orang Iban juga mengadakan upacara syukuran kepada Petara yang
telah menumbuhkan dan mengusir segala hama yang menyerang tanaman sehingga
memberikan hasil yang baik bagi mereka. Ungkapan religiusitas ini memberi arti
bahwa kekuatan dari Petara tidak berada jauh dari mereka tetapi dekat dan
tinggal dalam diri manusia. Kekuatan itu hanya bisa di sadari dan dikembangkan dalam
diri.
Dalam relasinya dengan tubuh,
masyarakat suku Iban melihat bahwa tubuh memang akan mati dan membusuk tetapi
jiwa tidak akan mati. Manusia tetap hidup walaupun telah meninggal. Setelah
melewati pintu gerbang kematian, jiwa seseorang meninggalkan begitu saja
keterikatan dengan orang-orang di sekitarnya tetapi tetap membangun relasi yang
baik dengan saudara-saudaranya. Untuk itulah, bagi mereka meskipun seseorang
meninggal, dia tetap dianggap sebagai anggota suku Iban.
Berdasarkan dua pilar
pemahaman tentang jiwa, penulis mencoba melihat kemungkinan akan adanya dialog
antara kedua pemahaman ini:
Pertama, harus disadari
bahwa jiwa sebagai prinsip pertama penggerak hidup manusia. Bahkan Thomas
Aquinas melihatnya bukan hanya sebagai penggerak pertama kehidupan tetapi juga
sebagai prinsip munculnya pengetahuan dalam kebersatuannya dengan tubuh.
Sehubungan dengan ini, masyarakat suku Iban melihat bahwa jiwa sebagai kekuatan
dalam diri yang menghidupkan manusia. Kedua kata yang digunakan di atas baik
Thomas maupun Masyarakat Iban dalam menggunakan kata ”kekuatan” sebenarnya
memiliki maksud yang sama bahwa hidup manusia harus mengalir dari jiwa. Prinsip
penggerak dalam bahasa Thomas Aquinas atau prinsip kekuatan menurut masyarakat
Iban serentak mengafirmasi betapa
pentingnya peranan jiwa dalam diri manusia. Tubuh akan menjadi hidup dan kuat
berkat campur tangan jiwa demikianpun sebaliknya jiwa mendapat efektifitas
dalam dirinya dan dunia berkat adanya dalam
tubuh.
Kedua, jiwa memiliki
sifat kekal dan tidak dibatasi oleh ruang dan situasi apapun termaksud dunia
tidak mampu membatasi ruang gerak jiwa karena jiwa adalah penggerak yang
bergerak. Tubuh akan mati, hancur dan menyatu kembali ke dalam tanah tetapi
peziarahan jiwa tidak akan pernah berakhir. Hal ini ditunjukan oleh Thomas
Aquinas dalam tesisnya bahwa sesuatu yang bergerak dan tidak digerakan memiliki
sifat yang kekal dalam arti ini jiwa tidak dapa mati. Masyarakat suku Iban juga
melihat hal yang khususnya kepercayaan adanya relasi antara orang yang telah
meninggal dengan orang yang masih hidup. Dalam arti relasi yang dimaksudkan
bukan menyangkut tubuh tetapi lebih sebagai sifat kekekalan jiwa yang tidak
akan mati, sehingga mereka sering memberi makan untuk orang yang telah
meninggal. Hal ini sebenarnya hanya menjadi saat dimana mereka mengenangkan
orang terdekat yang telah meninggalkan mereka.
Tetapi relasi jiwa dan tubuh di dalam dunia dapat dikatakan sebagai
proses penyatuan yang semantara sifatnya tetapi harus diakui bahwa jiwa
mengalami kepenuhannya dalam keabadian ketika mengalami kebersatuan dengan
Allah. Dengan kata lain, peziarahan hidup manusia di dunia harus mencapai
kepenuhannya dalam kebersatuan dengan Allah.
Ketiga, titik temu
lain bahwa di satu sisi, proses dialog ini menghantar dan mencerahkan
masyarakat suku Iban sendiri yang beriman Katolik dalam mengelaborasikan nilai
religiusitas kultural kedalam nilai religiusitas iman Katolik. Kadang masyarakat suku Iban katolik membuat distingsi
antara upacara adat dengan ritus Gerejawi. Sehingga tidak jarang jika pada
musim tanam atau panen, mereka memiliki kecenderungan untuk tidak merayakan
misa mingguan. Tetapi berdasarkan pengalaman penulis, bentuk inkulturatif dalam
liturgi seperti Misa dengan intensi utama syukuran panen atau upacara
memberkati benih dan sebagainya menjadi langkah awal dari dialog antara Gereja
dengan budaya suku Iban. Kadang upacara Ibadat Sabda di lakukan di rumah Betang
atau di ladang sebagai upaya Gereja untuk mendekatkan diri pada dimensi
religiusitas kultural budaya setempat. Di sisi lain, Gereja harus selalu
terbuka untuk berdialog dengan budaya setempat misalnya melihat tindakan kultis
setempat seperti ritus-ritus adat haruslah
dilihat dalam kacamata iman. Upacara
Sampi, misalnya sebagai ritus permohonan untuk membuka lahan baru tidak
dilihat sebagai tindakan heresis atau penyembahan berhala tetapi sarana atau
cara lain untuk mendekatkan diri pada Allah..
Selain memaparkan titik temu antara kedua
pemahaman ini, penulis juga menyodorkan beberapa catatan kritis yang sekiranya
menjadi celah yang tidak membuka kemungkina bagi terjadinya dialog antara dua
pemahaman ini. Pertama, kepercayaan
suku Iban dalam batasan tertentu cenderung untuk jatuh kepada ajaran animisme karena rasa religiusitas mereka
sangat ditentukan oleh kebergantungan pada alam. Misalnya saja, adanya
kepercayaan reinkarnasi jiwa atau anggapan bahwa semua mahkluk baik yang
bernyawa maupun tidak memiliki jiwa. Tentunya pemahaman semacam ini, beranggapan
bahwa setiap mahkluk hidup dan benda mati memiliki nilai jiwa yang sama padahal
proses kebersatuan manusia dengan Allah sebagai tujuan akhir pencarian jiwa
memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari ciptaan yang lain. Kedua, relevansi
dari tindakan ini sebenarnya berguna bagi tugas pastoral untuk menyadarkan umat
suku Iban dalam melihat hidup bahwa hidup tidak sepenuhnya bergantung pada alam
tetapi membutuhkan usaha dan kerjakeras dalam merealisasikan dorongan jiwa
untuk mengoptimalkan tubuh.
Dari seluruh rangkaian pemahaman ini,
penulis hendak mengatakan bahwa relasi jiwa dan tubuh dalam diri manusia berlangsung
sejauh tubuh masih hidup di dunia ini. Keterputusan antara tubuh jiwa dan tubuh
terjadi kala tubuh mati. Selain itu, relasi jiwa dan tubuh bisa digambarkan
sebagai proses aktualisasi tubuh atau organ tubuh yang bertitik tolak dari jiwa
sebagai penggerak atau kekuatan serta menjadi sebab pertama munculnya
pengetahuan.
[ii] Thomas Aquinas melihat bahwa kodrat jiwa sebagai penggerak dimana Jiwa
yang tidak memiliki wujud, yang tidak dapat disentuh atau dilihat memiliki
kekuatan yang besar dalam memberi daya
kepada tubuh manusia. Ibid.
[ix].Dr.
Benny Pang dan Dr. Valentinus(ed.), Minum
Sumber Sendiri, Malang:STFT Widya Sasana,
2011, hal. 267-268.
[x] Sumangat selalu diidentikan
dengan jiwa yang diartikan sebagai kekuatan yang luar biasa. Sumangat merupakan
kekuatan yang mengambil bagian dalam Mana. Sumangat selain terdapat dalam
manusia juga terdapat dalam tumbuhan, hewan dan benda-benda keramat. Sumangat
yang terdapat dalam manusia mempengaruhi seluruh organ tubuh. Ibid., hal. 33