Jumat, 16 September 2011

POLITIK REFLEKSIF


Beberapa tahun terakhir ini, popularitas bangsa sebagai negara kesatuan seolah-olah dicoreng oleh aneka macam persoalan, mulai dari persoalam gizi bayi, persoalan harga barang kebutuhan pokok masyarakat hingga persoalan perselingkuhan, korupsi, perebutan kekuasan yang melibatkan dan menyeret para aparatur negara. Tidak dapat dibenarkan bahwa kenyataan seperti ini hanya dilihat secara positif sebagai proses menuju reformasi yang sesungguhnya seperti dikemukan oleh Rudy Satriyo Mukantardjo, staf pengajar hukum pidana FH UI dalam merespon kemelut perhelatan politik di kubuh POLRI (Tempo: 22 Maret 2010) atau Adnan Buyung Nasution yang melihat adanya kemajuan demokrasi dalam kasus Bank Century (Kompas: Selasa, 2 Maret 2010). Bagi penulis, rasionalisasi positif seperti ini hanya bertepuk sebelah tangan dan justru menempatkan bangsa ini di ambang kehancuran. Korupsi, perebutan jabatan, penyalahgunaan kekuasaan, perselisihan, dan sebagainya jika dibiarkan begitu saja justru membuat bangsa ini jauh dari cita-cita reformasi yang sesungguhnya. Aroma politik yang dihirup menjadi tidak sehat, politik itu sendiri direduksi ke dalam makna yang sempit. Tidak mengherankan asosiasi masyarakat kecil atas politik di Indonesia sungguh menjijikan dan tak enak untuk dipandang mata. Sungguh inikah yang disebut sistem perpolitikan Indonesia? Lalu apa yang mesti dilakukan bangsa ini agar dapat keluar dari situasi seperti ini?

Introspeksi Diri
Bagi penulis, satu hal yang menjadi langkah awal bagi bangsa ini untuk dapat berubah dan mengarahkan diri pada reformasi yang sesungguhnya ialah menegakan politik refleksif. Rasa-rasanya, ketika melontarkan gagasan ini, sebagian besar orang mungkin memberi kesan kurang simpatik misalnya mungkin mereka melihat penegakan politik refleksif merupakan pemaknaan yang sifatnya infantil, sedikit afektif dan religius. Orang mungkin akan berpikir bahwa politik bukan sesuatu yang sifatnya religius, afektif atau sejenisnya tetapi lebih sebagai pola berpikir dan bertindak kritis rasional. Di sini, penulis mencoba memberi arti dan mendudukan posisi politik refleksif dalam hidup berbangsa dengan segala problematikanya. Bertolak dari gagasan Eric Voeglin, manusia Indonesia harus hadir dalam historitasnya artinya hadir dalam kedalaman refleksi sebagai suatu bangsa untuk melihat kembali esensi hidup berbangsa (Armada Riyanto: Politik, Sejarah, Identitas, Posmodernitas, hal. 9). Muncul aneka persoalan dipicu oleh kehausan manusia dalam menomorsatukan kepentingan diri dan kelompok di atas kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat. Berkenaan dengan itu, Presiden Bambang Yudhoyono dalam pidatonya pada hari raya Idulfitri 2010 menghimbau kepada seluruh para ulama, kaum muslim serta seluruh rakyat Indonesia agar ditengah berkecamuknya berbagai persoalan yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai suatu bangsa, manusia Indonesia harus mengintrosperksi diri, melihat diri sejauh mana hati nurani setiap orang terarah pada kesatuan dan cita-cita luhur bangsa (Kompas: 11 Oktober 2010).

Politik :  suatu “kedalaman dan kebenaran”.
Berbicara tentang Politik Refleksif berarti berbicara tentang suatu “kedalaman”. Menurut Prof. Dr. Armada Riyanto ketika berbicara tentang politik reflesif itu berarti manusia hadir dalam “kedalaman dan kebenaran” atau Eric Voegelin mengartikan politik refleksif dimana manusia merefleksikan hidupnya di masa lampau, memaknainya untuk melangkah ke depan (Prof. Dr. Armada Riyanto: Politik, sejarah, Identitas, Posmodernitas, hal.9). Bagi penulis, politik refleksif menghantar manusia pada penemuan makna dalam ranah historisitas hidupnya. Manusia Indonesia sejenak diajak untuk mengenang kembali bagaimana semangat kesatuan dan nasionalisme membakar jiwa para pendiri bangsa ini. Hanya satu tekad yang diucapkan oleh Sukarno dan Hatta dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan para pejuang bangsa selanjutnya yakni bahwa bangsa Indonesia harus keluar dari segala macam kemelut persoalan, penindasan, percekcokan dan penjajahan. Untuk mencapai “kedalaman dan kebenaran” hidup, manusia Indonesia senantiasa mengafirmasi tekad yang telah ditanamkan oleh para pendiri bangsa.
Berbicara soal “kedalaman”, pikiran kita juga terarah kepada apa yang disebut Hegel sebagai “kesadaran diri”. Kesadaran diri secara tidak langsung bersentuhan dengan politik refleksi. Mengintrospeksi diri berarti orang menempatkan kesadaran diri dalam historisitas hidupnya. Perkara kesadaran diri merupakan perkara bagaimana manusia memberi makna pada hidupnya dalam relasinya dengan orang lain. Oleh karena ketika berbicara tentang kesadaran diri, Hegel menyentuh kesadaran diri yang tertinggi yakni “kesadaran akan Ke-kita-an” yang kemudian berpuncak pada kesadaran akan “Sang Absolut” (F. Budi Hardiman ”Filsafat Modern”, hal. 83). Manusia menyadari akan adanya “aku yang lain” dalam hidupnya. Perkara hidup bersama khususnya bernegara menyentuh kesadaran akan “ke-kita-an”. Aku melihat yang lain bukan sebagai “orang lain” tetapi “aku yang lain”,  artinya ketika aku melihat orang lain, aku tidak melihatnya sebagai musuh, pesaing, pengancam bagi diriku tetapi aku melihat yang lain sebagai rekan seperjalanan dalam proses pemaknaan hidup. Dengan kesadaran diri seperti ini, sebenarnya Hegel ingin menghapus diskriminasi dalam hidup bersama. Manusia dalam proses pemaknaan hidupnya, menaruh perhatian akan apa yang dinamakan Bonum Commune bukan manusia menjadi serigala satu terhadap yang lain. Bayangkan saja, jika dalam kubuh POLRI terjadi tindakan saling tuding menuding dan menelanjangi, bagaimana keamanan negeri ini bisa terjadi. Bagaimana kebutuhan dan kepentingan rakyat bisa diperhatikan jika setiap hari pemerintah hanya berurusan dengan kasus korupsi para petinggi negara misalnya kasus Bank Century, Gayus dan sebagainya lalu lupa memprioritas pelaksanaan tugas dalam mengejar cita-cita bangsa yaitu kesejahteraan seluruh rakyat.  
Akhirnya, berbicara tentang “politik refleksi” dalam konteks Indonesia berarti seluruh rakyat Indonesia baik rakyat biasa maupun para petinggi negara diajak untuk mengintrospkesi diri sejauh mana setiap orang dalam proses pemaknaan hidupnya meraih apa yang disebut “kedalaman dan kebenaran” hidup. Bagi penulis, bukankah dengan menjalankan tugas dan pengabdian yang dipercayakan dengan penuh ketulusan dan kejujuran telah menjadi modal dasar bagi proses pencapaian kedalaman dan kebenaran yang sesungguhnya. Bukankah tugas polisi ialah menjaga ketertiban lingkungan, DPR sebagai wakil rakyat, Presiden sebagai kepala dan abdi masyarakat, menteri dan pejabat negara sebagai  abdi negara dalam menyukseskan program kesejateraan rakyat sesuai dengan bidang yang dipercayakan kepada mereka, para Gubernur, Bupati serta jajaran pemerintah menegakan kesatuan dan otonimitas daerah demi kesejahteraan bersama. Dengan kesadaran dan penghayatan akan tugas masing-masing inilah sebenarnya serentak menegasikan badan-badan yang tidak perlu dibentuk dalam negara seperti Pansus, KPK karena setiap orang saling percaya dan menopang satu sama lain dalam mencapai cita-cita bangsa. Hanya dengan menghayati dan menjalankan tugas yang dipercayakan dengan ketulusan dan pengabdian maka bangsa ini hidup dalam proses pemaknaan terus menerus menuju kedalaman dan kebenaran. Dalam arti inilah, bangsa Indonesia menghantar seluruh rakyat kepada kesejahteraan bersama.














           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar