Jumat, 16 September 2011

KONSEP KESADARAN MENURUT HEGEL


I.                   Pendahuluan
Kemajuan teknologi dan informasi telah menandai dunia dewasa ini. Manusia seolah-olah hidup dalam angan-angan lantaran produk dari kemajuan telah membius manusia. Bayangkan saja, handphone, komputer, konsumsi acara-acara televisi yang mewariskan budaya instan telah menjadi konsumsi setiap orang. Sadar atau tidak, manusia mulai merasa aman tingggal dalam individualisme, egosentrisme dan materialisme. Lebih ironis lagi, produk dari kemajuan telah mengusik kemapanan nilai-nilai moral, religius dan sosial yang telah sekian lama mengakar dalam diri manusia. Untuk itu, tidak mengherankan jika genjatan senjata, arus terorisme, pembunuhan, kudeta kepemimpinan menjadi momok menjijikan yang mulai mendarat di berbagai belahan dunia. Nilai solidaritas dan pengakuan akan yang lain telah dikuburkan dalam-dalam. Pertanyaan yang muncul: Apakah kesadaran akan nilai-nilai moral, religius yang tertanam kuat telah mati? Apakah manusia telah lupa akan dirinya yang selalu berjalan beriring dengan orang lain? Apakah kemajuan mesti harus dipersalahkan? Pertanyaan ini menyentak serentak membangunkan kesadaran setiap orang akan eksistensinya. Dalam paper ini, penulis mencoba menguraikan beberapa gagasan kesadaran Hegel serta menarik beberapa kesimpulan dan relevansi untuk menjawabi kebutuhan dunia dewasa ini.
II.                Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pemikiran Hegel
2.1.  Riwayat Hidup
Georg W. F. Hegel adalah seorang tokoh Idealisme Jerman dan sekaligus tokoh puncak segala bentuk spekulasi filosofis dalam sejarah filsafat Barat Modern (filsuf besar). Hegel lahir di kota Stuttgart pada tanggal 27 Agustus 1770 dari pasangan Goerg Ludwig dan Maria Magdalena Louisa, yang adalah kelurga Kristen. Hegel hidup dalam keluarga yang cukup mapan oleh karena ayahnya adalah seorang pegawai sipil dan ibunya berasal dari keluarga kaya di Stuttgart[1].  Dimasa kecil, Hegel lahap membaca literatur, surat kabar, esai filsafat dan tulisan dari berbagai topik.
 Pada usia 18 tahun, Hegel menjadi mahasiswa Teologi di Universitas Tűbingan. Di sana dia bergaul dengan Schelling yang lebih dahulu menjadi filsuf dan penyair Hölderlin yang keduanya menaruh simpati pada revolusi Prancis. Hegel juga kemudian menaruh simpati terhadap revolusi Prancis. Dalam beberapa tahun, ia kemudian meraih ijasah fisafatnya dan menyelesaikan studi teologinya. Sejak dari muda, Hegel mulai suka meneliti keterkaitan antara filsafat dan teologi. Sesudah meninggalkan Tűbingan, dia menjadi seorang tutor pada keluarga bangsawan di Bern, Swis dan kemudian ia bertolak ke Frankfurt. Ia menjadi guru terkenal dalam ilmu filsafat di berbagai tempat seperti mengajar di universitas Jena, menjadi rektor di Gymnasium kota Nuremberg, mengajar di Heidelberg,  dan akhirnya menjadi professor di Berlin hingga wafatnya pada tahun 1831[2]. Hegel menulis banyak buku dan artikel baik tentang teologi maupun filsafat yang tentunya tidak mudah untuk dimengerti[3].
2.2.  Konteks Berfilsafat dan Panorama Pemikiran Hegel
Hegel adalah anak jaman filsafat modern. Ciri khas filsafat modern terletak pada kesadaran akan subjektivitas, kritik dan kemajuan. Subjektivias memaksudkan bahwa manusia menyadari dirinya sebagai pusat realitas dimana seluruh kenyataan subjek dimasukan dalam kategori rasio. Dari sudut epistemologis, proses terbentuknya pengetahuan tidak pernah terlepas dari keterlibatan subjek. Rasio yang memberikan  keputusan dan pertimbangan dari seluruh pengenalan dan pengetahuan manusia.
Corak kritik dalam filsafat modern juga menekankan bahwa aktivitas rasio tidak hanya berhenti menghasilkan pengetahuan tetapi juga memiliki wewenang untuk membebaskan individu dari tradisi. Rasio mengambil tempat untuk mengoreksi konservatisme yang keliru dari tradisi. Hegel melalui tulisannya juga mengkritik Gereja yang dilihatnya terlalu rasional dan otoriter.  Corak yang terakhir dari filsafat modern ialah kemajuan yang mengandaikan akan subjek yang sadar akan waktu yang tidak terulang sehingga memacunya untuk terus berpikir sehingga terarah kepada kemajuan dan perubahan.
Selain itu, untuk mengerti konsep kesadaran Hegel, tentunya harus ditelusuri terlebih dahulu panorama pemikirannya. Titik tolak dari seluruh idealisme Hegel ialah gagasannya akan “Yang Absolut”. Yang Absolut adalah totalitas seluruh kenyataan. Atau dengan kata lain ”Yang Absolut adalah pikiran (rasio) yang memikirkan dirinya sendiri dan “subjek yang menyadari dirinya sendiri”[4]. Berangkat dari gagasan ini, Hegel kemudian menguraikan tentang Fenomenologi Roh yang dilihatnya sebagai landasan dari seluruh refleksi filosofisnya akan realitas ada. Gagasan ini hendak menunjukan proses kesadaran manusia dari tingkat yang paling rendah yakni pengetahuan yang serba terbatas menuju pengetahuan yang absolut. Hegel juga menggunakan metode dialetika dalam memecahkan segala persoalan pengetahuan dan realitas. Istilah Dialetika lebih bertitik tolak dari pengalaman sehari-hari melalui dialog, yakni suatu pendapat (tesis) ditantang oleh pendapat yang lain (antitesis) sehingga ada usaha untuk memperdamaikan kedua pendapat tersebut sehingga muncul pendapat yang lengkap (sintesis).
Sistem filsafat Hegel diuraikan dalam tiga tahap yakni tahap idea, alam dan Roh[5] yang menjelmah dalam tiga bangunan filsafatnya yakni logika sebagai adalah sebuah metafisika yang menjelaskan hakekat dari Yang absolut. Yang absolut identik dengan realitas ada. Bangunan kedua ialah Filsafat alam sebagai suatu tahap dari proses alienasi Yang Absolut dalam alam. Yang absolute menjelmah dalam alam dan menentukan segala pergerakan alam. Tetapi alam lalu tidak diidentikan dengan Yang absolut. Alam tetap memiliki keterbatasan dan dimengerti sebagai Yang absolut yang belum sadar maka tidak ada kebebasan dialektis yang terjadi dalam alam. Bangunan ketiga disebut Filsafat sejarah. Bagi Hegel pengetahuan akan yang absolut terjadi melalui sejarah pemikiran manusia. Dan Hegel melihat sejarah pemikiran manusia sebagai roh yang menjadi sadar. Sistem sejarah manusia memuncak dalam rasio dimana rasio dikatakan sebagai penguasa dunia atau subtansi alam semesta atau juga dikatakan bahwa rasio sebagai energi yang tak terbatas[6].
Berdasarkan riwayat hidup, konteks filsafatnya dan panorama pemikirannya, penulis mencoba untuk menarik beberapa kesimpulan demikian yakni pemikiran Hegel kurang lebih menekankan kedudukan subjek sebagai pusat dari seluruh realitas. Tetapi harus diakui bahwa penjelasan tentang subjektivitas tidak pernah terlepas dari usahanya untuk merefleksikan dan memikirkan kaitan antara teologi dan filsafat. Yang Absolut dilihat sebagai subjek yang ada dalam dirinya, tidak diciptakan dan menentukan segala sesuatu. Lalu pertanyaannya: dimana kedudukan konsep kesadaran dalam seluruh ranah pemikiran Hegel? konsep kesadaran ini dilihat sebagai pengantar untuk mengerti seluruh sistem filsafatnya. Kesadaran itu identik dengan kegiatan berpikir. Untuk itulah, seluruh ranah pemikiran Hegel tidak pernah terlepas dari peran subjek yang sadar.  Dari segi teologis, Hegel sampai pada kesadaran bahwa kesadaran tidak hanya berhenti pada tataran pengenalan rasio akan diri dan realitas tetapi juga sampai kepada pengenalan akan yang ilahi. Inilah nilai yang paling tinggi dari seluruh proses kesadaran manusia. Proses berpikir (kesadaran) mencapai kesempurnaan dalam realitas ilahi (absolut).
III.             Konsep Kesadaran
3.1.  Arti dan Makna Kesadaran
Secara etimologis, kesadaran berasal dari kata latin Conscientia dari turunan kata “con” yang berarti “dengan” dan “scire” yang berarti “tahu”. Conscientia berarti pengumpulan ke dalam kehadiran atau dengan kata lain kesadaran tentang objek. Objek yang dilandaskan pada kesadaran akan menghasilkan pengetahuan. kesadaran memiliki dua objek yakni ada-diri dan ada-untuk-kesadaran di dalam diri[7]. Atau dengan kata lain kesadaran berarti pengetahuan tentang objek dimana  subjek pada momen kesadaran tidak beroposisi dengan objek tetapi menandaikan adanya pengetahuan ekplisit tentang objek.   
Kesadaran menjadi cirri khas paling menyolok yang membedakan manusia dari  mahkluk lain. Descartes dengan tesis dasarnya “cogito ergo sum” hendak menguraikan  akan keterkaitan antara ada dan kesadaran. Kesadaran harus tetap dimengerti sebagai suatu proses berpikir (rasio). Kesadaran menyentuh kehadiran ada. Ketika subjek (aku) menyadari atau berpikir, pada saat yang sama subjek menyadari dirinya sebagai pusat realitas yang mampu memutuskan dan mempertimbangkan cara adanya. Bagi Descartes, kesadaran adalah suatu substansi yang berdiri sendiri[8]. Lebih lanjut Johan Fitche melihat bahwa pengalaman merupakan suatu kesadaran akan objek. Kesadaran selalu dalam relasi antara subjek dan objek. Dalam menggagas hal ini, Fitche lebih menggunakan istilah “Aku yang murni” yang menunjuk kepada aktivitas kesadaran sebagai suatu kegiatan untuk mengenali dorongan subjek dalam dirinya untuk bertindak dan menanggapi objek di luar dirinya[9].
Hegel kemudian melihat kesadaran yang bertitik tolak dari pemikirannya tentang Roh atau Yang Absolut. Hegel lebih mengartikan kesadaran sebagai aku yang berpikir dalam totalitasnya. Itu berarti bahwa kesadaran tidak hanya menyentuh soal aku sebagai subjek yang berpikir tentang akan adanya “aku” tetapi lebih menyentuh dimensi universalitas yakni aku dalam relasi dengan kesadaran yang lain. Gagasan ini sebenarnya menyiratkan akan peran kesadaran dalam seluruh pengenalan akan realitas. Ketika aku berpikir, realitas absolut itu dijelmahkan dalam diriku sehingga aku tidak hanya berpikir tentang diriku sendiri tetapi juga membawa serta kesadaran yang lain. Bagi Penulis, Hegel lebih merangkum atau membuat sintesis dari kedua gagasan sebelumya (Descartes dan Fitche) yang melihat bahwa bukan hanya aku yang sadar tentang diriku maka aku ada (Descartes) tetapi juga aku dalam kaitan dengan kesadaran yang lain yakni relasi subjek dan objek (Fitche). Kesadaran memposisikan subjek ke dalam universalitas dari keberadaannya.
3.2. Tahap-tahap Kesadaran
Bagi Hegel, Proses kesadaran pertama-tama merupakan proses yang bertitik tolak dari kesadaran yang serba terbatas menuju kesadaran yang absolut. Proses kesadaran kemudian dilukiskan dalam tiga tahap yakni kesadaran pada tahap  primitif bergerak menuju kesadaran diri dan pada akhirnya mencapai kesadaran absolut. Pada tahap primitif, kesadaran bertitik tolak dari apa yang disebutnya sebagai “kepastian inderawi” yakni kesadaran akan penginderaan atas objek-objek yang khusus. Rasa kepastian menjadi motivasi dasar untuk mencapai pengetahuan sejati.  Gagasan ini berseberangan dengan pemikiran Descartes yang melihat metode keraguan menjadi motivasi dasar untuk mencapai pengetahuan. Bagi Hegel, tahap primitif menjadi langkah awal untuk mengenal kesadaran diri. Rasa kepastian untuk menginderai objek-objek khusus menjadi langkah awal untuk membangkitkan kesadaran diri.
Pada tahap kesadaran diri, subjek mulai merefleksikan  objek yang lebih luas. Kesadaran diri yang paling rendah disebut hasrat. Hasrat membangkitkan dalam diri manusia kehausan akan pemenuhan dan kebutuhannya sehingga manusia senantiasa mencari dan ingin mengetahui lebih mendalam akan dirinya. Bagi Hegel kesadaran diri yang primitif ini harus dibatasi oleh kesadaran diri yang lain. Tanpa membangun relasi kesadaran diri yang lain, manusia dapat menjadi tersesat atau bahkan tidak mampu mengenal dirinya. Pengenalan akan diri pertama-tama dibangkitkan karena kesadaran akan diri yang lain. Hegel melihat bahwa kesadaran diri yang paling tinggi ialah “sebuah ke-Kita-an” atau kesadaran sosial. Hegel kemudian menjelaskan hal ini dengan sebuah lukisan yang termasyur dengan sebutan “hubungan antara tuan dan budak”[10]. Tuan menyadari keberadaannya karena dia mengenal dan memaksakan kehendaknya kepada budaknya. Hubungan dengan budaknya menyadarkan keberadaan dirinya yang lebih tinggi dari budaknya. Dia dengan bebas memperlakukan budaknya. Dan sebaliknya budak mengenal dirinya oleh karena kepatuhan dan kepuasan dalam melayani tuannya serta mengerjakan apa yang menjadi kehendak tuannya. Lukisan ini mau menggambarkan  bahwa adanya kesadaran diri yang lain menjadi syarat yang hakiki munculnya kesadaran diri manusiawi. Bagi Hegel bahwa relasi dengan yang lain dicapai melalui aneka rintangan. Disatu sisi, kehadiran diri yang lain dapat mengukuhkan eksistensi manusia tetapi di pihak lain kesadaran diri yang lain menghantar kepada kekaburan akan eksistensi seseorang. Terhadap kontradiksi seperti ini maka dibutuhkan kesadaran yang melampui kesadaran diri manusia yakni rasio. Rasio merupakan sintesis antara kesadaran dan kesadaran diri[11].  Pada tahap ini, terjadi pemahaman penuh antara diri sendiri dan kesadaran yang lain sehingga membentuk kesadaran universalitas. Dan bagi Hegel kesadaran itu tidak lain adalah Roh itu sendiri.
IV.             Relevansi dan Kesimpulan
4.1.  Tinjauan Kritis dan Relevensi
Pemikiran Hegel memiliki pengaruh besar dalam seluruh perjalanan filsafat sesudahnya. Sehingga tidak mengherankan jika banyak filsuf disatu pihak sejalan dengan pemikiran Hegel tetapi dilain pihak, pemikirannya menuai banyak kritik. Sebut saja misalnya Karl Marx, Schopenhauer, Kierkegard yang berdiri sebagai oposisi untuk mengkritisi pemikirannya. Bagi Penulis, ketakutan besar akan kesadaran subjek sebagai pusat realitas akan menghantar kepada mentalitas otoriter dan dominasi dalam kehidupan. Bayangkan jika setiap orang mengatakan bahwa aku adalah penguasa dan penentu bagi kehidupan bukankah dengan demikian manusia akan jatuh ke dalam egosentrisme dan fanatisisme akan diri. Manusia ingin menindas dan mengusasi satu terhadap yang lain.
Dari sudut epistemologi, jika poses pembentukan pengetahuan bertitik tolak konservatisme subjektif bukankah pengetahuan itu akan jatuh ke dalam objektivitas yang semu. Artinya, setiap orang memegang kebenaran pengetahuannya masing-masing tanpa mempertimbangkan pengetahuan sebagai hasil temuan atau proses berpikir bersama. Dan berkaitan dengan kesadaran akan Allah, tentunya kebanyakan orang, di satu pihak cenderung secara berlebihan dan buta memiliki pandangan tentang Allah (teisme) tanpa harus mengujinya secara rasional. Rasio membantu untuk mengenal Allah. Di lain pihak adanya golongan ekstrim yang menolak akan adanya Allah (ateisme). Dunia dewasa ini lebih berpikir atau sadar akan ketidakhadiran Allah. Kehadiran Allah tidak ada faedahnya lagi bagi kehidupan manusia.
Lalu apa relevansi konsep pemikiran Hegel bagi manusia zaman ini?Dunia dewasa ini telah dihinggapi oleh kecenderungan nafsu akan jabatan dan kekuasaan. Dalam konteks di Indonesia saat ini dengan adanya gekala terorisme yang mengancam kesatuan bangsa menjadi indikasi nyata akan nafsu kuasa dari golongan Muslim yang ingin menguasai bangsa ini. Atau juga pengalaman pesta demokrasi yang terjadi beberapa bulan terakhir dimana setiap partai yang dibngkus dengan tujuan mulia ingin mendominasi kekuasaan di Negeri. Dalam arane politik musuh bisa menjadi sahabat dan sebaliknya sahabat bisa menjadi musuh. Suatu realitas akan nafsu liar manusia untuk menjadi nomor satu dari sesamanya. Gagasan Hegel tentang kesadaran mau mengkritik dan membangunkan setiap penguasa sambil mengkritik budaya teknologi untuk menyadari akan pentingnya berpikir atau sadar bahwa hidupnya bukan untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk kehidupan banyak orang (universalitas hidup). Berpikir tentang diri dan memetingkan diri sendiri tidak pernah menghantarnya kepada kebahagiaan. Selain itu, pentingnys pengakuan satu akan yang lain terlebih lagi pengakuan akan adanya Allah yang mengatasi segala dan menciptakan segala (sifat metafisis Allah). Manusia dalam perjuangan hidupnya di dunia harus menjadi suatu pencarian yang tak hentinya akan Allah.
Hegel juga mengajak setiap orang untuk menggunakan akal budi secara benar. Produk dari akal budi tidak dimaksudkan untuk menghancurkan manusia. Ilmu pengetahaun yang dihasilkan manusia hendak menghantar manusia pada penghargaan yang tinggi akan nilai-nilai relius, sosial moral dari kehidupan. Tidak dibenarkan bahwa nuklir, bom, dan aneka produk lainnya menjadi sarana untuk menciptakan perdamaian. Perang dan pemberontakan tidak selamanya menyelesaikan masalah. Akal budi hendaknya diarahkan untuk memikirkan jalur perdamaian dunia tanpa kekerasaan dan perang. Melalui dialog dan keterbukaan satu terhadap yang lain, setiap persoalan pasti akan diselesaikan secara akal sehat dan damai.
4.2.  Kesimpulan
Singkatnya pemikiran Hegel tentang konsep kesadaran tetap menjadi aktual untuk selalu dibahas baik dalam tataran nilai-nilai moral dan kehidupan maupun pada tataran epistemologis. Terlepas dari pemikirannya, yang disatu sisi menuai banyak kritik tetapi di pihak lain telah membawa kemajuan ilmu pengetahuan. Berbicara tentang kesadaran berarti berbicara tentang subjek dalam dirinya dan menyadari akan dirinya dalam relasi dengan kesadaran yang lain. Dalam perjalanan filsafat selanjutnya, Hegel telah membuka cakrawala pemikiran akan subjektivitas sebagai prinsip dominan dari pengetahuan. Dalam tataran nilai moral dan sosial, penekankan akan kesadaran telah menelorkan nilai yang menjunjung tinggi solidaritas dan penghargaan satu terhadap yang lain.  

                                          Daftar Pustaka

Hardiman F. Budi, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia: 2004)

Hadiwijoyo, Harun, Sari Sejarah Filsafat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980

Heidegger, Martin, Dialetika Kesadaran perspektif Hegel, Yogyakarta: Ikon, 2002

Lavine, T.Z, Hegel: Revolusi dalam pemikiran, Yogyakarta: Jendela, 2003

Taylor, Charles, Hegel. Cambridge University, 1975






[1] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia: 2004), hal. 172
[2]Di Universitas Jena, Hegel bekerjasama dengan Schelling dalam penyutingan sebuah jurnal. Ia kemudian menerbitkan karya yang termasyur yakni Fenomenologi Roh (Die Phanomenologie des Geistes), di Heidelberg, ia menerbitkan Ensiklopedi Ilmu filsafat dalam ringkasannya dan di Berlin, ia menerbitkan karyanya Garis besar Filsafat Hukum (Grundlinien der Philosophie des Rechts),  Op.cit., hal. 173-174
[3] Bagi Hegel istilah teologi tidak dipahami lepas dari filsafat bahkan bagi Hegel Filsafat adalah sebuah teologi dalam arti menyelidiki Yang absolut.  Dr. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hal. 98

[4] Martin Heidegger, Dialetika Kesadaran perspektif Hegel, (Yogyakarta: Ikon, 2002), hal. 21
[5] Charles Taylor, Hegel,(Cambridge University, 1975), hal. 215
[6] Hegel menguraikan pemikiran tentang konsep ini dalam karyanya “FIlsafat Sejarah”. Gagasan dasarnya hendak mengungkapkan akan proses pemikiran dalam sejarah pemikiran manusia. Hegel mulai meneliti cara berpikir setiap budaya dan ras yang memiliki latar belakang yang berbada-beda tentang realitas ada. Hegel, Filsafat Sejarah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 12-13
[7] Gagasan ini bertolak dari Yang Absolut ada di dalam dirinya dan untuk-dirinya. Dan Yang Absolut selalu dalam kaitannya dengan Rasio. Bdk. Martin Heidegger, Op.Cit, hal. 19
[8] F. Hardiman, Op.cit., 40
[9] Ibid., hal. 162
[10] Charles Taylor, Op.Cit, hal.153-154
[11]F. Budi Hardiman,  Op.Cit., hal. 185

Tidak ada komentar:

Posting Komentar