Jumat, 14 Oktober 2011

Summa Theologica dan Suku Dayak Iban
Relasi Jiwa dan Tubuh



I.                   Pendahuluan
Satu hal yang memberi kepastian dalam seluruh peziarhan hidup manusia ialah bahwa hidup ini dibatasi oleh dua gerbang utama yakni gerbang kelahiran dan gerbang kamatian. Gerbang kelahiran menandai bahwa seseorang masuk dalam kehidupan dunia dan menjadi titik awal dari seluruh pergolakannya sedangkan gerbang kematian menjadi titik akhir yang menutup lebaran hidup manusia di dunia ini. Raga manusia akan membusuk, hancur dan menyatu dengan tanah. Lalu bagaimana posisi dan peran jiwa dalam seluruh ranah kehidupan manusia, khususnya ketika memasuki gerbang kelahiran, menyatu dengan tubuh untuk mengarungi peziarahan hidup? Dan bagaimana nasib jiwa setelah nelewati gerbang kematian?. Bukankah manusia dalam kediriannya terdiri atas tubuh dan jiwa? Sejauh mana jiwa tinggal dan menyatu dalam tubuh yang fana?
Tentunya ada banyak pandangan dan gagasan yang menyoroti topik dan persoalan ini tetapi dalam paper ini, penulis membatasi diri hanya melihat kemungkinan adanya dialog pemahaman antara dua pilar dan sekaligus budaya yang berbeda yakni Thomas Aquinas yang kurang lebih mewakili Gereja dan budaya lokal dari suku Dayak Iban dalam melihat relasi tubuh dan jiwa. Penulis menggambil ulasan Thomas Aquinas dari Summa Theologica, Ia, q. 75, a.1 yang mengulas tentang “apakah jiwa adalah sebuah tubuh (berwujud)? dan didialogkan dengan paham “Mana” menurut masyarakat suku Dayak Iban.
II.                Kodrat Jiwa dalam Summa Theologica Ia, q.75.art.1
Ada tiga keberatan yang muncul dalam Summa Theoligica Ia, q. 75, a. 1 perihal apakah jiwa berwujud atau berdasarkan keberatan yang muncul mempertanyakan apakah Jiwa adalah tubuh?[1] Pertanyaan ini sebenarnya merujuk kepada kedudukan dan prinsip dasar jiwa dalam tubuh manusia. Munculnya keberatan pertama mempersoalkan bahwa jiwa adalah tubuh karena jiwa adalah prinsip penggerak dari tubuh. Dalam arti ini, kesatuan antara jiwa dan tubuh menegaskan keduanya menjadi satu. Sehingga tidak bisa dibedakan lagi antara tubuh dan jiwa. Jiwa dalam tubuh dan tubuh dalan jiwa sehingga dikatakan jiwa dalah tubuh Ada dua sudut pandanga yang secara tegas disoroti, pertama; rupanya sesuatu tidak dapat bergerak kecuali ada yang menggerakan di dalam dirinya. Kedua, jika ada beberapa yang bergerak dan tidak digerakan berarti itu harus menjadi penyebab yang sifatnya kekal dimana pergerakannya tidak dapat berubah. Setiap penggerak yang bergerak adalah tubuh maka jiwa adalah tubuh. Selanjutnya keberatan kedua mengungkapkan bahwa pengetahuan merupakan produk dari suatu keserupaan tetapi tidak ada keserupaan dari tubuh yang tidak berwujud?
Dan Keberatan ketiga menitikberatkan bahwa antara penggerak dan yang digerakan mesti ada kontak. Tetapi kontak hanya terjadi antara tubuh. Karena itu, jiwa yang menggerakan tubuh harus menjadi tubuh.
Sebelum menjawab keberatan ini, Thomas menunjukan prinsip-prinsip dasar dari kodrat jiwa. Dikatakan bahwa jiwa merupakan prinsip pertama dari segala sesuatu yang hidup yang disebutnya baik bernyawa maupun segala sesuatu yang tidak bernyawa[2]. Prinsip segala sesuatu yang hidup lebih menunjuk kepada kodrat jiwa sebagai penggerak. Dalam diri manusia, jiwa memainkan peran penting dalam menstimulus gerak dan tindakan tubuh. Untuk mengerti gagasan Thomas ini, penulis mencoba mengambil sebuah contoh sederhana misalnya muncul pertanyaan; mengapa seseorang berdoa? Tindakan berdoa pertama-tama muncul bukan karena reaksi tubuh semata tetapi karena ada gerakan dalam diri yang membangkitkan kesadaran bahwa saya memerlukan apa yang namanya pertumbuhan rohani serentak menegaskan kebutuhan adanya relasi dengan Tuhan sebagai sumber hidup. Gerakan inilah yang memampukan seseorang melakukan tindakan berdoa. Contoh lain, mengapa seseorang menangis atau menampilkan ekspresi sedih? Tentunya setiap tindakan memiliki alasan tetapi sebenarnya ada gerakan dari dalam yang secara tidak langsung mendorong seseorang menangis meskipun konteks sibab bersifat eksternal seperti kecewa atau karena peristiwa kematian dan sebagainya. Tentu semuanya ini secara tidak langsung menunjukan adanya gerakan dalam diri yang terungkap lewat tindakan tubuh. Atau dengan kata lain, jiwa menggerakan tubuh untuk memberi tanggapan atas situasi yang dialami seseorang. Untuk itulah, Hegel selalu menggunakan istilah Kesadara diri yang merujuk kepada jiwa sebagai intrumen penggerak dalam diri seseorang[3].
            Bagi Thomas Aquinas, setiap gerakan mesti ada potensi dan aktualitasnya[4]. Kembali pada contoh di atas bahwa kesadaran akan pentingnya berdoa mendorong seseorang untuk melakukan tindakan menyalahkan lilin, duduk di depan patung lalu berdoa. Potensi yang dimaksudkan disini ialah gerakan yang kuat dari dalam diri sedangkan tindakan berdoa ialah aktualitasnya. Potensi dan aktualitas muncul karena selalu ada gerakan jiwa adalah penggerak menuju kepada aktualitas tubuh. Sampai pada titik ini, penulis melihat bahwa Thomas, menemukan cela kekeliriuan banyak orang yang beranggapan bahwa jiwa adalah tubuh. Para filsuf kuno juga kurang melihat adanya keterkaitan antara tubuh dan jiwa. Bahkan bagi Plato bahwa tubuh harus dipisahkan dari jiwa karena tubuh lebih diidentikan dengan suatu lahan dosa sedangkan jiwa memiliki nilai kesakralan tersendiri[5]. Tidak mengherankan jika para filsuf kuno lebih melihat keberpisahan antara jiwa dan tubuh. Justru melalui keberatan dan jawaban Thomas ini, penulis justru melihat diskusi yang hebat antara persoalan kebersatuan antara tubuh dan jiwa. Begitu bersatunya tubuh dan jiwa sehingga orang jatuh dalam identifikasi ekstrim kebersatuan antara tubuh dan jiwa
Dalam menjawab keberatan pertama Thomas Aquinas mensikapi bahwa jiwa ada dalam tubuh karena jiwa adalah prinsip penggerak dari tubuh. Dua hal yang menjadi pegangan dalam memahami persoalan ini yakni sesuatu bergerak karena ada yang menggerakan di dalam dirinya. Kiranya analogi ini menjadi alat bantu untuk mengerti pemahaman Thomas di atas. Bahwa sesuatu yang memberi panas karena di dalam dirinya mengandung panas dan memiliki potensi untuk mengeluarkan panas dansebaliknya sesuatu yang tidak memiliki panas tidak akan mengeluarkan panas. Api selalu mengeluarkan panas karena di dalam dirinya mengandung energi panas. Pegangan yang kedua, jiwa adalah penggerak yang bergerak karena dia tinggal dalam tubuh. Dalam arti ini, Thomas ingin menunjukan bahwa efektifitas jiwa terjadi dalam tubuh. Mengutip gagasan Merleu Ponty, perihal konsep tubuh dalam arti ini adanya relasi kodrati timbal balik antara tubuh dan jiwa[6]. Jiwa mengungkapkan identitasnya dalam tubuh demikianpun tubuh mendapat kepenuhannya dalam jiwa. Jantung yang dimiliki seseorang boleh berdetak normal pada saat biasa tetapi seketika akan berubah cepat karena situasi dalam diri timbul karena rasa cemas, kecewa, marah dan sebagainya. Dalam arti ini, penulis tidak membatasi diri, memahami detak jantung sebagai proses aktualiasasi jiwa yang terbatas pada kondisi psikologis atau mental seseorang tetapi penulis hendak menegaskan perpektif Thomas bahwa jiwa memiliki kesatuan dalam relasi kodrati dengan tubuh dalam keutuhannya. Dalam menjawab keberatan kedua, Thomas mau menunjukan bahwa pengetahuan itu muncul karena ada relasi fungsional antara tubuh dan jiwa. Pengetahuan tidak akan muncul sebagai pengetahuan jika jiwa tidak mampu bekerja sama dengan tubuh. Misalnya otak sebagai intrumen berpikir akan menjadi efektif karena ada gerakan dari jiwa. Sesuatu yang diproduk secara empiris lahir dari kerja sama antara jiwa dan relaksasi tubuh. Dan dalam keberatan ketiga, Thomas Aquinas, mengamini bahwa antara penggerakan dan yang digerakan harus ada kontak tetapi Thomas menerangkan lebih jauh bahwa kontak antara keduaya harus memiliki dua kualitas yakni dari sudut “kuantitas” dan “kekuatan” dan hal ini hanya akan terjadi dalam tubuh. Kiranya contoh api masih relevan untuk mengatakan bahwa kobaran api yang semakin besar (kuantitas) akan menentukan energi “kekuatan” panas yang dipancarkannya.
Dari pergulatan Thomas Aquinas, penulis menyoroti satu point penting yang ditunjukan Thomas dalam menjawabi keberatan di atas bahwa jiwa sebagai sumber penggerak dari tubuh memiliki sifat yang kekal. Dalam arti ini bahwa Jiwa tidak dapat dibatasi oleh dua pintu gerbang utama yakni gerbang kelahiran dan gerbang kematian. Jiwa itu ada sebelum seseorang lahir, tinggal dalan tubuh dan kemudian tidak akan hancur dan membusuk bersama tubuh tetapi mencapai kepenuhan paling sempurnah dalam Allah. Untuk itulah jiwa memiliki sifat yang kekal. Pengembaraan jiwa kemudian bagi Thomas menuju kepada Allah. Karena itulah, hidup di dunia akan mencapai kesempurnaan apabila jiwa senantiasa dikuduskan. Proses pengudusan selalu dalam kerjasama dengan sumber penggeraknya yakni jiwa. Pencarian jiwa di dunia bagi Thomas sifatnya sementara dalam kebersatuan dengan tubuh tetapi keutuhan kebersatuan hanya terjadi dalam dan bersama Allah.
III.             Konsep Mana dalam Masyarakat Suku Dayak Iban
Suku Iban merupakan salah satu bagian suku dari suku dayak. Masyrakat suku ini seperti masyarakat dayak pada umumnya memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Hal ini terbukti dengan adanya banyak upacara yang dibuat untuk menghornati Petara, (suatu istilah untuk merujuk pada wujud tertinggi). Bagi mereka, wujud tertinggi bisa menjelma dalam bentuk apapun tetapi penjelmaan wujud tertinggi lebih khusus terjadi melalui Mana. Istilah Mana merujuk kepada sesuatu yang tidak berbentuk tetapi justru menunjukan manifestasi dari wujud tertinggi. Arti harafiah dari Mana ialah ”sakti” yaitu penggerak hidup atau materi jiwa-jiwa[7]. Kata materi jiwa-jiwa tidak hendak menunjukan bahwa jiwa memiliki wujud tertentu atau memiliki bentuk tetapi merujuk pada suatu daya yang luar biasa yang terdapat dalam diri manusia. Selanjutnya dalam arti luas, Mana diartikan sebagai ”kekuatan menyeluruh di dalam tubuh manusia tetapi khusus kepada organ-organ vital tertentu yang bertumbuh dan berkembang”[8]. Misalnya orang Iban beranggapan bahwa rambut memberi kekuatan tertentu bagi setiap orang. Maka tidak  mengherankan bahwa orang Iban baik laki-laki maupun perempaun berambut panjang karena bagi mereka dengan memelihara rambut, seolah-olah mereka menjaga kekuatan dalam diri. Bagi penulis, bukan persoalan memelihara rambut tetapi kekuatan yang mengalir melaluinya. Selain itu, contoh ini mau mengungkapkan bahwa kekuatan dari dalam diri tidak bisa dilukiskan dan diartikan secara kasat mata sehingga upaya simbolisasi seperti rambut kurang lebih menjadi usaha orang Iban dalam mengartikan Mana. Atau misalnya, orang yang selalu beruntung dalam berburu dianggap orang yang sakti atau memiliki kekuatan yang lebih dari orang lain. Kejelihan dan keahlian seseorang dalam berburu merepresentasikan keberadaan Mana dalam diri seseorang.
Dalam arti inilah ”Mana” tidak merujuk kepada organ vital, zat atau benda tertentu tetapi lebih sebagai kekuatan dalam diri yang menggerakan mereka untuk bertindak. Dan kekuatan itu, dipandang ada sejak lahir dan terus mengalir dan tidak tahu kapan akan hilang meskipun tubuh akan hancur dan membusuk. Bagi mereka, kekuatan tersebut menjadi penggerak baik untuk pertumbuhan fisik seseorang maupun kekuatan spiritual yang melindungi seseorang dari pengaruh jahat yang datang dari luar diri. Misalnya saja, pada saat seorang bayi atau siapa saja yang sakit biasanya orang-orang yang dekat dengannya selalu mengucapkan kata-kata  ”Kin Semangat’ yang berarti ”jiwa, kembalilah![9]. seruan ini bukan hanya sekadar diucapkan tetapi orang Iban melihat bahwa pada saat seseorang sakit, jiwa tidak menjadi benteng pertahanan yang kuat bagi tubuh. Sehingga apabila jiwa tidak bekerjasama baik dengan tubuh maka tubuh akan cepat terserang penyakit atau kuasa jahat. Karena itu, orang Iban selalu mengenakan simbol tertentu untuk mengungkapkan kekuatan (jiwa) tersebut seperti mengenakan gelang atau perhiasan pada anak yang sakit. Menurut kepercayaan mereka, apabila kuasa jahat melihat gelang atau perhiasan yang dikenakan anak tersebut, roh jahat akan lari dan tidak mendekati anak tersebut karena anak tersebut memiliki dalam dirinya kekuatan yang luar biasa (mana). Dari gambaran ini terlihat jelas bahwa jiwa yang diartikan sebagai kekuatan dalam diri malaikat dalam tubuh dan mempengaruhi setiap pergerakan hidup manusia.
Konsekuensi lebih lanjut dari gagasan ini bahwa orang dayak Iban sungguh meyakini Mana (jiwa) memiliki keterkaitan dengan Petara (wujud tertinggi) karena apa yang disebut Mana ialah kekuatan dalam diri yang menantang segala hal buruk dan jahat yang membahayakan diri[10]. Hal ini terungkap jelas dalam keseharian,  misalnya dalam arti terntu ada kata-kata atau perbuatan yang tidak boleh diaktualisasikan karena sama sekali bertentangan dengan Mana misalnya kata-kata kutukan atau tindakan membunuh hewan langkah di hutan karena hal tersebut mendatangkan malapetaka bagi diri sendiri. Orang Iban beranggapan bahwa Petara (wujud tertinggi) sebagai pencipta hanya menginginkan adanya kebaikan dalam diri dan Mana menjadi benteng yang kuat dalam mempertahankan pertumbuhan nilai baik dalam diri manusia. Tidak mengherankan misalnya upacara Sampi (upacara mohon berkat untuk membuka ladang) atau upacara adat lainnya selalu dimulai dengan litani yang mengungkapkan doa kepada Petara untuk mendatangkan kebaikan dan kemakmuran bagi masyarakat Iban. Demikianpun, ketika masa-masa memanen tiba, orang Iban juga mengadakan upacara syukuran kepada Petara yang telah menumbuhkan dan mengusir segala hama yang menyerang tanaman sehingga memberikan hasil yang baik bagi mereka. Ungkapan religiusitas ini memberi arti bahwa kekuatan dari Petara tidak berada jauh dari mereka tetapi dekat dan tinggal dalam diri manusia. Kekuatan itu hanya bisa di sadari dan dikembangkan dalam diri.
Dalam relasinya dengan tubuh, masyarakat suku Iban melihat bahwa tubuh memang akan mati dan membusuk tetapi jiwa tidak akan mati. Manusia tetap hidup walaupun telah meninggal. Setelah melewati pintu gerbang kematian, jiwa seseorang meninggalkan begitu saja keterikatan dengan orang-orang di sekitarnya tetapi tetap membangun relasi yang baik dengan saudara-saudaranya. Untuk itulah, bagi mereka meskipun seseorang meninggal, dia tetap dianggap sebagai anggota suku Iban. Hal ini dilatarbelakang oleh kepercayaan bahwa setelah kematian, arwah orang yang meninggalkan akan menetap di hutan dan suatu saat berkat ijinan para dewa dan Petara, jiwa tersebut akan menjelmah baik dalam diri manusia (reingkarnasi), hewan maupun benda-benda mati seperti batu, pohon dan sebagainya. Untuk itulah, jiwa tidak hanya ada dan menyatu dalam tubuh manusia tetapi juga menjelmah pada mahkluk lain. Dalam hal inilah, orang Iban memiliki kepercayaan bahwa alam semesta memiliki jiwanya sendiri karena alam semesta dapat mengatur dan mengembangkan dirinya sendiri. Gejala kebakaran hutan, gempa bumi dan sebagainya menjadi bukti bahwa alam ingin menunjukan kekuatannya. Dalam pengertian inilah, kita dapat melihat bahwa masyarakat suku Iban memiliki penghargaan yang amat tinggi terhadap alam sekitarnya. Aktualisasi jiwa masyarakat Iban tidak hanya terletak bagaimana memelihara Mana dalam diri tetapi juga dalam relasinya dengan jiwa-jiwa dalam alam semesta.
IV.              Analisis Kritis dan Penutup
Dari dua pilar pemahaman tentang relasi tubuh dan jiwa di atas, penulis mencoba melihat kemungkinan akan adanya dialog antara kedua pemahaman ini:
Pertama, harus disadari bahwa jiwa sebagai prinsip pertama penggerak hidup manusia. Sulit untuk menemukan defenisi yang jelas tentang jiwa, bahkan Thomas Aquinas melihatnya bukan hanya sebagai penggerak pertama kehidupan tetapi juga sebagai prinsip munculnya pengetahuan dalam kebersatuannya dengan tubuh. Sehubungan dengan ini, masyarakat suku Iban melihat bahwa jiwa sebagai kekuatan dalam diri yang menghidupkan manusia. Kedua kata yang digunakan diatas baik Thomas maupun Masyarakat Iban dalam menggunakan kata ”kekuatan” sebenarnya memiliki maksud yang sama bahwa hidup manusia harus mengalir dari jiwa. Prinsip penggerak dalam bahasa Thomas Aquinas atau prinsip kekuatan menurut masyarakat Iban serentak mengafirmasi akan betapa pentingnya kebersatuan antara jiwa dan tubuh. Tubuh akan menjadi hidup dan kuat berkat campur tangan jiwa demikianpun sebaliknya jiwa mendapat efektifitas dalam dirinya dan dunia berkat adanya dalam tubuh. Tidak dapat disangkal bahwa eksistensi manusia di dunia tidak pernah dilepaspisahkan dari kebersatuan antara tubuh dan jiwa. Dalam arti yang lebih rohani, jiwa menjadi sarana pengudusan tubuh seseorang. Misalnya saja orang Iban takut untuk mengucapkan kata-kata kutukan atau perbuatan yang jahat karena bagi mereka hal ini mengurangi kualitas Mana. Demikianpun Thomas Aquinas juga menegaskan bahwa jiwa dalam kebersatuan dengan tubuh mengejar apa yang dinamakan keutuhan yang berpuncak pada kesatuan dengan Allah sebagai sumber penggerak utama.
Kedua, jiwa memiliki sifat kekal dan tidak dibatasi oleh ruang dan situasi apapun termaksud dunia tidak mampu membatasi ruang gerak jiwa karena jiwa adalah penggerak yang bergerak. Tubuh akan mati, hancur dan menyatu kembali ke dalam tanah tetapi peziarahan jiwa tidak akan pernah berakhir. Misalnya, bagi orang Iban, orang yang telah meninggal masih tetap membangun relasi yang baik dengan orang yang masih hidup. Sehingga mereka sering memberi makan untuk orang yang telah meninggal. Hal ini sebenarnya hanya menjadi saat dimana mereka mengenangkan orang terdekat yang telah meninggalkan mereka.  Tetapi relasi jiwa dan tubuh di dalam dunia dapat dikatakan sebagai proses penyatuan yang semantara sifatnya tetapi harus diakui bahwa jiwa mengalami kepenuhannya dalam keabadian ketika mengalami kebersatuan dengan Allah. Dengan kata lain, peziarahan hidup manusia di dunia harus mencapai kepenuhannya dalam kebersatuan dengan Allah. Kebersatuan yang dimaksudkan bukan tubuh karena tubuh akan hancur tetapi kebersatuan jiwa yang kekal bersama Allah atau dalam bahasa masyarakat suku Iban mengatakan kebersatuan dengan Petara (Allah sebagai wujud tertinggi). Konsekuensi dari kekekalan jiwa ini, menimbulkan pemahama bahwa proses kebersatuan jiwa dengan tubuh, hanya bersifat sementara dan aktualitas  diri tidak terbatas pada aktualiasasi dangkal semata tetapi bertolak dari potensi jiwa.. Misalnya saja upacara Sampi (upacara permohonan berkat untuk membuka ladang) dalam masyarakat suku Iban mengekspresikan tindakan religiusitas kekekalan jiwa atau berdoa dan melakukan tindakan amal dalam bahasa iman menjadi aktualitas dari sifat kekekalan jiwa.
Ketiga, titik temu lain bahwa di satu sisi, proses dialog ini menghantar dan mencerahkan masyarakat suku Iban sendiri yang beriman Katolik dalam mengelaborasikan nilai religiusitas kultural kedalam nilai religiusitas iman Katolik. Kadang masyarakat suku Iban katolik membuat distingsi antara upacara adat dengan ritus Gerejawi. Sehingga tidak jarang jika pada musim tanam atau panen, mereka memiliki kecenderungan untuk tidak merayakan misa mingguan. Tetapi berdasarkan pengalaman penulis, bentuk inkulturatif dalam liturgi seperti Misa dengan intensi utama syukuran panen atau upacara memberkati benih dan sebagainya menjadi langkah awal dari dialog antara Gereja dengan budaya suku Iban. Kadang upacara Ibadat Sabda di lakukan di rumah Betang atau di ladang sebagai upaya Gereja untuk mendekatkan diri pada dimensi religiusitas kultural budaya setempat. Di sisi lain, Gereja harus selalu terbuka untuk berdialog dengan budaya setempat misalnya melihat tindakan kultis setempat seperti  ritus-ritus adat haruslah dilihat dalam kacamata iman. Upacara Sampi, misalnya sebagai ritus permohonan untuk membuka lahan baru tidak dilihat sebagai tindakan heresis atau penyembahan berhala tetapi sarana atau cara lain untuk mendekatkan diri pada Allah. Untuk itulah upaya inkulturitif senantiasa dibaharui dan menyesuaikan diri dengan situasi masyarakat tertentu sambil mempertahankan kualitas dan identitas masing-masing baik dari pihak Gereja maupun budaya setempat.
Selain memaparkan titik temu antara kedua pemahaman ini, penulis juga menyodorkan beberapa catatan kritis yang sekiranya menjadi celah yang tidak membuka kemungkina bagi terjadinya dialog antara dua pemahaman ini. Pertama, kepercayaan suku Iban dalam batasan tertentu cenderung untuk jatuh kepada ajaran animisme karena rasa religiusitas mereka sangat ditentukan oleh kebergantungan pada alam. Misalnya saja, adanya kepercayaan reinkarnasi jiwa atau anggapan bahwa semua mahkluk baik yang bernyawa maupun tidak memiliki jiwa. Tentunya pemahaman semacam ini, beranggapan bahwa setiap mahkluk hidup dan benda mati memiliki nilai jiwa yang sama padahal proses kebersatuan manusia dengan Allah sebagai tujuan akhir pencarian jiwa memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari ciptaan yang lain. Kedua, relevansi dari tindakan ini sebenarnya berguna bagi tugas pastoral untuk menyadarkan umat suku Iban dalam melihat hidup bahwa hidup tidak sepenuhnya bergantung pada alam tetapi membutuhkan usaha dan kerjakeras dalam merealisasikan dorongan jiwa untuk mengoptimalkan tubuh. Misalnya saja, orang Iban masih menganut gaya hidup berpindah-pindah ladang sehingga hasilnya sangat ditentukan oleh alam. Tetapi sebenarnya sebagai upaya untuk mengaktualisasikan pengetahuan sebagai proses gerakan dari jiwa untuk seperti mempelajari cara bercocok tanam yang baik dan produktif. Akhirnya mentalitas yang terbentuk dalam masyrakat Iban bukan lagi mentalitas kebergantungan pada alam tetapi berpijak pada  kemampuan dan usaha setiap orang.
Dari seluruh rangkaian pemahaman ini, penulis hendak mengatakan bahwa relasi jiwa dan tubuh dalam diri manusia berlangsung sejauh tubuh masih hidup di dunia ini. Keterputusan antara tubuh jiwa dan tubuh terjadi kala tubuh mati. Selain itu, relasi jiwa dan tubuh bisa digambarkan sebagai proses aktualisasi tubuh atau organ tubuh yang bertitik tolak dari jiwa sebagai penggerak atau kekuatan serta menjadi sebab pertama munculnya pengetahuan.











DAFTAR PUSTAKA

Aquinas, Thomas, Summa Theologica, Ia, q.75,a.1

Beong, Dr. Konrad Kebung SVD, Jalan Menuju Pengetahuan yang Benar,            (Yogyakarta: Kanisius, 1997)

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2007)

Kessel, Mgr.L.Van, Adat Istiadat suku Dayak, (sintang; 1975)






[1] S.T.Ia, q. 75, a. 1, ad.1
[2] Ibid. ad.2
[3] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 2007), hal. 182
[4] S.T.Ia, Op. Cit., ad. 3
[5] Dr. Konrad Kebung Beong, SVD, Jalan Menuju Pengetahuan yang Benar, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hal. 53.
[6] S.T.Ia, Op.Cit, ad. 4
[7] Mgr. Van L. Van Kessel, Adat Istiadat Suku Dayak (Sintang, 1975), 36
[8] Ibid., hal.45
[9] Ibid., hal. 38
[10] Ibid., hal. 34
RITUS SU’I UWI MASYARAKAT BUDAYA NGADA DALAM DIALOGNYA DENGAN PEMAHAMAN EKARISTI MENURUT THOMAS AQUINAS
                                    (Apolinaris Dari Bani, SMM)

            Upacara Reba merupakan upacara terbesar dan terakbar yang dirayakan oleh masyarakat suku Ngada pada umumnya. Acara ini biasanya dirayakan secara berturut-turut selama delapan hari. Pada hari-hari ini, masyarakat setempat biasanya tidak banyak melakukan aktivitas kerja seperti pergi ke ladang atau sawah. Bagi mereka saat ini merupakan momentum penting selain sebagai saat berkumpul bersama keluarga juga dilihat sebagai upacara syukuran atas segala hasil panen, perlindungan atas marabahaya dan cobaan serta syukuran atas kesuburan yang dicurahkan oleh “Ema Dewa”(Wujud Tertinggi)..
            Dari seluruh rangkaian upacara itu, ritus Su’i Uwi merupakan ritus pusat dan puncak dari seluruh rangkaian upacara akbar tersebut. Upacara ini ditandai dengan persembahan umbian-umbian (Uwi) yang terbaik kepada dewa tertinggi (Ema dewa). Umbi-umbian (uwi) ini diyakini oleh masyarakat Ngada sebagai suatu jenis makanan yang secara langsung diberikan oleh Dewa Tertinggi kepada nenek moyang mereka. Dari umbian (uwi) inilah, tumbuhlah jenis makanan lain seperti padi, jagung, sayur-sayuran dan sebagainya. Untuk itulah, sebagai persembahan kepada yang ilahi, masyarakat Ngada mempersembahkan Uwi yang terbaik dan tanpa cacat kepada Ema Dewa Untuk itulah, dapat dikatakan bahwa Uwi melambangkan dan sekaligus mengenangkan masyarakat Ngada akan berkat dari Yang Ilahi serta ucapan syukur atas segala karunia yang diterima.
            Pada kesempatan ini, selain melihat makna dari ritus Su’i Uwi sebagai ritus sentral dan puncak dalam upacara Reba ini, penulis juga melihat kemungkinan akan adanya dialog antara ritus Su’I Uwi dengan makna Ekaristi dalam persepktif Thomas Aquinas khususnya menyorotinya dari segi simbolisasi sebagai tanda (saksramen) kehadiran Allah. Dilihat dari aspek  berkat yang berlimpah dari Tuhan, sebagai perjamuan syukur dan permohonan. Kedua ritus ini juga hendak menegegaskan dimensi kesatuan dan keselamatan bagi umat. Keselamatan hendak mengatakan bahwa tujuan akhir hidup manusia terarah kepada kebersatuan dengan Yang Ilahi. Untuk itulah, selama hidup, manusia harus selalu membangun relasi yang baik dengan Yang Ilahi. 

Jumat, 16 September 2011

PEMIKIRAN FILSAFAT CINA MASA KINI

PENDAHULUAN

            Selama abad yang lalu dan abad petengahan, pemikiran filsafat Cina, telah menetapkan dasar yang tepat untuk modernisasi. Perang candu (1840-1842) ketika Cina dikalahkan Inggris, menjadi tanda yang menentukan dalam sejarah pemikiran Cina. Invasi dan penaklukan oleh negara-negara barat selama awal abad ke 19 memaksa para filsuf Cina untuk mengevaluasi pemerintahan dan budaya mereka  lebih mendasar. Pertanyaan para filsuf adalah Apa yang salah dengan tradisi kita sehingga mengijinkan kekuatan bangsa asing untuk menaklukan dan menguasai cina dengan mudah. Tidak ada jawaban yang pasti. Beberapa pemikir menjawab karena tradisi kuno telah menjadi korup dan rusak dan perlu  diperbaiki.Yang lain membantah bahwa sikap dari pandangan yang lampau sebagai solusi dari persoalan kontemporer adalah akar persoalan itu sendiri. Beberapa pemikir mendesak untuk kembali ke barat, meminjam model pemikiran dan praktek yang telah memungkinkan barat menguasai dunia. Bagi pemikir ini, pertanyaan krusial adalah apakah ilmu pengetahuan dan teknologi dari barat dapat dipinjamkan dan dipindahkan ke kebudayaan tradisional Cina atau apakah program yang luas dari westernisasi  dibutuhkan untuk membuat negara cina modern.
            Perdebatan tentang apakah modernisasi Cina dapat didasarkan pada tradisinya sendiri atau apakah  dapat didasarkan pada tradisi barat dirangsang oleh sebuah kritik penetapan kembali pemikiraan tradisional dan keterbukaan untuk mempelajari barat. Bab ini mau menguji gambaran pemikiran pemikir-pemikir yang melanjutkan debat ini dan pengaruh situasi dan arah pemerintahan Cina abad 20.

K’ ang Yu- wei

            K’ang Yu Wei (1858-1927) mungkin lebih diketahui sebagai pemimpin dari reformasi 100 hari di tahun 1898. Tahun 1895, setelah Jepang mengalahkan Cina dalam perang sino-japanese pertama, K’ang mengorganisir intelektual muda dari 18 propinsi untuk memprotes perjanjian damai dengan Jepang. Kaisar mendesak untuk melawan dengan perubahan dari pada menyetujui pemintaan-permintaan Jepang, K’ ang bertemu dengan sukses awal (initial success), keyakinan kaisar mempersoalkan serangkaian edit untuk mencapai reformasi di tahun 1898. Perlawanan kepada reformasi dipimpin oleh permaisuri yang menjanda dengan kebebasan mereka setelah tiga bulan, meskipun demikian  K’ang telah melarikan diri ke kota. Ketika ia kembali di tahun 1912, dia menemukan dirinya memainkan peranan dalam politik konservatif yang bertentangan dengan partai demokrat dari Sun Yat-sen. Tahun 1918, K’ang menganjurkan untuk mengadopsi confusianisme sebagai agama negara, dan tiga tahun kemudian mengambil bagian dalam sebuah percobaan yang gagal untuk mengembalikan kaisar Hsuan-t’ung yang diturunkan dari tahtanya. Meskipun selama hidup ia berusaha untuk menaruh prinsip confusianisme ke dalam tindakan, tetapi akhirnya ia mengakhirinya dengan memperbaiki “jalan-jalan yang tua”, dia mulai sebagai pemikir revolusioner.
            Dasar untuk usaha perubahan K’ang ditetapkan melalui kemajuan sejarah filsafat  dan visi kemanusiaan  sebagai loncatan bersama dengan cinta yang universal, satu bentuk filsafat dari pendidikannya dalam kedua pemikiran yaitu barat dan cina tradisional. Pendidikan awalnya difokuskan pada Confusianisme, Budhisme, dan Taoisme. Akan tetapi pada usia ke 23; ia mulai membaca karangan penulis barat, Ia tertarik dengan ide tentang kemajuan, perubahan dan masyarakat ideal, ide-ide yang membakar ambisinya untuk mengubah masyarakat Cina dan membawanya mencari-cari parallel dalam pemikiran Cina tradisional. Ketika parallel itu tidak ditemukan, ia hanya mengarang-ngarang tentang mereka, seperti ketika ia menginterpretasi kembali teori perputaran Tung-Chung shu’s dari abad ke tiga sebagai sebuah teori perkembangan evolusi sosial, atau ketika dia menghadirkan confusius sebagai pemikir revolusi yang hanya tertarik dengan perubahan yang akan datang.
Teori K’ang tentang perkembangan sejarah, dihadirkan dalam komentarnya tentang Confusius yang mana ia mengklaim bahwa confusius tidak hanya benar menulis sejarah musim semi dan gugur, tetapi ia melakukan itu juga demi kemajuan yang progresif dirinya sendiri atau pandangan reolusioner tentang sejarah. Pelajar-pelajar cina memiliki anggapan tradisional bahwa sejarah adalah karya dari sejarahwan awal. K’ang memberi kesan yang sama bahwa Confusius merupakan pengubah sejarah yang menghubungkan legenda orang bijak Yao dan Shun dari milenium ke tiga. Karena confisius hidup pada  abad pertama, abad yang kacau, maka perlu baginya untuk menciptakan sesuatu yang dapat dijadikan contoh tentang perubahan dari cerita dongeng tentang kesalahan sejarah untuk membawa orang kepada perubahan. Hanya itu yang dapat meraka catat sebagai sesuatu yang khas untuk abad kedua, abad perkembangan damai dan akhirnya sampai abad ke tiga, abad damai yang penuh. K’ang mengatakan:
          Confusius lahir dalam zaman yang kacau. Hubungan sekarang ini diperluas dalam dunia yang luas dan perkembangan penting mengambil tempat di Eropa dan Amerika, dunia telah memasuki zaman berkembangnya damai. Akhirnya, ketika seluruh kelompok dalam dunia yang luas baik besar dan kecil, akan menjadi sama, ketika keberadaan satu bangsa berhenti, ketika perbedaan ras tidak diperpanjang dan ketika kebiasaan disatukan semua akan dijadikan satu dan zaman penuh perdamaian akan tiba. Confisius telah mengetahui semuanya ini sebelumnya.
           
Pandangan Kang tentang Confisius sebagai reformer memberikan kepadanya satu teladan bagi cita-citanya sendiri untuk mengubah masyarakat Cina. Kemajuan pandangannya tentang sejarah, kebijaksanaan seperti yang telah kita lihat, dari confusius menimbulkan keyakinan dan usaha pembaharuan yang akhirnya berhasil. K’ang membutuhkan pandangan filosofis tentang kodrat manusia dan masyarakat sebagai dasar dari perubahan. Dia juga menemukan dalam confusianisme pandangan yang istimewa dari confisius yang diungkapkan oleh Mencius: “benar bahwa manusia tidak dapat menanggung penderitaan dari orang lain, oleh karena itu perbuatanlah yang mengurangi penderitaan mereka”. Selanjutnya manusia mensharekan bahwa pokok cinta itu mulai antara orang tua dan anak, tetapi karena itu merupakan ciri-ciri yang universal dari kodrat manusia, dengan pemeliharaan yang teliti dapat diperluas untuk semua orang. Dalam masa kesatuan yang tinggi, cinta akan diperluas kepada semua ciptaan dengan sebuah kebajikan. Membangun prinsip bahwa pikiran tidak tahan melihat penderitaan orang lain adalah jen. K’ang melanjutkan bahwa kata jen disatu pihak berarti manusia dan di lain pihak berarti banyak. Jen berarti jalan manusia untuk hidup bersama. Jen mengandung arti daya tarik. Jen adalah kekuatan cinta. Jen adalah energi yang sungguh dasyat. Melihat dukungan dari visinya tentang kemajuan humanisasi melalui perubahan dan pemeliharaan, Kang meminta otoritas confusius; berkata:
   Confusius mengadakan rencana dalam tiga abad. Dalam abad Pertama- abad yang kacau, kemanusiaan tidak dapat diperluas lebih jauh dan karena itu orang hanya mengasihi orang tua mereka. Dalam abad berkembangnya damai, kemanusiaan diperluas kepada yang lain karena itu orang mengasihi semua orang. Dalam abad yang penuh damai, semua ciptaan membentuk satu kesatuan karena itu orang mencintai semua ciptaan sama baiknya.

Masa damai yang penuh merupakan inspirasi bagi visi K’ang untuk sebuah dunia impian, sebuah dunia yang ia sebut sebagai kesatuan penuh. Di sini pembagian golongan, bangsa, ras, jenis kelamin akan diatasi sehingga semua manusia merasakan kesatuan dalam sebuah keluarga tunggal. Menggunakan pemikiran Budis, Taoist, dan Barat maupun confusian, K’ang mengungkapkan pikirannya secara berlebihan mengenai visi yang penuh dengan khayalan yang pernah dihasilkan oleh seorang penulis Cina. Hal itu dipandang sebagai sangat radikal sehingga tidak dipublikasikan sampai tahun 1936, delapan tahun sesudah kematian K’ang. Menarik bahwa Mao Tse-tung menemukan visi ini dalam demokrasi komunisme, meskipun dia mengkritik K’ang karena kelemahan untuk melihat jenis perjuangan yang revolusioner diperlukan untuk mencapai masyarakat yang actual.

 

Chang Tung- Sun

            Dalam dekade terakhir dari abad 19 dan  tiga dekade pertama dalam abad 20, filsafat barat menjadi sangat populer di Cina. Para filsuf terkenal seperti Jhon Dewey dan Bertrand Russell diundang untuk memberi kuliah. Yang lainnya seperti Bergson dan Whithead, menjadi sorotan surat kabar dan perkumpulan. Kebanyakan karya filsuf klasik dan modern diterjemahkan ke dalam bahasa cina, menjadi mata kuliah dalam studi yang intensif. Dalam tahun 1920 dan 1930, muncul bahwa bagian filsafat dalam universitas Cina kemungkinan besar menjadi kantor cabang dari departemen filsafat Eropa dan Amerika yang luas. Meskipun ini tidak dijadikan -yang terutama karena bersamaan dengan kebangkitan kembali pemikiran tradisional dalam gambaran yang berbeda dan bentuk kekritisan diri pada satu pihak dan dan pengaruh pemikiran marxist di paihak lain- gelombang yang menarik di barat ini telah mempegaruhi perkembangan China modern.
Chang tung-sun 91886-1962) seorang filsuf yang sebagian besar belajar sendiri, seorang penafsir yang paling berpengaruh tentang pemikiran barat.Wing-tsit Chan mengatakan mengenainya “seorang yang telah memahami sebagian besar pemikiran barat, menetapkan sistem yang paling komprehensif dan terkoordinasi lebih  baik, dan telah mempunyai pengaruh terbesar antara para filsuf cina yang berkiblat ke barat, adalah -dan ini tidak bisa dibantah- Chang Tung-sung.
Pengaruh Chang dan pemahaman yang dalam tentang filsuf-filsuf barat.Dia menerjemahkan banyak teks barat ke dalam bahasa cina, termasuk karya Plato, Kant, dan Bergson. Teori pengetahuannya meskipun lebih terpusat pada Kant, menggambarkan juga pengaruh Russell, Dewey dan C.I. Lewis. Filsafatnya melampaui pemikiran dualis barat modern, yang berpegang pada kesatuan pengetahuan dan aksi dan kesatuan hakekat dan fungsi. Ini memungkinkannya untuk keluar dari problem kantian yang timbul dari pertentangan antara pengetahuan dan kehendak dan antara stuktur ketidakmampuan dari benda-benda dalam diri sendiri dan menentukan struktur dari proses kognitif. Banyak buku karyanya memperinci sintesis uniknya tentang pengetahuan modern dan tradisional ke dalam kodrat dari akal manusia dan proses-proses sosial, yaang dikombinasikan dengan pemahamannya tentang logika dan epistemologi modern.
            Meskipun minat Chang adalah dalam metafisika dan teori pengetahuan, sebagai orang yang dewasa ia menjadi lebih tertarik dalam masyarakat dan budaya. Kombinasi dari minat membawanya menghasilkan sebuah teori pengetahuan yang menekankan peranan minat sosial dan perasaan dalam proses mengetahui. Perubahan ini membawanya terbuka untuk filsafaf Marxist yang dia pertentangkan dengan keras dalam pertengahan tahun1930. Tentu saja, perhatiannya pada konsep sebagai produk dari proses sosial menuntunnya untuk melihat keperluan dari revolusi sosial yang terus berkembang di Cina. Hal ini membawanya untuk bergerak lebih lanjut ke kaum kiri, seperti Pertama kali menjadi anggota partai yang progresif, kemudian partai sosialis negara, dan setelah perang, perkumpulan demokrasi. Di tahun 1949 ia menjadi anggota komite pusat pemerintahan rakyat.
            Menurut Chang, orang menyatakan kebenaran pada sebuah ide ketika ide itu memenuhi kebutuhan sosial fundamental mereka. Ia memberi kesan bahwa orang telah menerima kebenaran tentang eksistensi Allah selama berabad-abad, karena tindakannya memberi mereka rasa kesatuan sosial, kekuatan yang mengatasi sikap yang memecahbelahkan dalam relasi sosial mereka yang konkrit.Dia mengatakan dalam bukunya tahun 1946, pengetahuan dan budaya; ketika masyarakat membutuhkan kekuatan sentripetal yang kuat dari pada kekuatan sentrifugal, beberapa teori atau ide harus muncul untuk menjaga kesatuan orang-orang sehingga mereka merasa bahwa pikiran mereka itu merupakan kebenaran.
Akan tetapi ketika orang-orang membutuhkan sebuah perubahan atau revolusi besar dari pada kebutuhan untuk persatuan atau berkumpul bersama, mereka akan menegaskan kebenaran tentang kebebasan atau individual atau golongan yang alamiah dari masyarakat, gagasan-gagasan yang melekat menggambarkan konflik sosial. Menurut Chang; kebenaran lebih diterima oleh orang-orang yang tidak membayangkan kodrat fisika dam metafisika dalam kenyataan, tetapi hanya diri mereka yang sungguh membutuhkan perasaan sosial. Ia mengatakan:
          Apa kita telah mengatakan tentang keprihatinan masyarakat begitu saja, tetapi untuk menunjukan bagaimana kondisi sosial direfleksikan dalam gagasan sehingga pembaca mungkin menyadari bahwa walaupun gagasan-gagasan yang kelihatan dangkal untuk menjadi  independen dan mewakili hokum-hukum logika, atau struktur alam semesta yang kita katakan, secara actual mereka dengan diam-diam mengontrol kebutuhan sosial. 

Hsiung Shhih-Li

Hsiung Shih-li (1885-1968) memikirkan usaha untuk menemukan dasar bagi modernisasi pemikiran tradisional orang Cina. Karakteristik filsafatnya mungkin sebagai neo-confusian, seorang idealis yang kreatif menginterpretasikan pemikiran neo-confusian, yang lebih banyak dalam semangat Wang Yang Ming. Tetapi juga menggambarkan secara kuat buku tentang perubahan dan sekolah buddisa Yogacara. Sekolah-sekolah modern cenderung memandangnya sebagai filsuf neo-confusian yang asli dalam zamannya, dan karya-karyanya  menjadi sangat berpengaruh dalam studi kontemporer pemikiran tradisional.
Hsiung seperti kaum intelektual muda di cina ketika kembali dari kota , memulai studinya dengan minat yang kuat dalam ilmu pengetahuan dan politik barat, melihat satu jalan yang mungkin untuk modernisasi cina dengan cepat. Karena beberapa alasan, dengan keyakinaannya bahwa cina yang baru harus didasarkan pada budaya tradisional, jika untuk bertahan lama, dia segera mengembalikan perhatiannya untuk penyelidikan tradisional. Awalnya ia belajar filsafat buddhis Yogacara, gambaran ini kembali ke filsafat India sebagai akarnya. Akhirnya ia menemukan dualisme yang melekat dalam sekolah buddhis India yang tidak cocok dengan pendiriannya tentang kesatuan kemanusiaan dan kodrat. Dia lalu kembali mempelajari buku tentang perubahan, yang menekankan tidak hanya kesatuan yang dalam dari kehidupan, tetapi juga proses alamiah dari realitas.
            Ketika dia membelokan perhatianya kepada filsafat kemanusiaan (jen) dalam wang yang ming dia menemukan bahwa konsep wang tentang original mind dan konsep budhis tentang Buddha- kodrat seluruh pemikiran, dikombinasikan memberikan sebuah dasar metafisika yang kokoh untuk kodrat manusia universal ditekankan oleh wang. Penekanan pada transformasi yang kekal dan terus menerus, ditegaskan dalam buku tentang perubahan memampukannya untuk melihat kodrat manusia dalam proses daripada substansi, menyediakan suatu dasar untuk perubahan dialektika kepemimpinan menuju kesempurnaan dan keharmonisan. Dalam jalan ini Hsiung telah mampu untuk memperkembangkan dasar filsafat cina modern dan kemajuan cina berdasarkan pemikiran tradisional yang mana dia mampu hadir sebagai alternatif pemikiran Marxis dan Lenin ditegaskan Mao tse tung.
            Hsiung adalah seorang profesor filsafat pada universitas Peking yang pertama kali menyusun ide-ide kefilsafatan, mengedarkannya sendiri di tahun 1932, dan dipublikaasikan di tahun 1944, sebuah doktrin baru tentang kesadaran. Dalam karya ini, dia memperkembangkan tiga ide sentral dan saling berhubungan. Pertama; kodrat eksistensi, yang Hsiung katakan sebagai substansi original, adalah perubahan yang tetap ; tidak berhenti menghasilkan dan melahirkan kembali karakteristik inti dari realitas. Kedua, dinamika perubahan yang diberikan oleh apa yang dia sebut sebagai closing dan opening,  perubahan terus menerus dari realitas awal. Opening adalah kecenderungan dari realitas untuk mempertahankan dan memelihara diri sendiri. Kecenderungan ini tampak dalam upaya orang-orang untuk menjadi penguasa atas diri mereka sendiri, bebas dari dominasi eksternal. Closing adalah tendensi kearah penemuan integrasi dan manifestasi dalam bentuk-bentuk yang khusus. Ketiga; realitas awal dan manifestasinya, substansi dan fungsi bukan pemisahan yang sebenarnya. Pada akhirnya, mereka dengan opening dan closing melihat perbedaan bentuk yang sederhana dari proses yang sama.
            Mengenai ide pertama, perubahan adalah kodrat dari eksistensi, Hsing mengatakan; jika kita mengatakan bahwa substansi original adalah itu yang dapat berubah atau perubahan yang terus menerus, kita harus menyadari bahwa perubahan yang terus menerus itu adalah berbentuk dan halus dalam sebuah pergerakan. Gerakan ini berlansung terus tanpa berhenti. Dia kuatir untuk membuat jelas realitass terakhir atau substansi orisinil, bukan satu benda partikular tetapi pokok dinamika yang melekat dalam seluruh benda yang memungkinkan mereka terus berubah. Dia menegaskan sekali lagi ketika ia mengatakan: kita harus menyadari bahwa substansi original bukan bentuk fisik maupun karakter, absolut, menyeluruh, murni, kuat dan dahsyat. Dalam keterangan konsep Closing, kecenderungan perubahan langsung mengarah ke suatu hasil baru, mengkonsolidasikan permulaan sampai ada yang diintegrasikan dalam perbuatan. Hsiung meneruskan:
   Bagaimanapun fungsi substansi orisinil menjadi banyak manifestasi, tak dapat dielakan bahwa ada yang kita sebut closing, tidak dapat dielakan bahwa itulah yang kita sebut closing. Closing ini mempunyai kecenderungan untuk menjadi  bentuk fisik dan bahan konkrit. Dengan kata lain, melalui proses konkrit individual closing, benda-benda menghasilkan bentuk fisik mereka. Seperti perubahan yang terus-menerus menunjukan dirinya sabagai sebuah kecenderungan untuk close, hal ini hampir harus  dimaterialisasi secara sempurna seolah-olah dia tidak akan memelihara dirinya sendiri. yang lengkap jika tidak memelihara kodratnya sendiri.
Bagaimanapun Closing, adalah satu aspek sederhana dari proses transformasi yang luas. Ketika seluruh proses ini diperinci secara analisa, kekuatan closing dapat dilihat dengan lebih jelas. Tetapi analisis ini juga menampakan sebuah kekuatan yang berlawanan, yang bekerja untuk membuka realitas kepada kodrat awalnya. Hsiung lebih lanjut mengatakan:
Bagaimanapun ketika sebuah tendensi untuk menutup yang timbul,  serentak timbul kecenderungan yang lain. Ia membangkitkan transformasi  yang terus menerus  sebagai dasar. Ia teguh, dapat berdiri sendiri, dan tidak akan merubah dirinya pada sebuah proses closing. Ini mau mengatakan tendensi ini bekerja di tengah closing, tetapi tetap merupakan dirinya sendiri, menunjukan keteguhan absolutnya dan menyebabkan proses closing mengikuti cara-cara kerjanya. Tendensi ini- kuat, erat dan bukan dimeterialisasi- disebut opening.
           
Opening dan closing seperti yin dan yang dalam pemikiran tradisional, menghadirkan fungsi dinamis realitas, polarisasi-polarisasi aktif transformasi yang tanpa berhenti. Kecendrungan-kecenderungan  ini bertanggung jawab atas kedatangan yang simultan  dan  penyebaran eksistensi yang memberi karakter hidup atas segala sesuatu yang ada. Ketika hidup dipadukan dengan aktivitas perubahan dari closing dan opening, ini menyeluruh dan kuat,  sebaliknya ini terbagi-bagi dan sifatnya lemah. Jadi Untuk menemukan jalan kemajuan manusia dan kemajuan sosial, adalah perlu untuk memahami proses opening dan closing yang mengontrol fungsi seluruh eksistensi.
            Sesudah perang , dengan pembentukan partai republik, Hsiung mengundurkan diri ke Shanghai, dia terus berpikir dan menulis selama dua dekade. Di sini dia menghasilkan karya Neo-confusian secara jelas yang dipublikasikan dalam tahun 1956 sebagai sebuah penyelidikan dalam confusianisme, dan juga perkembangan filsafat perubahan, dipublikasikan pada tahun 1961, sebuah karya yang dianggap sebagai pengganti doktrin baru tetang kesadaran tunggal.
Dalam penyelidikannya tentang confusianisme, Hsiung menekankan kesatuan dari substansi dan fungsi. Penjelasan lebih lanjut bahwa substansi berarti apa yang bermula dari realitas terakhir, dan bahwa fungsi berarti operasi universal dari realitas terakhir, Hsiung lebih lanjut menjelaskan bagaimana mereka itu identik namun berbeda. Ia memberikan analogi tentang air dan ombak yang menyusun laut, menunjukan bahwa air itu satu dan ombak itu banyak. Ombak, disamakan dengan fungsi dari air, dapat dibedakan satu dengan yang lain dan dari kedalaman yang sangat dari laut. Namun semuanya hanya air, substansi yang asli. Dengan analogi dia, dia mengatakan
   Karena kita mengatakan bahwa operasi yang umum dari substansi yang asli adalah fungsi tertinggi. Melalui fungsi berarti mengpat substansi ke dalam fungsi, dan  substansi berarti karakter yang sejati dari fungsi. Karena tiu substansi dan fungsi adalah sesuatu yang mendasar. Akan tetapi walaupun mereka satu namun dalam analisis terakhir mereka tidak dapat dibedakan, dalam operasi umum bentuk fisikmyang terukur, mengingat substansi yang asli dari operasi yang asli bukan bentuk fisik tetapi lebih tersembunyi dan tidak kentara dan sulit untuk diketahui.
            Dalam bagian Kedua dari bukunya, Hsiung membangun sebuah dialog untuk mengklarifikasi posisinya pada kesatuan substansi dan fungsi. Penanya, menyetujui bahwa ajaran sentral dari buku tentang perkembangan substansi pada saat yang sama adalah fungsi dan fungsi pada saat yang sama adalah substansi. Lebih lanjut ia bertanya, apakah ini berarti “ten thousand things” (semua eksistensi yang konkrit) adalah fungsi sederhana dari substansi yang asli? Hsiung menjawab bahwa semua eksistensi yang konkrit dan fungsi yang tertinggi itu tidak dapat dipisahkan. Dia lebih jauh mengatakan bahwa jika produksi berarti sesuatu yang baru dan berbeda masuk ke dalam eksistensi, Ten thousand things tidak dapat dipikirkan sebagai hasil, karena mereka tidak dapat dipisahkan dari fungsi tertinggi dari substansi yang asli. Menuntut bahwa benda dan fungsi pada akhirnya tidak berbeda, dia melanjutkan ; dengan meletakan perbedaan, kodrat diri yang konkrit dari ten thousand things terdiri atas fungsi tertinggi yang bekerja terus menerus dalam cara yang sangat hidup dan dinamis. Dapatkah mereka dan fungsi tertinggi dapat dikatakan menjadi satu?
            Penanya bermaksud menegaskan bahwa doktrin Hsiung ini jelas berbeda dari hal-hal konkrit; pada akhirnya segala-galanya adalah sama, fungsi tertinggi dari substansi yang asli adalah satu, maka ten thousand things akan menyingkirkan seluruh diri mereka sendiri. Mengapa demikian? Alasannya adalah jika ten thousand things hanya meniru perubahan bagaimana mereka dapat memiliki diri yang independen?
            Jawaban Hsiung yang benar, menuntut bahwa proses perkembangan yang teru menerus kita sebut ten thousand things bukan di luar atau terpisah dari fungsi tertinggi dari substansi yang asli, tetapi membangun fingsi universal dari substansi. Fungsi tertinggi bukan sebuah tambahan pada fungsi dari hal-hal yang konkrit. Kembali kepada analogi ombak dan air laut Hsiung mengatakan:
               Banyak ombak berbentuk. Apa yang kamu pikirkan bahwa air di luar ombak? Atau contoh yang lain, sebuah aliran air yang deras yang pecah dengan keras, dengan ribuan dari pukulan tetesan-tetesan putih dan jatuh. Apa yang kamu  pikirkan bahwa mereka diluar aliran air yang deras? Silahkan berpikir kembali. Ten thousand things menyatakan diri mereka dan terlihat menjadi satu obyek individu, tetapi kodrat diri mereka terdiri dari fungsi tertinggi yang berhubungan tanpa berhenti.

Aplikasi teori perubahan ini yang menuntut identitas  substansi dan fungsi, untuk mengkonkritisasikan keadaan manusia dan sosial, Hisung menyokong masyarakat yang terorganisir secara umum.Dia menekankan implikasi dari penegasan confusian pada perkembangan garis-garis kebijaksanaan tanpa dinasti yakni untuk mengatasi kecenderungan  egosentris kumpulan individu dan kelompok  terasing satu sama lain, dan untuk membangun praktek memperlakukan semuanya secara sama, fungsi kemanusiaan seseorang dibangun sebagai petunjuk. Prinsip confusian: “memperlakukan semua ayah sebagai  ayahnya sendiri  dan memperlakukan semua anak sebagai anaknya sendiri”, jika ditampilkan dalam praktek, akan menghapus golongan yang berkuasa dan golongan yang rendah dan menggantikannya dengan dasar umum yang berperikemanusiaan. Karena tuntutan hokum Hsiung(li) bagaiman pun, pokok dialektik dari yang umum ini berbeda dengan dialektika materialistic Marxist. Filsafat social Hsiung sama seperti confusius dan Wang Yang-ming  berakar kuat dalam kemanusiaan(jen). Kunci terakhir untuk kemajuan social dan perkembangn manusia bukan perubahan ekonomi tetapi perkembangan moral. Menurut Hsiung hanya dengan perkembangan inti kemanusiaan seseorang dan ungkapan luarnya dapat terjadi perubahan ekonomi dan politik.  

Fung Yu-Lan

Fung Yu-lan dikenal dengan baik di barat karena dua volume klasik Sejarah filsafat cina dan Semangat filsafat cina. Dia adalah seorang figur internasional yang tamat dari universitas Peking dan Columbia, dan mengajar pada universitas di Hawai dan sebagaiman di Cina. Sesudah mendirikan partai republik , Fung seorang professor pada universitas peking, dengan sangat antusias ikut terlibat dalam usaha maoist untuk mengubah politik dan ideologi, dalam kirtik diri yang sangat menarik untuk membasmi ide borjuisnya sendiri dan untuk menampilkan contoh yang baik  untuk kaum intelektual cina yang lain. Akhirnya dia menjadi pendukung dari pemikiran Mao Tse tung dan pengkritik cina terkenal dari confusius selama gerakan anti confusian pada awal 1970. Pada waktu ini, ia adalah seorang consultant intelektual untuk isterinya Mao, Chiang Ch’ing dan temanya, kelompok yang kemudian hadir untuk disebut “empat geng”. Secara singkat setelah kematian Mao tahun 1976, Chiang dan kelompoknya jatuh dalam kekuasaan dan dipermalukan di depan umum, sesuatu yang memalukan yang dialami Fung, penghinaan terakhir membawanya kepada karir kefilsafatan yang briliant

            Perkembangan kefilsafatan Fung dapat ditemukan melalui serangkaian tahap-tahap, dari pemikiran tradisional ke pemikiran Maoist radikal. Dalam tahap awali yang berakhir dengan kembalinya dia ke cina sesudah memperoleh Ph.D.nya dari kolumbia tahun 1923, Fung menaruh perhatian pada filsafat confusian dan sibuk dalam studi yang serius tentang aliran ini dalam usaha untuk menemukan rumusan filsafat modern dari pengetahuan dan kebijaksanaan dari tradisi confusian.
            Hasil yang diproleh dari tahap awal ditemukan tulisaan awalnya, yang menjadi ciri awal dari tahap kedua. Di sini dia mencoba menengahi pertentangan antara mereka yang menolak tradisi yang menyokong pengetahuan modern dan mereka yang menganjurkan bahwa dasar metafisika tradisional dibutuhkan untuk mengadopsi pengetahuan dan teknologi dari barat. Pendekataan fung  menggunakan filsafat pragmatik yang telah dia pelajari di Kolombia, menganjurkan bahwa kebenaran ilmiah dan moralitas manusia keduanya ditarik dan diuji dari tindakan. Bukunya philosophy of life (filsafat kehidupan) adalah ekspresi perkembangan tahap kedua ini, di mana dia memperkembangkan sebuah perbandingan perspektif filsafat timur dan barat.
            Dalam tahap ketiga; Fung kembali ke studi global tentang filsafat cina, menghasilkan dua volume buku tentang sejarah filsafat cina yang diakui secara luas. Sementara itu karya ini sebagian besar adalah sebuah interpretasi tentang filsafat cina yang utama, karya ini dipandang sebagai karya modern sepanjang ia menempatkan pengaruh sosial pada perkembangan ide metafisika. Meskipun belakangan, Fung menolak karya ini karena tidak cukup merefleksikan pengaruh kondisi material pada pemikiran tradisional, karya ini terus dipengruhi oleh ilmu pengetahuan yang mendalam.
Tingkat keempat, perkembangan pemikiran Fung ditunjukan dengan sebuah  sistem filsafat orisinil yang tinggi dalam sebuah seri dari tujuh bukunya di mana pembicaraan mengenai filsafat rasional yang baru menjadi pusat. Menurut profesor Wing tsit- Chan, sistem filsafat ini adalah yang paling orisinil dan paling banyak dibicarakan pada abad ini.
            Dengan mengambil filsafat Ch’eng bersaudara dan chu his sebagai dasarnya, Fung merekonstruksi filsafat neo-confusian secara fundamental dan meyakinkan. Dengan pembedaan yang tajam antara filsafat dan pengetahuan: dia membentuk  konsep filsafatnya yang sungguh-sungguh  logis atau formal, tidak memiliki muatan khusus atau keadaan eksistensi material, sebaliknya dalam pengetahuan berhubungan dengan eksistensi material yang memepelajari struktur-struktur yang terkandung dalam sesuatu. Karena ada hal-hal yang mana dalam hal-hal itu terdapat baik struktur atau prinsip formal maupun muatan khusus. Filsafat itu berhubungan dengan prinsip-prinsip atau logika alamiah segala sesuatu, sedangkan ilmu pengetahuan berhubungan dengan aksistensi material aktul dari suatu hal. Sehngga filsafat menyediakan basis ilmu pengetahuan tetapi ilmu pengetahuan dibutuhkan untuk menyediakan pengetahuan tentang dunia actual. 
            Untuk menjelaskan perkembangan interaksi antara kekuatan prinsipil dan kekuatan material, Fung mengambil konsep tao, sebagai jalan dinamis dari segala sesuatu, Tao adalah sungguh-sungguh proses yang melaluinya  terkandung prinsip dalam hal-hal aktual melalui interaksinya dengan kekuatan meteril. Fung menggunakan konsep ini untuk menjelaskan jagat raya sebagai proses,perubahan dan pembaharuan yang terus-menerus dan tak berkesudahan. Diinspirasikan oleh book of changes dan filsafat proses model barat , menekankan bahwa perubahan merupakan karakter esensial dari realitas, jadi yang ditekankan fung itu proses menjadi bukan ada mempertegas perubahan sebagai ciri-ciri yang esensial dari realitas, Fung mengatakan menjadi  dari pada     ada sebagai karakter dasar dari realitas. Tetapi Fung tidak mengabaikan ada/ yang ada. Fung mengakui bahwa gerak terus menerus dari Tao adalah tanggung jawab untuk terus menghasilkan dan reproduksi dari segala sesuatu, dia menggunakan konsep Great Whole untuk memaksudakan totalitas segala sesuatu. Namun totalitas ini, juga tidak statis maupun pluralitas belaka. Ini adalah dinamika interpenitrasi( penyusupan) di mana segala sesuatu identik. Di sini Fung menggabungkan pengetahuan budhist karena ada saling ketergantungan antara segala sesuatu, seluruh alam semesta hadir secara khusus dalam sesuatu yang lain, dan bukan sesuatu yang khusus ada kecuali dalam relasi dengan yang lain.  Untuk menjelaskan relasi antara Tao dan Great Whole, Fung memikirkan pertanyaan : mengapa Tao memiliki hubungan dengan   Great Whole atau alam semesta ? Jawaban kita adalah bahwa ketika kita mengatakan tentang Great Whole atau alam semesta, kita berbicara dari aspek keheningan segala sesuatu  sebaliknya ketika kita berbicara tentang Tao, kita berbicara dari aspek aktivitas dari segala sesuatu.
The interpenetration kekuatan dasar dan material dan identitas pokok Tao dan Great Whole memberikan dasar hidup yang ideal, realisasi dari sageliness dan kingliness yang fung perjuangkan dalam The spirit of Chinese Philosophy. Dia menekankannya di sini karena Great Whole ada dalam  proses segala sesuatu yang konkrit dan aktual dalam hidup setiap hari, Tujuaan hidup harus dicapai secara penuh dalam praktek setiap hari. Kesempurnaan tidak dapat dicapai  terlepas dari atau terbebas dari pengalaman aktual di dunia. Dunia ini dan semua yang ada di dalamnya harus diubah melalui praktek yang tetap dalam hidup .
            Bersamaan dengan pendirian partai republik tahun 1948, kemajuan filsafat fung memasuki tahap yang kelima dari perkembangan kefilsafatannya. Penting untuk belajar secara serius Marxisme – Lennin dan pemikiran Mao tse tung, dia mencari sebuah jalan yang sulit untuk perubahan masyarakat cina yakni filsafat. Tujuannya sekarang telah melewati idealisme dan ide abstrak dari karya yang pertama supaya dapat memperbaiki hidup orang-orang. Dalam peralihan ini Fung memisahkan antara arti abstrak dan konkrit dari  ide-ide kefilsafatan, menekankan perbaikan konkrit dalam hidup orang-orang, tetapi juga menuntut bahwa tanpa mengingat arti abstrak, seseorang tidak dapat melihat gambaran yang lengkap.
            Dalam konferensi besar orang-orang cina tentang filsaafat, Fung mengatakan;
Pada masa lalu saya memiliki perhatian besar pada arti abstrak dari beberapa alasan kefilsafatan. Tentu saja ini adalah kesalahan. Hanya dalam beberapa tahun terakhir kita memiliki perhatian pada arti konkrit, tetapi arti abstrak juga diberi pertimbangan. Menyia-nyiakan arti abstrak berarti seseorang tidak menangkap gambaran yang penuh.
Akhirnya, dalam semangat saling mengkritik diri yang menguasai konferensi, fung menambahkan;
          Apa yang kita miliki untuk meneruskan pokok pemikiran materialistik dalam sejarah filsafat cina, tipe pemikiran    orang-orang , ilmiah dan progresif. Saya tidak mempunyai sebutan khusus karena saya pikir ini adalah soal yang biasa. Ini menunjukan  saya percaya akan kontinuitas sesuatu yang abstrak entah itu sesuatu yang idealistis atau materialistis.
Fung menunjukan dengan jelas usaha untuk merevisi pemikirannya sendiri. Melalui saling mengkritik diri, dia mamapu melihat kategori-kategori Pertama dan kebiasaan pemikiran yang masih dominan. Hal ini membawanya manambahkan hal lain yaitu “pengakuan” pernyataan dari ucapan pertamanya: Apa yang saya katakan dalam artikelku tidak lengkap dan penyajian saya tentang problem ini juga tidak tepat.
Dalam praktik kritik dirinya, Fung menulis kembali sejarah filsafat Cinanya. Tetapi ketika mulai revolusi kebudayaan tahun 1966, Dia memutuskan bahwa buku pertama dari dua  bukunya Sejarah baru filsafat cina masih ditulis dari prespektif yang sangat idealistik dan abstrak. Fung menulis kembali seluruh sejarah dari prespektif maoist-marxist, ia menggunakan ideologi perubahan kebudayaan sebagai pedoman, sebuah proyek yang dia kerjakan sebelum kematiannya tahun 1990. Antara tahun 1982-1992, versi baru dari sejarah filsafat cina dipublikasikan dalam enam volume. Namun, pada permulaan abad 21 karya fung ini tidak lagi menarik, walaupun demikian beberapa sejarahwan tergugah dengan bagian akhir hidupnya.

Mao Tse-Tung
            Pemikiran Mao tse tung menguasai filsafat kontemporer cina sampai tahun 1978 dan terus penting sampai hari ini. Mao sangat dipengaruhi oleh marxs daan Lennin,  filsafatnya seringkali tidak sejalan dengan prinsip dan pendirian dari filsafat cina tradisional. Sesudah kematiannya, Mao masih diterima sebagai pembebas terbesar meskipun masih dicela sebagai penyebab kekerasan, penderitaan dan kematian sepuluh juta orang cina melalui metode revolusinya yang kejam. Juga, sebagai orang cina yang mengambil sikap damai kepada kedua pemikiran yakni barat dan tradisional, Filsafat Mao menghadapi kritik yang luas. Meskipun dikritik pemikiran mao terus digunakan sebagai petunjuk untuk meinterpretasi pemikiran Marxist dan tradisional tentang pengalaman harmoni.
Karya filsafat mao yang terpenting mungkin nasihatnya yang disampaikan taahun 1937, berjudul Praktik. Dalam nasehat ini dia menjelaskan relasi antara teori dan praktek, menunjukan bagaimana teori dalam praktek dan kembali ke praktek sebagai dasar kebenaran dan penyelesaian. Jalan ini mempengaruhi relasi antara teori dan praktek,  praktik Mao berusaha mendamaikan perbedaan diantara para pemimpin yang mengusahakan revolusi.
            Untuk melihat tujuan praktis yang disyaratkan oleh Teori Mao dari relasi antara praktek dan teori, yang sangat berguna untuk mengingat pidatonya memperingaati hari ulang tahun partai komunis di cina. Dalam pidatonya Mao menguraikan tujuan praktis komunis di cina sebagai berikut: Ketika golongan-golongan hilang, semua alat perjuangan kelas, partai dan keadaan mesin perlengkapannya akan kehilangaan fungsi, tidak dipelukan lagi, oleh karena itu sejarah misi mereka akan berangsur-angsur memburuk dan berakhir dan masyarakat akan bergerak ke tingkat yang lebih tinggi- ungkapan Mao mengenai kondisi manusia-. Tentunya pertimbangan perbaikan situasi manusia selalu menjadi yang terpenting diantara para pemikir cina. Harapan Confucian dan neo-confusian adalah bahwa ketika jen berlaku keselarasan tertinggi akan dicapai. Mao melihat tujuan dari praktek-praktek komunisme untuk mencapai harmoni yang hebat, yang jelas dari ucapannya bahwa fungsi partai itu bekerja keras untuk menciptakan kondisi dalam mana kelas-kelas, penguasa dan  partai politik akan mati, di luar dari kodratnya. Dan umat manusia akan masuk ke dalam dunia yang penuh dengan keharmonisan
            Untuk mencapai keharmonisan tertinggi, Mao mempertimbangkan bahwa perlu untuk memahami situasi, mengatur pertumbuhan dan perkembangan manusia seluruhnya dan dunia sehingga proses pertumbuhan dan perkembangan secara alamiah dapat dibantu untuk mencapai tujuan akhir mereka. Mungkin prinsip yang paling penting dipahami dalam hubungaan dengan ini adalah bahwa” semua proses memiliki awal dan akhir; semua proses mengubah diri mereka sendiri menjadi lawan mereka. Stabilitas seluruh proses adalah relatif, tetapi saling menyatakan dalam perubahan dari satu proses ke proses lain adalah absolut. Sudah pasti prinsip ini adalah keistimewaan pokok dari dialektika marxist, tetapi juga mengulangi prinsip tao bahwa pembalikan adalah jalan dari tao dan bahwa seluruh makluk memiliki lawan. Hal ini juga sebagai penjelasan baru neo-confusian dari sumber dan struktur semua makhluk yang adalah pernyataan awal daalam konsep Chou Tun-I’s untuk yin dan yang. Mao sungguh-sungguh sadar bahwa he is here well within the mainstream dari pemikiran cina tradisional, dalam paragraf yang sama dia berkata: kita orang Cina sering berkata: hal-hal yang berlawanan satu sama lain juga melengkapi satu sama lain.
            Menurut dialektika relasi antara pengetahuan dan tindakan yang dihadirkan mao dalam ceramah “on practice”, pengetahuan mulai dengan praktik, bergerak ke tingkat teori dan dilengkapi dalam tindakan. Teori mewakili sebagian dari pengetahuan. Secara sungguh-sungguh prinsip dari dialektika kodrati adalah satu pembalikan oposisi dan membantu dialektika dari beberapa hal yang particular mengenai prinsip ini. Mao dikenal dengan oposisi dari praktek-praktek dan teori. Mengenai dirinya tentu dengan keberhasilan demokrasi sosial dari orang-orang republik. Proses ini seperti proses yang lain, hasilnya menurut kedalaman dialektika untuk kepentingan dari praktek-praktek. Mao juga mengerti relasi dialektika antara praktek dan teori, untuk ini ada dua oposisi mendasar dalam program komunis.
Problem _- relasi antara pengetahuan dan tindakan hampir selalu menjadi pusat perhatian dari para filsuf Cina. Solusi Mao untuk problem ini sesuai denga solusi tradisional, karena dia mempertahankan bahwa pengetahuan dan tindakan adalah satu kesatuan bentuk. Teori pengetahuannya mempertahankan bahwa pengetahuan manusia tidak dapat dipisahkan sedikit pun dari praktik, dan tidak mau mengakui semua kesalahan teori yang menyangkal pentingnya praktik atau memisahkan pengetahuan dari praktik. Prinsipnya “jika manusia ingin mencapai kesuksesan dalam karyanya, maka untuk mencapai hasil yang diharapkan  dia harus membuat pemikirannya sesuai dengan hukum-hukum alam yang objektif disekitarnya, jika tidak sesuai , mereka akan gagal dalam praktek.
Dalam usaha untuk menunjukan hal yang masuk akal dari klaim bahwa praktik sosial hanya sebuah kriteria kebenaran, Mao menentang bahwa semua pengetahuan itu bermula dari praktik, dalam perubahan aktivitas dunia. “Jika engkau ingin mengetahui citarasa buahnya engkau harus mengubah buahnya dan memakannya sendiri”. Ini tahap pertama dalam memperoleh pengetahuan, tahap persepsi. Tahap berikutnya tercapai dalam penyusunan kembali atau rekonstruksi; ini memiliki tahap konsepsi, pendapat, dan kesimpulan. Gambaran, pendapat dan kesimpulan merupakan pikiran, hanya sebagai lawan pengetahuan perseptual dan demikian juga mempersiapkan atau memperhatikan teori-teori mengenai segala sesuatu. Tetapi kemahiran pikiran tidak berhenti di sini. Hanya sebagai pengetahuan perseptuallah yang menuntun pada pengetahuan rasional dan itu tidak lengkap tanpa pengetahuan perceptual, sehingga pengetahuan rasional tetap tidak lengkap diterapkan dalam praktek. Sebagaiman Mao menjelaskan” apakah filsafat Marxist  memandang sebagai masalah yang terpenting tidak terletak dalam pemahaman hukum-hukum alam yang objektif, dengan cara demikian mampu menjelaskannya, namun dalam mengubah dunia secara objektif dengan mengaplikasikan pengetahuan hukum-hukumnya yang objektif.
            Apa yang Mao maksudkan itu adalah pengetahuan itu tidak bermasalah, namun kata-katanya tak bermakna dan ide-ide hampa sampai pengetahuan itu terwujud dalam pengalaman. Hanya dalam perubahan pribadi dan perubahan realitas yang bertemu dengan aktivitas praktis menjadi pengetahuan yang real. Teori datang dari praktek dan dari teori berbalik ke praktek. Tetapi teori dan praktek bukan dua hal yang berbeda. Keduanya bertentangan dalam satu proses- berada di dunia. Perkembangan pengetahuan bergandengan  secara dialektis dengan perkembangan praktik. Menurut Mao perkembangan demokrasi sosialis di Cina harus menyatukan dua hal ini yaitu praktek dan teori. Dia mendesak bahwa” perkembangan segala sesuatu seharusnya dipandang sebagai perkembangan pribadi yang internal dan perlu, sesautu dalam gerakannya dan segala yang disekitarnya seharusnya dilihat sebagai saling berhubungan dan berinteraksi satu sama lain. Sebab dasar perkembangan segala sesuatu tidak terletak di luar diri tetapi di dalam diri, dalam pertentangan diri mereka.     
Ini sungguh sama dengan teori Neo-confusian bahwa individu berkembang dan bertumbuh melalui interaksi dari pertentangan prinsip(li) dan Benda material(ch’I), karena alam semesta adalah satu struktur kosmik yang dinamis dari Li dan Ch’i. Menurut confusius alam semesta adalah satu keseluruhan-sebagai yang tertinggi- sebuah persatuan dari segala sesuatu yang dalamnya manusia berpartisipasi, bahwa fungsi-fungsi melalui gerakan pertentangan Yin dan Yang, menurut neo-confusianisme. Dengan demikian  pokok yang tertinggi seluruhnya, dikenal melalui proses konkrit, dan proses konkrit dikenal melalui pemahaman tempat mereka dalam pola keseluruhan. Gambaran Mao mengenai bagaimana segala sesuatu diketahui adalah sama. Ia berkata,” secara absolut proses perkembangan total dari alam semesta, perkembangan dari masing-masing proses konkrit adalah relatif; karena itu dalam urutan kebenaran yang besar pengetahuan akan proses konkrit manusia dalam tahap yang diberikan dari perkembangan hanyalah benar secara relatif. Total hitungan kebenaran relatif yang tak terhitung merupakan kebenaran absolut.
Oleh karena itu ia akan menampakan bahwa meskipun penggunaan terminologi Marxist, mao membawanya lebih cepat pendirian tradisional Cina yang melihat kesatuan dari segala sesuatu yang utama dan memandang pengetahuan sebagai open-ended( pembuka-penutup), proses lanjutan tidak dapat terpisahkan dari praktik. Oleh karena filsafatnya juga menekankan keseragaman sosial melalui kemajuan dalam hidup harian.
POST- MAO THOUGHT
            Periode filsafat sesudah Mao mulai tahun 1978, dua tahun sesudah kematian Mao-Tse Tung. Tanda berakhirnya dominasi pemikiran marxist dan Maoist selama tiga dekade, era baru  ini mulaai dengan membanjirnya aktivitas intelektual yang terarah pada penentuan satu dasar bentuk golongan sosial dan nilai-nilaai manusia. Aliran ini merasuk hampir seluruh pemandangan pemikiran intelektual Cina, mempengaruhi perkembangan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Revolusi intelektual ini adalah sebuah revolusi yang esensial dalam pemikiran filsafat.
Pertanyaan refleksi dari revolusi ini adalah Bagaimana diri dan budaya dapat dimodernisasikan? Motivasi untuk menyebut dua persoalan yang saling berhubungan ini datang dari pengertian yang mendesak dalam modernisasi masyarakat cina- motivasi itu dibakar oleh kegairahan dan kekuatan yang digerakan oleh suatu penemuan kebebasan secara baru dari pemikiran dan ketentuan ekonomi, yang dibukukan oleh pemerintah komunis sejak 1948. Pertanyaan pokok filsafat, bagaimana menjadi manusia? Dan bagaimana kemanusiaan itu dicapai? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menjadi pusat dari pemikiran filsafat modenr.
Dalam era sesudah Mao, pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan debat yang hidup pada suatu nomor dari pertanyaan yang paling spesifik:(1)Apa itu kebenaran dan bagaimana kebenaran itu dijelaskan?(2) Bagaimana relasi diri, sosial, dan budaya?(3) Apakah terdapat persaingan?(4) Bagaimana relevansi confusianisme untuk modernisassi?(5) Bagaimana ilmu pengetahuan dan humanisme memperkuat yang lain?(6) Apa jalan terbaik untuk modernisasi budaya cina?
-          Kodrat daan Kriteria kebenaran
Revolusi kefilsafatan sesudah Mao mulai dengan diskusi tentang kodrat dan kriteria kebenaran. Selama tiga dekade, kriteria prinsip kebenaran adalah apa yang dikatakan oleh pemimpin partai komunis. Implikasinya adalah apa yang dikatakan oleh paartai. Ketika kriteria ini ditantang ke dalam partai itu sendiri oleh Deng Xiaoping(11904-1997), yang membela prinsip praktis dari kriteria kebenaran, untuk membuka diri bagi politik mao dan menerima pembaharuan pragmatis ekonomi, hal ini membuka pintu bagi perdebatan yang meliputi banyak hal dalam kodrat dan kriteria kebenaran. Hu Jiwei pemimpin redaktor The People’s Daily, dalam artikelnya :”Mendengar kata-kata pemimpin Mao”, mengkritik prinsip kebenaran adalah apa yang dikatakan pemimpin partai. Dia
Dalam artikelnya mendengarkan pemimpin partai atau tidak? Hu mengatakan: sebagai orang yang digunakan untuk mendengarkan kata-kata kepemimpinan partai…ini tidak sampai pada diskusi tantang kriteria kebenaran. Saya sungguh sadar dan bertanya tentang kebenaran dari prinsip ini.
-          Kaitaan dari diri, Masyaraakat dan budaya
Tahun 1980, Banyak pemikir mulai mendiskusikan siapa itu menusia.Dalam diskusi itu pertanyaan apakah kodrat kelas atau kodrat manusia lebih penting dalam individu diperdebatkan. Li Zehou, salah satu dari pemikir cina terpenting sesudah Mao memperlihatkan bahwa self sebaiknya dilihat  sebagai subyek otonom, bertindak bersama dengan subyek otonom lain untuk menciptakan suatu masyarakat sipil dan budaya manusia. Ini berarti bahwa keanggotaan yang hanya memandang individu sebagai obyek kurang penting dari kodrat manusia individu, yang memberinya potensi untuk menciptakan nilai-nilai dan budaya debagai subyek yang otonom yang berinteraksi dengan subyek otonom lainnya.
-Alienation
            Diskusi tentang diri dalam relasi dengan kelas, kebudayaan, dan kodrat manusia
Relevaansi Confusianisme untuk Modenrnisasi Budaya Cina
Seperti diskusi tentang diri, masyarakat dan budaya mulai terfokus pada kodrat manusia dan kurang terfokus pada keanggotaan masyarakat masa, pemikiran filsafat tradisional mulai mengambil relevansi yang baru. Pemikiran confusius, sebagiannya telah menjadi ejekan dan terpinggirkan selama tiga dekade. Dengan penemuan kembali pusat penting yakni Jen (kodrat manusia) dalam modernisasi Cina, maka pintu dibuka untuk pengaruh confusian baru (Xinrujia). Dalam artikel 1978: sebuah evaluasi kembali terhadap confusius, Li Zehou menyiapkan dasar untuk apresiasi baru dari pemikiran confusius. Confisuan baru yang lain termasuk para filsuf Cina antara lain: Tu Wei ming, Cheng Chung Ying, dan Charles Fu dari Amerika Serikat; membantu membawa tradisi confusian ke dalam mainstream dari perdebatan baru tentang pentingnya diri dan kodrat manusia dalam modernisasi cina. Di akhir tahun 1990; pemikir-pemikir Marxist cina seperti Zhang Dainiandan Xiao Jeifu mengambil trdisi confusian untuk mengembangkan teori orginal mereka tentang modernisasi. Mou Zongsan, seorang pelajar penting confusian, mengembangkan moral metafisika baru yang berakar dalam pemikiran Neo-Confusian dari dinasti Sung sebagai fundasi untuk modernisasi kebudayaan Cina. Pemikir besar confusian yanheng Jiadong menulis sebuah buku baru yang penting; sebuah pengantat kepada Confisianisme yang baru
-Hubungan yang saling menguatkan antara Ilmu Pengetahuan dan Humanisme
            Oleh karena era Maoist didominasi oleh perhatian pada studi ilmiaqh tentang fenomena sosial, perdebatan kefilsafatan di tahuan 1980 menciptakan ruang bagi studi humanistic budaya dan masyarakat dengan sangat baik. Mungkin hasil yang lebih penting dari bertambanya studi humanistic adalah bertambahnya pengenalan pada pendekatan secara ilmiah dan humanistic saling melengkapi, memperkuat satu sama lain. Salah satu contoh adalah Jin Guantao, seorang figur yang terkenal dalam studi ilmiah masyarakat , mengadopsi prinsip humanistic dari Wang Roushi dan menerima dengan senang hati perhatian Li Zehou pada persoalan humanistic. Dalam bukunya 1988, Jin mengatakan: Saat ini kita harus bangkit dari mimpi mengenain obyektivitas yang tidak relevant dengan kemanusiaan dan menemukan sebalum kita suatu dunia dengan manusia sebagai pusatnya.
-          Jalan Terbaik untuk Modernisasi Kebudayaan Cina
Tahun 11984, berbagai persoalan tentang ada diperdebatkan sebagai bagian dari revolusi kefilsafatan sesudah Mao, berhadapan dengan debat bagaimana memoderenkan kebudayaan Cina secara lebih baik. Pandangan-pandangan barat, Marxist dan cina tradisional tentang bagaimana perubahan yang kreatif dari kebudayaan dan masyarakat, bersaing satu sama lain dalam diskusi ini. Penting untuk saling meminjam dan menyesuaikan di antara mereka. Debat penting ini mungkin baik untuk menciptakan sebuah visi baru yang sinergistik yang menjadi pedoman perkembangan cina, dihasilkan seribu artikel, seratus buku dan dosen dari pusat studi kebudayaan. Ini berarti bahwa pusat persoalan dari debat ini mengikat tidak hanya kaum intelektual tetapi juga pejabat dalam lingkaran politik dan juga umum. Revolusi filsafat sesudah Mao menunjukan sebuah kemunduran yang serius melalui peristiwa penindasan anggota-anggota pejabat di lapangan Tiananmen. Meskipun diskusi dari persoalan pokok diteruskan di daratan cina, banyak pendukung dalam perdebatan awal telah menjadi kuat untuk meneruskan diskusi mereka di tempat pengasingan. Tetapi dengan kebebasan ekonomi baru dan pertumbuhan informasi yang tersedia melalui jaringan dunia yang luas, ini menjadi sebuah kebangkitan yang menarik dari persoalan mengenai demokrasi, modernisasi, dan hak asasi manusia yang mana confusian baru memainkan peran yang berarti.