Jumat, 16 September 2011




LITURGI




I. Pengantar: Sebuah Realitas
Kita begitu sedih, ketika mendengar ada seorang atau beberapa imam yang keluar, meninggalkan imamatnya. Bahkan seorang umat di Philipinnes pernah berkomentar demikian, “Ini sungguh menyedihkan, kalau kita mengingat berapa lama waktu yang telah dibutuhkan untuk pendidikan imam, berapa biaya yang telah dihabiskan, dan berapa orang yang telah terlibat dalam proses persiapan seorang pemuda untuk menjadi seorang imam. Kesedihan kami semakin mendalam ketika imam menghilang begitu saja tanpa sepengetahuan Provinsial atau Uskupnya.” Sebagai seorang imam muda, saya shock mendengar komentar kritis seorang warga paroki ini. Ini adalah sebuah realitas yang menyedihkan.
Namun saya tidak akan menghabiskan waktu dalam kesedihan ini. Saya juga merasa bersuka cita, ketika saya merenungkan betapa banyak imam yang masih tetap setia pada panggilan dan pelayanannya kepada umat Allah. Tahun lalu saya mengadakan retret pribadi ke luar kota Manila. Kebetulan di saat yang bersamaan dan di rumah retret yang sama, ada sekelompok suster yang sedang retret pula. Mereka di dampingi oleh seorang imam asli Philippines yang sudah tua. Dalam homily-sharingnya dia berbicara tentang arti kesetiaannya dalam imamatnya. Sebagai seorang mantan dosen filsafat, dia mengawali sharingnya demikian, “Kesetiaan dalam panggilan imamat adalah sebuah tindakkan Allah dan partisipasi manusia. Sebagai seorang imam saya memahami kesetiaan sebagai sebuah tindakkan untuk melihat, untuk mendengar, dan mengikuti kehendak Allah. Allah sungguh-sungguh memperhatikan saya, dan saya merespon panggilan Allah itu. Mengikuti panggilan Tuhan melalui congregasi ini, saya sungguh merasa dilibatkan dalam karya-Nya. Saya melihat kesetiaan sebagai kehendak bebas Allah, dan saya secara bebas menanggapi dan berpartisipasi dalam kehendak-Nya. Kesetiaan adalah puncak tindakkan dari iman dan kepercayaan saya. Partisipasiku dalam tindakkan Allah menjadi nyata dan konkret dalam hidup keseharianku. Kesetiaan adalah proses. Saya bersyukur boleh dilibatkan dalam karya Allah ini. Setiap hari, saya mencoba untuk semakin menyadri teantang apa yang telah saya lakukan sebagai imam. Ketika saya berdoa atau merayakan perayaan ekaristi, saya mengingat panggilanku sebagai sesuatu yang harus saya persembahkan kepada Allah dan sesama.” Ini adalah sebuah realitas yang membanggakan dan memberikan pengharapan.
Berbicara tentang pendidikan imam atau bruder, bukan hanya berbicara dalam lingkup pendidikan di tahun-tahun postulat, novisiat, atau skolastikat. Refleksi pendidikan imam atau bruder adalah juga refleksi bagaimana seorang imam/bruder menghayati hidupnya setelah dia ditahbiskan atau kaul kekal dan kemudian berkarya. Refleksi yang berpijak pada pertanyaan yang amat positif: Adakah sesuatu di balik kesetiaan para imam/bruder? Apa sih spiritualitas mereka? Dalam kotbah-sharing yang saya paparkan di atas, tersirat dia menyatakan kecintaannya akan liturgy. Maka, dalam tulisan sederhana ini, saya akan merefleksikan pengaruh spiritualitas kecintaan akan liturgi dalam kesetiaan akan panggilan sebagai imam atau bruder.
II. Mencintai Liturgi
Rasa cinta akan tindakan liturgis, tidak bisa dipisahkan dari pemahaman akan liturgy itu sendiri. Seorang imam merasa puas ketiaka dia melakukan pelayanan sakarmental, karena dia mempunyai pemahaman yang hidup tentang tindakkan liturgis. Tentulah, kita masih ingat apa arti dari tindakan liturgis: “descending” (the sanctification of human being) dan “ascending” (the glorification of God). Secara tegas, Konstitusi tentang Litugi ( Sacrosanctum Concilium) No. 7 menyatakan: “Dalam karya seagung itu, saat Allah dimuliakan secara sempurna, dan manusia dikuduskan…” Harapannya adalah, hendaknya pemahaman ini tidak hanya dipahami dalam tataran intelektual saja, tapi lebih-lebih juga dicerna dalam tataran hidup spiritual dari seorang imam ataupun bruder.
A. Persiapan Pribadi untuk berliturgi
Bagi seorang pelayan liturgy, seperti imam, liturgy sudah sepantasnya menjadi sebuah peristiwa khusus. Peristiwa ini bukanlah sebuah rutinitas yang dapat dijalankan secara spontan tanpa penyadaran; tetapi berliturgi perlu persiapan serius. Barangkali persiapan itu bisa digambarkan sebagai berikut:
1. Disposisi batin seaorang imam
Disposisi batin seorang imam/pelayan liturgy dapat dipahami sebagai suatu kesadaran akan identitasnya. Identitasnya sebagai imam tak bisa dipisahkan dari peranannya dalam berliturgi. Imam sebagai sakramen Kristus, mengantarkan Sabda Allah dengan berkotbah dan mengajar. “Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang denag jerih payah berkotbah dan mengajar.” (1 Tim 5:17). Kemudian Presbiterium Ordinis, No. 4 mengatakan: “Sebab tidak seorang pun dapat diselamatkan, kalua ia tidak beriman, para imam sebagai rekan-rekan kerja para uskup, pertama-tama wajib mewartakan Injil Allah kepada semua orang.” Dua pernyataan ini, secara tegas menunjuk pada identitas dan peran seorang imam.
Ketika seorang imam sedang menghantarkan Sabda Allah kepada individu atau kelompok atau komunitas di dalam peranannya sebagai seorang imam, secara amat berharga dia sedang melakukannya sebagai sakramen Kristus. Dalam kotbahnya, imam menghubungkan umat dengan Allah. Dalam kotbah, imam mengundang umat Allah masuk ke dalam “sanctuary”, bilik tersuci dalam dirinya. Peran ini menempatkan imam sebagai “a man of faith”. Maka, kesadaran akan peran dan identitasnya, sudah seharusnya menjadi sikap atau disposisi batin bagi dirinya. Kesadaran akan identitasnya akan memotivasi seorang imam untuk semakin mencintai “pekerjaannya.” Dalam berliturgi, dia akan mempersiapkan diri secara serius.
2. Doa dalam kehidupan seorang imam
Ada ungkapan demikian: “The place for a priest is in sanctuary.” (Tempat bagi imam adalah di bagian yang paling suci). Ungkapan ini untuk mengatakan bahwa, supaya bisa mengemban perannya sebagai mediator, seorang imam harus hidup di dalam communio dengan Allah. Untuk berada dalam communio bersama Allah, dia harus masuk ke dalam pusat dirinya melalui doa. Dalam doa, kita belajar untuk mendengarkan perasaan-perasaan kita, angan-angan, pemikiran-pemikiran dan kerinduan-kerinduan kita. Santa Teresa dari Avila berkata, “Pintu untuk menuju ke perjalanan batin kita adalah doa.
Berdoa adalah mendengarkan Allah dan menanggapinya dengan cinta. Membaca dan berpikir tentang Allah adalah penting untuk menyediakan iklim dan lingkungan yang mendukung untuk berdoa. Di sinilah Kitab Suci memiliki peran yang amat khusus. Allah terus menerus menyampaikan sabda-Nya untuk kita, dan menginsiprasii kita melalui Roh-Nya. Refleksi harian hidup doa seorang imam sangat membantu pertumbuhan hidup rohaninya dan semakin mendalam dalam hubungannya dengan Allah dan sesama.
B. Menyadari Kehadiran Kristus Dalam Liturgi
Liturgi pertama-tama adalah anugerah Allah, sebelum tanggapan manusia. Dalam liturgy, Allah berpaling kepada kita, dan kita menerima apa yang dia anugerahkan kepada kita, secara khusus pusat misteri penebusan kita melalui Yesus Kristus. Kehadiran Kristus dalam liturgy dialami sebagai suatu perjumpaan yang konkret. SC. 7 menyatakan secara jelas beberapa cara kehadiran Kristus dalam liturgy:
· Kristus hadir dalam kurban misa
· Kristus hadir dalam diri pelayannya
· Kristus hadir secara amat istimewa ekaristi (tubuh dan darah)
· Kristus hadir dalam sakramen-sakramen
· Kristus hadir dalam sabda-Nya ketika kitab suci di bacakan
· Kristus hadir ketika Gereja berdoa dan bernyanyi. Karena Dia berjanji “ di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, Aku hadir ditengah-tengah mereka” (Mt. 18:20).
Orang yang mencintai liturgi adalah orang yang dapat menyadari kehediaran Kristus dalam tindakan liturgis. Kesadaran ini tidak hanya hidup dalam tindakan-tindakan ritual sebagai ungkapan imannya, tetapi juga hidup dalam hidup sehari-hari sebagai perwujudan akan imannya. Kecintaan terhadap Liturgi akan menyuburkan kehidupan spiritual pelayan liturgy, untuk memperkuat diri ke dalam perkembangan menuju pelayan yang setia.
III. Pelayan-Pelayan Setia
Realitas akan pelayan-pelayan yang setia, bisa kita renungkan dari tulisan P. Rosetti. P. Rosetti adalah director Institute St. Lukas di USA. Dia bertugas melayani para imam dan religius yang sedang mengalami masala-masalah dalam panggilan mereka. (Tulisannya bisa di baca dalam Spirituality of the Priesthood, in Human Development, Vol. 18, No. 1, Spring 1997).
Dalam bagian ini, saya akan mencoba menghadirkan secara singkat pemikiran Rosetti tentang spiritualitas kesetiaan dalam imamat, ketika dia dimita berbicara dalam the National Commission Catholic American Bishops Conference, mengenai hidup dan pelayanan imam-imam. Dia membuat survey terhadap 1.186 imam Amerika. Survey itu telah menunjukkan bahwa 91% imam menggunakan bakat dan kemampuannya dalam pelayanan mereka. Lalu hanya ada 7% imam yang punya pikiran untuk keluar, meninggalkan imamatnya. What are some aspects that most become sources of satisfaction to priest? Menurut survey, imam-imam merasa puas dalam hidupnya sebagai imam, ketika mereka melakukan pelayanan sacramental dan mewartakan Sabda Allah. Dan mereka juga merasa puas ketika mereka mempunyai kesempatan untuk bekerja sama dengan banyak orang. Ini adalah kabar baik bagi Gereja. Dan sebagai imam muda, saya bisa belajar dari spiritualitas kesetiaan itu.
Lalu, P. Rosetti juga bercerita tentang P. Jim, yang telah merayakan 25 tahun pesta imamat. Pater Jim yang menjadi seorang administrator di sebuah katedral, tapi dia juga amat perhatian kepada kaum miskin. Banyak kaum miskin yang mengenalnya. Dia membangun banyak rumah murah untuk mereka. Bagaimana ia menjadi seorang imam yang setia? P. Jim bercerita tentang hubungan personal dengan Yesus.
IV. Hubungan Pribadi Dengan Yesus
Sebagai seorang imam, bubungan pribadi dengan Yesus adalah sangat penting. Ini adalah sebuah dasar spiritualitas. Mungkin kita bertanya apa itu spiritualitas? Arti spiritualitas itu bisa bermacam-macam dan berbeda-beda. Seorang clerical mengartikan spiritualitas demikian: “Spiritualitas adalah sebuah tanggapan terhadap Allah. Spiritualitas adalah pencaharian akan visi Allah and restorasi akan diri kita.” Dengan demikian hubungan pribadi dengan Yesus dapat berarti sebuah tanggapan akan Allah, untuk memahami visi Allah dan untuk merestorasi manusia.
Apa artinya memiliki hubungan pribadi dengan Yesus? Menurut P. Rosetti, memiliki hubungan pribadi dengan seorang pribadi, termasuk Allah, berarti bahwa setiap pribadi ditantang untuk berani menghadapi realitas hidup dan menyatakannya. Banyak imam yang merasa takut menghadapi realitas hidupnya. Mereka takut untuk membagikan pengalamannya kepada sesama rekan seimamat. Dan bahkan ada yang takut membagikan pengalamannnya kepada Allah. Mereka berhenti berdoa dan tidak mempunyai hubungan yang personal lagi dengan Allah.
Memiliki hubungan personal dengan Allah berarti juga berani berdoa dari dan di dalam hati. Hati adalah tempat kekuatan vital dari tiap-tiap pribadi. Hati adalah tempat tersembunyi di mana Roh Kudus bersemayam. Berdoa dari dan dalam hati, berarti seseorang membiarkan diri untuk semakin dekat dan dituntun oleh Allah. Ini berarti berdoa, bahkan dalam kelemahan kita, karena biasanya seseorang sangat sulit mengakui kelemahan-kelamahannya. Tetapi, kita tidak sendiri dalam berdoa, karena ada Roh Allah yang tinggal dalam hati kita. Roh Allah memampukan kita dalam doa (Rom 8:26-27).
V. Mencintai Liturgi – Kesetiaan dalam Imamat atau Panggilan
Globalisasi telah mengenalkan berbagai macam model hidup bagi banyak orang: glamour life dan consumerism. Nokia: Connecting People, The New Nissan Sentra, Stronger and Smarter adalah contoh nyata bahasa iklan yang mau mempengaruhi mentalitas customers (para pelanggan). Apakah mungkin bahasa liturgi atau ekpresinya yang amat biasa, bahkan terkesan monoton itu bisa mempengarui mentalitas dari “aktor-nya” (sang imam) dan “Customers-nya” (Umat)? Ini adalah tantangan bagi kehidupan spiritualitas Kekristenan kita, terutama bagi seorang imam.
Mungkin bahasa liturgi memang monoton, tetapi kehidupan untuk menghidupi liturgi adalah adalah sesuatu yang dinamis. Perayaan liturgi tidak bisa direduksikan pada suatu performa ritual belaka. Bagaimanapun juga, dalam perayaan liturgilah kehidupan dan tujuan Gereja terungkap dan ternyatakan sacara mendalam. Seorang imam yang menyadari hakekat dan arti liturgy akan memahami pula keutamaan iman. Hari demi hari ia akan bertumbuh dalam iman, pertobatan, perubahan perilaku dan sikap hidup sebagaimana dia melambungkan pujian liturgis. Mencintai liturgy adalah salah satu sumber untuk semakin mencintai imamat atau panggilan kita.
Realitas pengalaman manusiawi, sebagaimana saya sampikan dalam pengantar, dan juga dari penjelasan Pater Rosetti mengundang kita untuk menyadari, bahwa kita harus mendalami spiritualitas imamat atau pelayanan kita saat ini. Dalam spiritualitas ,kita mencapai suatu keasadaran akan nilai yang paling tinggi; dalam kepenuhan jiwa kita, kita memikul beban yang paling menyenangkan dan paling memberatkan dari pengalaman manusiawi kita. Dengan pemaknaan pada tindakan liturgisnya, seorang imam dimungkinkan untuk berkembang dalam kesucian, “berkobar-kobar dalam cinta Kristus.” Dengan marayakan liturgy secara teratur, seorang imam masuk ke dalam sekolah doa Gereja, melambungkan perjumpaan dialogis dengan Allah, dan membagikan pelayanan Imamat kristus kepada yang lain.
Dalam refleksi tentang imamatnya, seorang imam pernah berkata: “We, priests give thanks by our celibate charity that exemplifies this Eucharistic unity. As this bread is constantly broken yet never divided, we, priests are called to constantly love the many without ever dividing the community by clinging to only one. We love not just one spouse, but the one Church in all her members. As this cup is eternally poured out, but never exhausted, so through our ministry of unity, we continuously empty ourselves without seeking to be filled by our own family. Our family is the Church that is the home of all Christians. The Eucharistic unity is exemplified by our celibacy. Like Christ, in our celibacy, we crucify our flesh for the life of the world. Indeed, the sense of loving of liturgy has nourished fidelity in the priesthood.”
Kecintaan akan liturgi adalah sekolah kita untuk menimba spiritualitas kesetiaan akan panggilan kita. Dalam liturgy, formasi ke-imam-an dan ke-religius-an kita senantiasa disegarkan kembali.
(P. Marhar, MSF)








GESTALT



SIFAT DAN PERILAKU MANUSIA:
• selalu “membaca”/”mencoba mengenali” apa yang dilihatnya --> persepsi
• dengan cara pattern seeking
• pattern seeking ini biasanya melihat/mencari pola atau konteks yang terlihat pada gambar atau yang sudah diketahui oleh penglihat
• juga kecenderungan manusia untuk mengorganisasikan atau meng-kelompok-kelompok-kan (gestalt principles of grouping)

PENGERTIAN GESTALT
• psikologi persepsi visual manusia dalam membaca/mengenal sebuah gambar/ bentuk dari melihatnya/mengorganisasi-kannya secara holistik/menyeluruh.
– holisitik: secara keseluruhan dari semua elemen-elemen pada gambar, bukan elemen demi elemen atau satu per satu.

SEJARAH GESTALT
• berawal dari karya tulis Max Wertheimer (1912) dari Jerman, juga psikolog Koffka (1935) dan Kohler (1940)
• juga oleh J.B. Watson dari Amerika (1913)
• istilah “gestalt” dalam bahasa Jerman sebenarnya sulit diterjemahkan ke bahasa2 lain, tapi bisa diterjemahkan sebagai “shape”; “form”; “configuration”; “pattern” (dlm bahasa Inggris), atau “bentuk”; “hakekat”; “esensi”; “totalitas” (dlm bhs Indonesia)
• karena susah diterjemahkan secara pas, maka disepakati untuk tetap menggunakan istilah yang original – “Gestalt”

A. Prinsip dasar Pengelompokkan/Grouping Gestalt
• proximity (kedekatan)
• similarity (kemiripan)
• closure (ketertutupan)
• continuity (kesinambungan)
• symmetry (simetri)

+ tambahan:

• simplicity (kesederhanaan)
Proximity
sebuah kesatuan atau pengelompokan yang terbentuk karena adanya elemen-elemen yang saling berdekatan.
Tendensi:
Pandangan mata akan cenderung melihat dua kotak yang saling berdekatan sebagai satu kelompok. Kita tidak melihat kotak ke-2 dan ke-3 dari kiri sebagai sepasang karena berjauhan.

Similarity

objek yang sama akan terlihat secara bersamaan sebagai kelompok. Hal ini dapat ditentukan lewat bentuk, warna, tekstur, ukuran, maupun arah (misal sekelompok ikan/burung yang bergerak searah).
Tendensi:
Kita akan melihat objek-objek dalam barisan/row mendatar, bukan dalam kolom secara vertikal.

Closure
Kita lebih menyukai bentuk yang tertutup/complete atau menyambung daripada yang tidak/incomplete.
Tendensi:
Melihat gambar di atas, kita akan secara mental menyambungkan garis2 yang putus2 dan melihat gambar bentuk bebek & lingkaran secara menyeluruh.

Continuity
Penataan visual yang dapat menggiring gerak mata mengikuti ke sebuah arah tertentu.
Tendensi:
Kita akan melihat satu garis lurus dan sebuah garis lengkung melewatinya. Kita tidak akan melihat gambar tsb terdiri dari dua bagian seperti di gambar kanan.

Symmetry
Kecenderungan untuk menata stimuli ke dalam bentuk2 yang sama dan sebangun.
Tendensi:
Mata cenderung melihat sebagai deretan 6 bentuk daripada deretan 12 bentuk.

+Simplicity
Prinsip yang mencakup ke-5 prinsip Gestalt sebelumnya, menyatakan bahwa manusia secara intuitif cenderung memilih pengorganisasian yang paling simple/sederhana atau paling stabil.
Contoh:
Gambar di atas dapat dipersepsikan beberapa macam: 3 lingkaran yang bertumpukan; 1 lingkaran utuh dan 2 lingkaran yang terpotong di bagian kanannya; atau tampak atas dari tiga objek silinder 3-Dimensi.
Prinsip simplicity menyatakan bahwa anda akan melihat gambar tsb sebagai 3 lingkaran yang bertumpukan, karena itulah persepsi yang paling simple.

B. Prinsip Figure-Ground organization:
sebuah organisasi perseptual yang paling dasar

•figure: objek yang kita lihat/fokus/pusat perhatian
•ground: background/latar

Proses persepsi akan berusaha membedakan obyek dari latar.

The Role of Experience
•Pengalaman pribadi menentukan sekali dalam persepsi
•ada yang beranggapan bahwa kecenderungan pengorganisasian dalam berpersepsi ada/dibawa sejak lahir; namun banyak psikolog kontemporer merasa bahwa kecenderungan2 tsb adalah hasil dari pengalaman & pembelajaran semasa hidup.


The Role of Context

•Pengalaman berguna karena membuat memori dari stimuli lama yang dapat dijadikan sebagai konteks dalam mempersepsikan stimuli baru
•Konteks bisa dari dalam diri (pengalaman, pengetahuan, budaya, karakter, gaya hidup, hati nurani,…) ataupun dari luar diri (visual, lingkungan, hukum, etika,…)



Gestalt
Gestalt membawa maksud sesuatu yang penuh, menyeluruh dan lengkap. Pada pendapat ahli psikologi Gestalt, satu persepsi jika diperhatikan dengan menyeluruh, akan menjadi lebih bermakna daripada campuran komponen-komponen yang berasingan.
Dari gambar rajah yang kita lihat di atas, kita dapat memerhatikan Hukum Tutupan (closure) Gestalt yang mendambakan kesempurnaan. Bentuk yang tidak tertutup akan kelihatan tidak lengkap, jadi kita akan cuba mencari ketidaksempurnaan di dalam bentuk yang kita lihat itu lalu minda kita akan menambahkan bahagian yang tidak lengkap itu kepada bentuk yang sempurna.
Di dalam teori Gestalt, Hukum Tutupan ini bukan sahaja diaplikasikan kepada bentuk-bentuk imej, tetapi juga kepada proses pemikiran, memori dan pemahaman kita kepada konsep masa.
Psikologi Gelstalt juga menetapkan bahawa apa yang berlaku di masa lalu dan kini mewarnai apa yang dikenali sebagai 'pengalaman tidak selesai' seseorang itu. Dalam erti kata lain, semua peristiwa yang pernah kita alami akan terus berlegar di dalam diri kita sehinggalah kita menyudahkannya (seperti mana yang telah dibincangkan di dalam Hukum Tutupan). Walaupun kita dapat menanggung sejumlah pengalaman yang tidak selesai, tetapi ada kalanya pengalaman ini mampu menggusarkan perasaan kita. Kita perlu memastikan agar pengalaman kita itu ada tutupannya (closure) - agar kita tidak akan diganggu oleh satu persepsi negatif yang akan sentiasa membelenggu proses-proses mental di dalam fikiran kita. Hanya dengan menghadapi apa yang mengganggu fikiran kita dek pengalaman tanpa kesudahan ini, kita akan dapat berganjak ke hadapan.
Abang akhirnya berhadapan dengan nemesisnya yang telah mengganggu fikirannya. Perlahan-lahan, abang dapat memahami apa yang sebenarnya telah berlaku dalam satu peristiwa yang dialaminya pada masa lalu yang telah menggusarkan jiwanya. Selagi tak ada proses tutupan kepada detik hitam di dalam hidupnya itu, selagi itulah tidak akan ada kesudahannya kepada kecelaruan yang membelenggu fikirannya selama ini...
Kata-kata hikmat seorang ahli saintis muda bernama Faris bilangan 44: Jangan biarkan pemerintah menentukan kandungan memori anda
Fahmy berdiri di dalam bilik kosong yang terletak jauh di bawah tanah. Dia tidak tahu berapa lama dia perlu menunggu di dalam bilik itu. Perasaan kacau. Dia mengeluh berlaki-kali.
Tiba-tiba pintu di hadapannya terbuka luas. Dia dapat melihat Muzaffar memanggilnya supaya keluar dari bilik tersebut.
"Kenapa kau mahu berjumpa dengan aku?" tanya Muzaffar buat-buat bertanya walaupun dia tahu tujuan utama Fahmy bertemu dengannya pada malam itu.
Fahmy tidak menjawab soalan Muzaffar itu dengan serta-merta. Dia menoleh ke sebelah kanannya. Dia dapat melihat makmal rahsia kumpulan Al Qadim yang telah dibina di dalam sebuah ruang yang luas itu. Seorang wanita bertudung hitam memandang ke arahnya. Pandangan wanita itu tajam sehingga menusuk ke jiwanya. Fahmy terus memandang ke hadapan. Wanita itu mengingatkan dirinya kepada ibunya yang telah terkorban di dalam peristiwa 6/6 dahulu.
"Apa yang telah berlaku kepada Fidzan?" tanya Fahmy akhirnya setelah lama dia mendiamkan dirinya.
"Apa maksud kau?" tanya Muzaffar kembali. Dia membawa Fahmy masuk ke dalam sebuah lif berkaca lalu mereka berdua naik ke tingkat atas.
"Ketika aku menemuinya semalam dia nampak murung. Dia meracau-racau seorang diri apabila dia tidur di rumah ku." Kata Fahmy di dalam lif di dalam nada yang risau. Apabila lif terbuka, Muzaffar terus membawanya masuk ke biliknya.
"Biar dia hadapi semua ini sendiri sehingga dia faham akan bebanan yang terpaksa ditanggungnya."
Wajah Fahmy kelihatan terganggu. Dia meraba-raba lehernya. Tekaknya terasa kering dan pedih.
"Aku tidak sampai hati melihatnya begini."
"Biar dia hadapi semua ini sendiri, Fahmy!" getus Muzaffar dengan suara yang tegas.
Fahmy menggigit buku jarinya. Cukup sukar untuk dia menerima usul dari Muzaffar ini.
Muzaffar sedar bahawa Fahmy sedang berada dalam keadaan yang terganggu. Dia perlu mengingatkan Fahmy bahawa Fidzan bukan seorang manusia biasa. Apa yang sedang dihadapi Fidzan tidak mungkin dapat diselesaikannya walau bagaimana dia mencubanya. Lalu Muzaffarpun berkata:
"Kau tentu masih ingat lagi apa yang mampu dilakukannya ketika kau dan dia menceroboh masuk ke dalam makmal bioteknologi Halcyon Corp. dahulu..."
Fahmy menganggukkan kepalanya. Dia tidak mungkin akan dapat melupakan ini semua. Masakan tidak, dia telah bersetuju untuk mencuri masuk ke dalam makmal Halcyon Corp. semata-mata kerana dia kagum melihat kebolehan luar biasa yang ada pada diri Fidzan. Pada waktu itu dia yakin dengan kuasa yang ada pada diri Fidzan, mereka berdua dapat melakukan tugas mereka dengan senang tanpa sebarang masalah. Alangkah silapnya andaiannya itu.
Di dalam usia sebegitu muda, Fidzan mula menampakkan bibit-bibit kuasa yang ada pada dirinya. Fidzan dapat mengawal tenaga berbentuk gelombang seperti cahaya, bunyi malah elektrik. Dia dapat menghalang kuasa elektrik dari memberikan tenaga kepada sebuah kompleks bangunan yang besar hanya dengan memikirkan tentangnya. Dengan hanya dengan menumpukan perhatiannya, dia dapat mengubah keadaan di sekelilingnya supaya menjadi gelap dan sunyi - satu kuasa yang mampu menakutkan sesiapa sahaja yang mengalaminya sendiri.
Kuasa luar biasa Fidzan akhirnya dapat dikawal dengan pil psikotropik berwarna biru yang terpaksa diambilnya hampir setiap hari.
Kuasa Fidzan perlu dikawal agar dia tidak akan membahayakan sesiapa di sekelilingnya, itulah alasan yang telah diberikan oleh Komisyener Nora (yang kini telah pun berjaya memenangi pilihan raya umum di dalam pemilihan Datuk Bandar Kota Sendayu yang baru) satu ketika dahulu.
"Aku hairan mengapa kau tidak pernah tanya kepada diri kau dari mana dia dapat kuasanya itu..." ujar Muzaffar dengan nada sinis.
"Aku mahu tahu... Cuma persoalan ini tidak pernah timbul setiap kali aku bersamanya. Aku tidak berani bertanyakan soalan ini kepadanya!"
"Kenapa? Kau takut dengannya?"
"Ya." Jawab Fahmy teragak-agak.
"Kau, antara manusia paling berani yang pernah aku temui takut dengannya?" Muzaffar menggelengkan kepadanya sambil tersengih sendiri.
"Pernah sekali dia mengamuk apabila aku bertanyakan kepadanya tentang hal ini... Dia terlalu banyak berahsia."
"Bercakap tentang rahsia... Kau tahu apa yang perlu kau lakukan ketika kau mencuri masuk ke dalam makmal itu?"
"Ya, aku perlu membantu Fidzan untuk mencuri ubat untuk adiknya."
"Adik dia tidak sakit, Fahmy..."
"Jadi jika dia tidak sakit, mengapa dia perlu mencuri ubat di dalam makmal itu?"
"Kerana ibunya mahu adiknya itu membesar sebagai manusia biasa." Muzaffar menyilangkan kakinya. Dia merehatkan kedua-dua belah tangannya di tepi kerusinya. "Pada waktu itu doktor Londoh sedang mengusahakan sejenis ubat untuk anak perempuannya... Hana, sudah tentu kau kenal dengan Hana."
"Ya, kenapa dengan Hana?"
"Hana telah cedera parah dalam Peristiwa Hirabah... Bapanya telah meniru kembali proses gelombang denyutan elektro-magnetik di dalam keadaan terkawal di dalam makmal untuk cuba menyelamatkannya-"
"Tapi kenapa?"
"Ketika kami meletupkan bom ini di seluruh dunia, kami tidak pernah terfikir tentang kesan-kesan sampingannya kepada manusia-"
"Maksud kau?"
"Pada mulanya kami berfikir bom ini hanya akan memusnahkan perkakasan elektronik di seluruh dunia sahaja dan ia tidak akan memberi sebarang kesan kepada manusia... Tetapi kami silap. Di dalam beberapa situasi tertentu, manusia-manusia yang terdedah kepada gelombang elektro-magnetik bom ini secara dekat akan mengalami mutasi DNA."
"Jadi Fidzan adalah sebahagian dari manusia yang mana DNAnya telah berubah?"
"Ya." Angguk Muzaffar. Dia menggunakan lidahnya untuk menjilat bibirnya yang kering itu. "Doktor Londoh cuba mengulangi proses ini untuk memastikan Hana yang tubuhnya hampir 90 peratus terbakar itu dapat diselamatkan. Dan sememangnya Hana dapat diselamatkannya, kerana antara kesan sampingan mereka yang didedahkan kepada gelombang elektro-magnetik ini adalah keupayaan regenerasi sel-sel tubuh.
"Tubuhnya kembali sihat dengan pantas. Tetapi dengan pantas juga doktor London mula sedar tentang keganjilan yang mula ditunjukkan Hana. Anak perempuannya itu mula menunjukkan bahawa dia mempunyai kuasa luar biasa..."
"Kuasa apa?"
"Di dalam keadaan marah, apa sahaja yang disentuhnya akan mati."
"Oh..." Fahmy mematahkan jari jemarinya.
"Jadi doktor Londoh terus berusaha untuk mencari jalan untuk memastikan agar anaknya itu dapat hidup normal... Dia hampir-hampir berjaya di dalam pencariannya sehinggalah kau dan Fidzan masuk ke dalam makmalnya... Kuasa yang telah digunakan Fidzan telah memadam beberapa formula penting di dalam pembikinan ubatnya yang telah disimpan di dalam komputer di dalam makmalnya itu."
"Jadi apa yang diambilnya sekarang?"
"Komposisi ubat dari formula yang cuba dihasilkan semula oleh doktor Londoh." Muzaffar mengeluh, seolah dia sedang mengesali sesuatu ."Apa yang pasti, ubat psikotropik yang disintesiskannya semula tidak lah sebaik ubat yang dibuat terlebih dahulu dibuatnya - yang ternyata dapat menstabilkan kembali DNA manusia-manusia yang mempunyai kuasa-kuasa luar biasa ini."
"Bagaimana dia tahu ubat yang disintesiskannya dahulu lebih baik dari apa yang ada sekarang?"
"Dia telah melakukan eksperimen kepada bapa Fidzan... Dan ternyata ubatnya itu berjaya merubahnya menjadi normal. Halcyon Corp. mahu menggunakan ubat ini nanti untuk mengubah struktur DNA mereka yang didapati mempunyai mutasi agar kembali normal seperti bapa Fidzan."
"Kenapa?"
"Mereka tidak mahu melihat sebarang anomali... Anomali seperti Fidzan dan bapanya adalah satu ancaman kepada mereka. Fikiran mereka tidak dapat dikawal seperti manusia lain yang fikiran mereka dapat dikawal selama ini."
Fahmy menyuakan rambutnya ke belakang. Dia kenal benar dengan latar belakang bapa Fidzan. Segala-galanya tentang bapa Fidzan diketahuinya dari awal sehingga ke akhir - dari Muzaffar tatkala kali pertama mereka bertemu.
Fahmy tahu bahwa bapa Alias bukanlah seorang manusia yang normal. Tidak ada tentang dirinya yang normal.
"Kau perlu beritahu kepada aku apa yang telah ditemuinya apabila dia turun ke tingkat paling bawah Hospital Mentak Sendayu tempohari." Tanya Fahmy kali ini dengan suara yang lebih serius. "Aku perlu tahu apa yang telah dilihatnya sehingga mengganggu fikirannya."
"Masyarakat Kota Sendayu dicengkam oleh fikiran psikosis. Seperti seorang mendapat gangguan paranoid psikotik, mereka akan membahagikan dunia ini kepada dua bahagian yang berasingan - apa yang anggap sebagai suci atau baik dan apa yang mereka kelompokkan sebagai buruk, jahat dan akan sentiasa akan melakukan sesuatu untuk memusnahkan mereka...
"Apa yang telah dilihat pada hari itu adalah sesuatu yang dianggapnya sebagai satu kuasa jahat yang mampu memusnahkan apa sahaja yang dianggapnya baik lagi suci."
"Apa yang telah ditemuinya?"
"Dia telah menemui Zohak..." jawab Muzaffar berterus terang tanpa matanya sedikit pun berkelip apabila dia memberitahu hal ini kepada Fahmy. "Dia telah menemui bapanya di situ!"

Oleh Nizam Zakaria
2.1  Pemerolehan Pengetahuan menurut Pandangan Psikologi Behavioristik
Thorndike, salah seorang penganut paham psikologi behavior (dalam Orton, 1991:39; Resnick, 1981:12), menyatakan bahwa belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut.  Pernyataan Thorndike ini didasarkan pada hasil eksperimennya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, monyet, dan ayam.  Menurutnya, dari berbagai situasi yang diberikan seekor hewan akan memberikan sejumlah respon, dan tindakan yang dapat terbentuk bergantung pada kekuatan koneksi atau ikatan antara situasi dan respon tertentu.  Kemudian ia menyimpulkan bahwa semua tingkah laku manusia baik pikiran maupun tindakan dapat dianalisis dalam bagian-bagian dari dua struktur yang sederhana, yaitu stimulus dan respon.  Dengan demikian, menurut pandangan ini dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon.  Oleh karena itu, menurut Hudojo (1990:14) teori Thorndike ini disebut teori asosiasi.
Selanjutnya, Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick, 1981:13) menge-mukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut: (1) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila asosiasi antara stimulus dan respon sering terjadi, maka asosiasi itu akan terbentuk semakin kuat.  Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan --yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon— dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat; (2) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat.  Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat. 
Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hampir senada dengan hukum akibat dari Thorndike.  Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement).  Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus—respon akan semakin kuat bila diberi penguatan.  Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negatif.  Penguatan positif sebagai stimulus, apabila representasinya mengiringi suatu tingkah laku yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu.  Sedangkan penguatan negatif adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan karena cenderung menguatkan tingkah laku (Bell, 1981:151).
Gagne—yang  disebut Orton (1991:39) sebagai modern neobehaviourists—  membagi belajar dalam delapan jenis, yaitu dimulai dari belajar yang paling sederhana (belajar signal) dilanjutkan pada yang lebih kompleks (belajar S-R, rangkaian S-R, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi (belajar aturan dan pemecahan masalah).  Namun di dalam praktiknya, kedelapan tipe/jenis belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi stimulus-respon (Bell, 1981:108-123; Hudojo, 1990:25--30).    
Hal tersebut dapat dijelaskan dari pendapat Gagne (dalam Hudojo, 1990:32), bahwa setiap jenis belajar tersebut terjadi dalam empat tahap secara berurutan.  Tahap pertama pemahaman, setelah seseorang yang belajar diberi stimulus, maka ia berusaha untuk memahami karakteristiknya (merespon) kemudian diberi kode (secara mental).  Hasil ini selanjutnya digunakan untuk menguasai stimulus yang diberikan yaitu pada tahap kedua (tahap penguasaan).  Pengetahuan yang diperoleh dari tahap dua selanjutnya disimpan atau diingat, yaitu pada tahap ketiga (tahap pengingatan). Terakhir adalah tahap keempat, yaitu pengungkapan kembali pengetahuan yang telah disimpan pada tahap ketiga.
            Berdasarkan pandangan psikologi behavior di atas, dapat disimpulkan bahwa  pengetahuan seseorang itu diperoleh karena adanya asosiasi (ikatan) yang manunggal antara stimulus dan respon.  Hal ini sejalan dengan pendapat Hudojo (1998:4) bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh dari sekumpulan ikatan stimulus-respon, semakin sering asosiasi ini digunakan apalagi diberi penguatan, maka akan semakin kuat ikatan yang terjadi.  Jika dihubungkan dengan pengetahuan matematika, hal ini berarti semakin sering suatu konsep matematika (pengetahuan) diulangi maka konsep matematika itu akan semakin dikuasai.  Sebagai contoh, apabila seorang anak telah mengetahui bahwa 3 x 4 sama dengan 12, kemudian anak tersebut sering ditanya tentang hal itu, maka ia akan semakin paham dan bahkan secara otomatis dapat menjawab dengan benar apabila ditanya, karena ikatan stimulus yaitu ”3 x 4 “ dengan responnya yaitu “12” akan semakin kuat.

2.2  Pemerolehan Pengetahuan Menurut Pandangan  Psikologi Gestaltik
Psikologi gestalt dikembangkan di Eropa pada sekitar tahun 1920-an.  Psikologi gestalt memperkenalkan suatu pendekatan belajar yang berbeda secara mendasar dengan teori asosiasi (behaviorism).  Teori gestalt dibangun dari data hasil eksperimen yang sebelumnya belum dapat dijelaskan oleh ahli-ahli teori asosiasi.  Meskipun pada awalnya psikologi gestalt hanya dipusatkan pada fenomena yang dapat dirasa, tetapi pada akhirnya difokuskan pada fenomena yang lebih umum, yaitu hakikat belajar dan pemecahan masalah (Resnick & Ford, 1981:129-130).
            Berpikir sebagai fenomena dalam cara manusia belajar, diakui oleh para ahli psikologi gestalt sebagai sesuatu yang penting.  Menurut Kohler (dalam Orton, 1991:89) berpikir bukan hanya proses pengkaitan antara stimulus dan respon, tetapi lebih dari itu yaitu sebagai pengenalan sensasi atau masalah secara keseluruhan yang terorganisir menurut prinsip tertentu.  Katona, seorang ahli psikologi gestalt yang lain, juga tidak sependapat dengan belajar dengan pengkaitan stimulus dan respon.  Berdasarkan hasil penelitiannya ia membuktikan bahwa belajar bukan hanya mengingat sekumpulan prosedur, melainkan juga menyusun kembali informasi sehingga membentuk struktur baru menjadi lebih sederhana (Resnick & Ford, 1981:143-144).     
            Esensi dari teori psikologi gestalt adalah bahwa pikiran (mind) adalah usaha-usaha untuk menginterpretasikan sensasi dan pengalaman-pengalaman yang masuk sebagai keseluruhan yang terorganisir berdasarkan sifat-sifat tertentu dan bukan sebagai kumpulan unit data yang terpisah-pisah (Orton, 1990:89).  Para pengikut gestalt berpendapat bahwa sensasi atau informasi harus dipandang secara menyeluruh, karena bila dipersepsi secara terpisah atau bagian demi bagian maka strukturnya tidak jelas.  Menurut Katona (dalam Resnick& Ford, 1981: 139) penemuan struktur terhadap sensasi atau informasi diperlukan untuk dapat memahaminya dengan tepat.  Untuk lebih memahami uraian di atas, perhatikan ilustrasi pada Gambar 1.

Gambar 1 Konfigurasi Titik
Diadopsi dari Resnick & Ford (1981:130)

Pada setiap gambar di atas terdapat bundaran kosong menunjukkan posisi yang berbeda sesuai dengan konteks (organisasi perseptual).  Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa menurut pandangan gestaltist seseorang yang memperhatikan konfigurasi titik (bulatan) yang terdapat pada setiap gambar (a) sampai (d) tidak hanya sebagai kumpulan titik yang terpisah-pisah, tetapi titik itu teorganisir berdasarkan prinsip tertentu.  Dengan demikian, orang akan memahami setiap gambar itu sebagai kumpulan titik yang secara keseluruhan membentuk; (a) layang-layang (diamond), (b) segiempat, (c) segitiga, dan (d) segidelapan. 
      Jadi, menurut pandangan psikologi gestalt dapat disimpulkan bahwa seseorang memperoleh pengetahuan melalui sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara  menyeluruh kemudian menyusunnya kembali dalam struktur yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami.        


Tidak ada komentar:

Posting Komentar