Jumat, 07 September 2012


Jiwa sebagai Penggerak Hidup
Summa Theologica dan ”Konsep Mana” dalam Suku Dayak Iban


            Kehidupan manusia selalu ditandai oleh dua sisi pengalaman yang saling bertentangan. Di satu sisi, manusia mengalami kegembiraan dan kebahagiaan tetapi di sisi lain, manusia mengalami kesusahan, sakit dan penderitaan. Lalu apa yang menyebabkan dua sisi pengalaman ini ada dan terjadi dalam diri manusia? Satu jawaban mendasar bahwa dua elemen utama yaitu tubuh dan jiwa yang menentukan seluruh pengalama dan gerak hidup manusia. Pengalaman ditentukan sejauh bagaimana jiwa dan tubuh berfungsi dan bekerja sebagaimana mestinya dalam hidup. Lalu sejauh mana jiwa bekerja di dalam diri sehingga cara kerja jiwa terhadap tubuh lebih mendatangkan pengalaman kegembiraan dan sukacita daripada pengalaman kesusahan dan penderitaan? Tentunya ada banyak pandangan dan gagasan yang menyoroti topik dan persoalan ini tetapi dalam paper ini, penulis membatasi diri hanya melihat kemungkinan adanya dialog pemahaman antara Thomas Aquinas dan budaya lokal suku Dayak Iban dalam menggagas soal peran jiwa dalam diri manusia. Penulis menggambil ulasan Thomas Aquinas dari Summa Theologica, Ia, q. 75, a.1 dan didialogkan dengan paham “Mana” dalam religiusitas suku Dayak Iban yang kurang lebih keduanya mengulas tentang peran jiwa sebagai penggerak tubuh.

I.                   Jiwa sebagai Penggerak Tubuh dalam Summa Theologica Ia, q.75. art.1
Pemahaman mengenai konsep jiwa tidak jarang menuai banyak persoalan khususnya dalam sepanjang sejarah pemikiran manusia. Sorotan tentang konsep jiwa tidak hanya dilihat dari sudut arti; apa itu jiwa? Tetapi lebih pada bagaimana melihat peran dan kedudukan jiwa dalam diri manusia. Tiga keberatan yang dilontarkan dalam Summa Theoligica Ia,q.75,a.1 kurang lebih menyoroti hal ini. Pertanyaan mendasar dalam menggagas peran jiwa ialah  apakah jiwa merupakan tubuh?[i] Pertanyaan mendasar ini dilihat sebagai suatu usaha untuk mencermati  peran dan kedudukan jiwa. Untuk itulah, tiga keberatan yang muncul mempertanyakan serentak meminta pertanggung jawaban yang jelas perihal gagasan dasar di atas. Pernyataan keberatan pertama ialah jika jiwa merupakan tubuh, maka pemahaman yang timbul ialah jiwa dan tubuh itu identik sehingga kesatuan antara jiwa dan tubuh tidak dapat dibedakan lagi. Dalam arti ini, tidak ada pemisahan yang  jelas antara peran jiwa dan tubuh. Keberatan kedua dengan bertolak dari keberatan pertama, mempertanyakan lebih jauh; apakah pengetahuan dilihat sebagai produk dari keserupaan antara jiwa dan tubuh? Dan keberatan ketiga membuat semacam pengandaian bahwa jika ada pemisahan antara jiwa dan tubuh maka apakah ada kontak yang terjadi antara keduanya. Bagi penulis, ketiga keberatan ini sebenarnya menyentuh satu gagasan dasar yakni sejauh mana peran jiwa dalam diri manusia?
Sebelum menjawab tiga keberatan ini, Thomas Aquinas menunjukan prinsip dasar dari cara kerja jiwa. Bagi Thomas, jiwa merupakan prinsip pertama dari segala sesuatu yang hidup.[ii] Bagi Thomas, jiwa merupakan tubuh dalam arti jiwa tinggal dalam tubuh manusia tetapi tetap ada distingsi yang jelas antara peran jiwa dan tubuh. Berkenaan dengan gagasan ini, beberapa pemikir menyoroti secara tegas bahwa rupanya sesuatu tidak dapat bergerak jika tidak ada yang menggerakan di dalam dirinya.[iii] Dan ada yang berpendapat lain bahwa jika ada yang bergerak dan tidak ada yang digerakan maka inilah penyebab pertama yang bersifat kekal.[iv] Terhadap beberapa gagasan ini, penulis melihat bahwa, jiwa selalu dilihat sebagai penggerak utama yang memberi hidup bagi manusia. Untuk mengerti hal ini, Thomas menunjukan prinsip dasar untuk mengerti secara lebih mendalam tentang peran jiwa bahwa setiap gerak mesti selalu terdapat unsur potensi dan aktualitasnya.[v] Potensi selalu dilihat dari gerakan yang berasal dari jiwa sedangkan aktualitas selalu dilihat dari reaksi  atau respon tubuh atas gerakan yang berasal dari jiwa sebagai gerakan pertama.
 Sampai pada titik ini, penulis ingin menunjukan bahwa meskipun jiwa dan tubuh menampakan kesatuan antara keduanya tetapi tetap ada pemisahan peran atau fungsi yang jelas. Di sinilah letak kekeliruan dari pandangan yang memunculkan ketiga keberatan di atas gagasan dasar apakah jiwa merupakan tubuh. Untuk itulah, dalam menjawab keberatan pertama Thomas menggagas bahwa jiwa berperan sebagai penggerak pertama dan utama tubuh. Dan terdapat dua tesis utama mengapa jiwa sebagai penggerak utama tubuh yakni pertama, sesuatu yang bergerak karena ada yang bergerak di dalam dirinya. Atau dengan kata lain, penulis boleh mengatakan tubuh bisa bertindak atau melakukan sesuatu karena digerakan oleh sesuatu yang ada dalam diri manusia yakni jiwa. Tesis kedua, Jiwa dikatakan sebagai penggerak yang bergerak karena dia tinggal di dalam diri manusia. Hal ini menunjukan efektivitas kerja jiwa. Jiwa memainkan peran utama dalam menggerakan hidup seseorang tetapi efektivirtas peran jiwa akan terpenuhi   jika memainkan perannya dalam tubuh. Hal ini serentak menegaskan bahwa ada kesatuan dan kesinambungan peran antara jiwa dan tubuh. Selanjutnya dalam menjawab keberatan kedua, Thomas bertitik tolak dari gagasan, jiwa sebagai penggerak pertama yang menunjukan bahwa pengetahuan yang ada selalu dilihat dari produk relasi fungsional antara jiwa dan tubuh. Pengetahuan tidak akan muncul sebagai pengetahuan jika jiwa tidak mampu bekerja sama dengan tubuh. Misalnya otak sebagai intrumen berpikir akan menjadi efektif karena ada gerakan dari jiwa. Sesuatu yang diproduk secara empiris lahir dari kerja sama antara jiwa dan relaksasi tubuh. Dan dalam keberatan ketiga, Thomas Aquinas mengamini bahwa antara penggerak dan yang digerakan harus ada kontak tetapi Thomas menerangkan lebih jauh bahwa kontak antara keduaya harus memiliki dua kualitas yakni dari sudut “kuantitas” dan “kekuatan” dan hal ini hanya akan terjadi dalam tubuh. Misalnya api yang berkorbar selalu mengeluarkan panas karena di dalam dirinya mengandung energi panas. Potensi atau peran jiwa dalam diri manusia menentukan bagaimana proses aktualitas tubuh yang terpancar dari kedalamannya.
Dari pergulatan Thomas Aquinas, penulis menyoroti satu poin penting yang ditunjukan Thomas dalam menjawabi keberatan di atas bahwa jiwa sebagai sumber penggerak dari tubuh yang memungkinkan seseorang menjadi sungguh hidup. Hidup manusia tidak hanya ditentukan oleh kontraksi organ-organ dan reaksi tubuh semata tetapi terdapat kekuatan yang mengarahkan sekaligus menggerakan manusia untuk memberi arti pada hidupnya secara lebih mendalam.

II. Konsep Mana dalam Masyarakat Suku Dayak Iban
Suku Iban merupakan salah satu bagian suku dari suku dayak. Masyarakat suku ini seperti masyarakat dayak pada umumnya memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Hal ini terbukti dengan adanya banyak upacara yang dibuat untuk menghornati Petara, (suatu istilah untuk merujuk pada wujud tertinggi). Bagi mereka, wujud tertinggi bisa menjelma dalam bentuk apapun tetapi penjelmaan wujud tertinggi lebih khusus terjadi melalui Mana. Istilah Mana merujuk kepada sesuatu yang tidak berbentuk tetapi justru menunjukan manifestasi dari wujud tertinggi. Arti harafiah dari Mana ialah ”sakti” yaitu penggerak hidup atau materi jiwa-jiwa.[vi] Kata materi jiwa-jiwa tidak hendak menunjukan bahwa jiwa memiliki wujud tertentu atau memiliki bentuk tetapi merujuk pada suatu daya yang luar biasa yang terdapat dalam diri manusia. Selanjutnya dalam arti luas, Mana diartikan sebagai ”kekuatan menyeluruh di dalam tubuh manusia tetapi khusus kepada suatu elemen yang tidak dapat dilihat, ada dalam diri manusia tetapi memiliki kekuatan yang besar dalam diri”.[vii] Gagasan ini terungkap dengan jelas dalam teks asli doa yang didaraskan pada saat upacara pemulihan dari sakit[viii] :
O, sumangat[ix] diyau meh, apeie aku                        segala-galanya diduduki oleh jiwa
Jaga meh aku utai tingaru tinadai depedaah       penghuni yang tak kelihatan 
Oh, sumangat diyau meh uan apaie                        hai jiwa, tinggallah dalam diriku
Gawai aku tou nyamai-grai                                      buatlah aku bertumbuh
Anangbah nuan nudi kediree                                   jangan tinggalkan aku
Aku tou lema ndai bedayaa                                      sekalipun aku lemah
Mana bagi orang Iban selalu merujuk kepada jiwa yang memiliki arti kekuatan dalam diri yang menghidupkan manusia sehingga tidak mengherankan orang Iban percaya bahwa pola tindakan baik sosial maupun kultural selalu didorong oleh kekuatan ini. Selain itu, kekuatan dari dalam diri yang tak kelihatan mempengaruhi organ-organ vital lainnya yang sifatnya bertumbuh, misalnya orang Iban beranggapan bahwa rambut memberi kekuatan tertentu bagi setiap orang. Dalam arti inilah Mana tidak merujuk kepada organ vital, zat atau benda tertentu tetapi lebih sebagai kekuatan dalam diri yang menggerakan mereka untuk bertindak. Dan kekuatan itu, dipandang ada sejak lahir dan terus mengalir dan tidak tahu kapan akan hilang meskipun tubuh akan hancur dan membusuk. Bagi mereka, kekuatan tersebut menjadi penggerak baik untuk pertumbuhan fisik seseorang maupun kekuatan spiritual yang melindungi seseorang dari pengaruh jahat yang datang dari luar diri. Hal ini terdapat pada ungkapan orang dayak pada saat seorang bayi atau siapa saja yang sakit. Mereka biasanya mengucapkan doa ini:  
Kin Semangat[x]                                                                  jiwa, kembalilah!
Pulah ba nuan, usir meh jauh pemedah                   singkirkan segala penyakit
Pemedah nyah maii bahaya ngau aku                      segala penyakit yang membahayakan
O’ sumangat diyau meh nuan apeie aku                oh               jiwa selamatkan aku
Ayu k aku tauu slamat ngau nyamai grai                  tinggalah dalam diriku supaya selamat

Seruan ini bukan hanya sekadar diucapkan tetapi orang Iban melihat bahwa pada saat seseorang sakit, jiwa tidak menjadi benteng pertahanan yang kuat bagi tubuh. Sehingga apabila jiwa tidak bekerjasama baik dengan tubuh maka tubuh akan cepat terserang penyakit atau kuasa jahat. Karena itu, orang Iban selalu mengenakan simbol tertentu untuk mengungkapkan kekuatan (jiwa) tersebut seperti mengenakan gelang atau perhiasan pada anak yang sakit. Menurut kepercayaan mereka, apabila kuasa jahat melihat gelang atau perhiasan yang dikenakan anak tersebut, roh jahat akan lari dan tidak mendekati anak tersebut karena anak tersebut memiliki dalam dirinya kekuatan yang luar biasa (mana). Dari gambaran ini terlihat jelas bahwa jiwa yang diartikan sebagai kekuatan dalam diri melekat dalam tubuh dan mempengaruhi setiap pergerakan hidup manusia.
Konsekuensi lebih lanjut dari gagasan ini bahwa orang dayak Iban sungguh meyakini Mana (jiwa) memiliki keterkaitan dengan Petara (wujud tertinggi) karena apa yang disebut Mana ialah kekuatan dalam diri yang menantang segala hal buruk dan jahat yang membahayakan diri.[xi] Hal ini terungkap jelas dalam keseharian,  misalnya dalam arti tertentu ada kata-kata atau perbuatan yang tidak boleh diaktualisasikan karena sama sekali bertentangan dengan Mana misalnya kata-kata kutukan atau tindakan membunuh hewan langkah di hutan karena hal tersebut mendatangkan malapetaka bagi diri sendiri. Orang Iban beranggapan bahwa Petara (wujud tertinggi) sebagai pencipta hanya menginginkan adanya kebaikan dalam diri dan Mana menjadi benteng yang kuat dalam mempertahankan pertumbuhan nilai baik dalam diri manusia. Tidak mengherankan misalnya upacara Sampi (upacara mohon berkat untuk membuka ladang) atau upacara adat lainnya selalu dimulai dengan litani yang mengungkapkan doa kepada Petara untuk mendatangkan kebaikan dan kemakmuran bagi masyarakat Iban. Demikianpun, ketika masa-masa memanen tiba, orang Iban juga mengadakan upacara syukuran kepada Petara yang telah menumbuhkan dan mengusir segala hama yang menyerang tanaman sehingga memberikan hasil yang baik bagi mereka. Ungkapan religiusitas ini memberi arti bahwa kekuatan dari Petara tidak berada jauh dari mereka tetapi dekat dan tinggal dalam diri manusia. Kekuatan itu hanya bisa di sadari dan dikembangkan dalam diri.
Dalam relasinya dengan tubuh, masyarakat suku Iban melihat bahwa tubuh memang akan mati dan membusuk tetapi jiwa tidak akan mati. Manusia tetap hidup walaupun telah meninggal. Setelah melewati pintu gerbang kematian, jiwa seseorang meninggalkan begitu saja keterikatan dengan orang-orang di sekitarnya tetapi tetap membangun relasi yang baik dengan saudara-saudaranya. Untuk itulah, bagi mereka meskipun seseorang meninggal, dia tetap dianggap sebagai anggota suku Iban.
Berdasarkan dua pilar pemahaman tentang jiwa, penulis mencoba melihat kemungkinan akan adanya dialog antara kedua pemahaman ini:
Pertama, harus disadari bahwa jiwa sebagai prinsip pertama penggerak hidup manusia. Bahkan Thomas Aquinas melihatnya bukan hanya sebagai penggerak pertama kehidupan tetapi juga sebagai prinsip munculnya pengetahuan dalam kebersatuannya dengan tubuh. Sehubungan dengan ini, masyarakat suku Iban melihat bahwa jiwa sebagai kekuatan dalam diri yang menghidupkan manusia. Kedua kata yang digunakan di atas baik Thomas maupun Masyarakat Iban dalam menggunakan kata ”kekuatan” sebenarnya memiliki maksud yang sama bahwa hidup manusia harus mengalir dari jiwa. Prinsip penggerak dalam bahasa Thomas Aquinas atau prinsip kekuatan menurut masyarakat Iban serentak mengafirmasi  betapa pentingnya peranan jiwa dalam diri manusia. Tubuh akan menjadi hidup dan kuat berkat campur tangan jiwa demikianpun sebaliknya jiwa mendapat efektifitas dalam dirinya dan dunia berkat adanya dalam tubuh.
Kedua, jiwa memiliki sifat kekal dan tidak dibatasi oleh ruang dan situasi apapun termaksud dunia tidak mampu membatasi ruang gerak jiwa karena jiwa adalah penggerak yang bergerak. Tubuh akan mati, hancur dan menyatu kembali ke dalam tanah tetapi peziarahan jiwa tidak akan pernah berakhir. Hal ini ditunjukan oleh Thomas Aquinas dalam tesisnya bahwa sesuatu yang bergerak dan tidak digerakan memiliki sifat yang kekal dalam arti ini jiwa tidak dapa mati. Masyarakat suku Iban juga melihat hal yang khususnya kepercayaan adanya relasi antara orang yang telah meninggal dengan orang yang masih hidup. Dalam arti relasi yang dimaksudkan bukan menyangkut tubuh tetapi lebih sebagai sifat kekekalan jiwa yang tidak akan mati, sehingga mereka sering memberi makan untuk orang yang telah meninggal. Hal ini sebenarnya hanya menjadi saat dimana mereka mengenangkan orang terdekat yang telah meninggalkan mereka.  Tetapi relasi jiwa dan tubuh di dalam dunia dapat dikatakan sebagai proses penyatuan yang semantara sifatnya tetapi harus diakui bahwa jiwa mengalami kepenuhannya dalam keabadian ketika mengalami kebersatuan dengan Allah. Dengan kata lain, peziarahan hidup manusia di dunia harus mencapai kepenuhannya dalam kebersatuan dengan Allah.
Ketiga, titik temu lain bahwa di satu sisi, proses dialog ini menghantar dan mencerahkan masyarakat suku Iban sendiri yang beriman Katolik dalam mengelaborasikan nilai religiusitas kultural kedalam nilai religiusitas iman Katolik. Kadang  masyarakat suku Iban katolik membuat distingsi antara upacara adat dengan ritus Gerejawi. Sehingga tidak jarang jika pada musim tanam atau panen, mereka memiliki kecenderungan untuk tidak merayakan misa mingguan. Tetapi berdasarkan pengalaman penulis, bentuk inkulturatif dalam liturgi seperti Misa dengan intensi utama syukuran panen atau upacara memberkati benih dan sebagainya menjadi langkah awal dari dialog antara Gereja dengan budaya suku Iban. Kadang upacara Ibadat Sabda di lakukan di rumah Betang atau di ladang sebagai upaya Gereja untuk mendekatkan diri pada dimensi religiusitas kultural budaya setempat. Di sisi lain, Gereja harus selalu terbuka untuk berdialog dengan budaya setempat misalnya melihat tindakan kultis setempat seperti  ritus-ritus adat haruslah dilihat dalam kacamata iman. Upacara Sampi, misalnya sebagai ritus permohonan untuk membuka lahan baru tidak dilihat sebagai tindakan heresis atau penyembahan berhala tetapi sarana atau cara lain untuk mendekatkan diri pada Allah..
Selain memaparkan titik temu antara kedua pemahaman ini, penulis juga menyodorkan beberapa catatan kritis yang sekiranya menjadi celah yang tidak membuka kemungkina bagi terjadinya dialog antara dua pemahaman ini. Pertama, kepercayaan suku Iban dalam batasan tertentu cenderung untuk jatuh kepada ajaran animisme karena rasa religiusitas mereka sangat ditentukan oleh kebergantungan pada alam. Misalnya saja, adanya kepercayaan reinkarnasi jiwa atau anggapan bahwa semua mahkluk baik yang bernyawa maupun tidak memiliki jiwa. Tentunya pemahaman semacam ini, beranggapan bahwa setiap mahkluk hidup dan benda mati memiliki nilai jiwa yang sama padahal proses kebersatuan manusia dengan Allah sebagai tujuan akhir pencarian jiwa memiliki nilai yang jauh lebih tinggi dari ciptaan yang lain. Kedua, relevansi dari tindakan ini sebenarnya berguna bagi tugas pastoral untuk menyadarkan umat suku Iban dalam melihat hidup bahwa hidup tidak sepenuhnya bergantung pada alam tetapi membutuhkan usaha dan kerjakeras dalam merealisasikan dorongan jiwa untuk mengoptimalkan tubuh.
Dari seluruh rangkaian pemahaman ini, penulis hendak mengatakan bahwa relasi jiwa dan tubuh dalam diri manusia berlangsung sejauh tubuh masih hidup di dunia ini. Keterputusan antara tubuh jiwa dan tubuh terjadi kala tubuh mati. Selain itu, relasi jiwa dan tubuh bisa digambarkan sebagai proses aktualisasi tubuh atau organ tubuh yang bertitik tolak dari jiwa sebagai penggerak atau kekuatan serta menjadi sebab pertama munculnya pengetahuan.





[i] S.T.Ia, q. 75, a. 1, ad.1
[ii] Thomas Aquinas melihat bahwa kodrat jiwa sebagai penggerak dimana Jiwa yang tidak memiliki wujud, yang tidak dapat disentuh atau dilihat memiliki kekuatan yang  besar dalam memberi daya kepada tubuh manusia. Ibid.
[iii] Ibid.
[iv] Ibid. ad 2
[v] Ibid., ad. 3
[vi] Mgr. Van L. Van Kessel, Adat Istiadat Suku Dayak Sintang, 1975, 36
[vii] Ibid., 45
[viii] Ibid.,
[ix].Dr. Benny Pang dan Dr. Valentinus(ed.), Minum Sumber Sendiri, Malang:STFT Widya Sasana, 2011, hal. 267-268.
[x] Sumangat selalu diidentikan dengan jiwa yang diartikan sebagai kekuatan yang luar biasa. Sumangat merupakan kekuatan yang mengambil bagian dalam Mana. Sumangat selain terdapat dalam manusia juga terdapat dalam tumbuhan, hewan dan benda-benda keramat. Sumangat yang terdapat dalam manusia mempengaruhi seluruh organ tubuh. Ibid., hal. 33
[xi] Ibid., 34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar