Jumat, 07 September 2012

ABOSRSI SEBAGAI TINDAKAN PENYANGKALAN HAK DAN KEBEBASAN HIDUP (Penilaian atas fenomena Aborsi di Indonesia dalam terang Ajaran sosial Gereja)


ABOSRSI SEBAGAI TINDAKAN PENYANGKALAN
HAK DAN KEBEBASAN HIDUP
(Penilaian atas fenomena Aborsi di Indonesia dalam terang Ajaran sosial Gereja)



I. Pengantar
            Pada tahun-tahun terakhir ini, bangsa Indonesia seolah-olah dihantam badai yang besar. Berbagai persoalan datang silih bergantian. Persoalan itu tidak datang dari luar tetapi lahir dalam lingkaran kehidupan harian bangsa ini. Mulai dari persoalan moral, sosio kemasyarakatan, budaya  dan politik. Praktik korupsi merajela di seluruh tanah air, penyakit sosioreligius seperti fanatisme agama dengan munculnya FPI dan ormas-ormas islam fundamental serta berbagai aliran keras lainnya membuat bangsa ini resah. Dan tak terhitung praktik penyimpangan sosial lainnya membuat bangsa ini tidak lagi menjadi rumah yang aman untuk ditinggal, tanah Indonesia tidak nyaman lagi untuk dipijak serta lingkungan tidak menjadi asri untuk dinikmati.
Dari sekian persoalan yang telah disebutkan, sekiranya fenomena aborsi juga menjadi salah satu bagian dari keprihatinan sosial yang perlu disimak dan mendapat perhatian utama. Mungkin banyak orang berpikir termaksud para petinggi bangsa, persoalan aborsi merupakan persoalan sepele dan tidak mendesak untuk diperhatikan tetapi sebenarnya praktik aborsi yang kian hari kian meningkat mengajak semua pihak melihat pengaruhnya bagi moralitas dan nilai hidup bangsa. Tidak jarang, bangsa ini terlalu mengurus persoalan-persoalan besar seperti politik, ekonomi dan lupa akan persoalan moralitas hidup yang sekiranya menjadi dasar bagi pertumbuhan manusia Indonesia seutuhnya. Untuk itulah, dalam paper ini penulis mencoba membuat penelitian dan analisa sederhana mengenai praktik aborsi yang terjadi di Indonesia, apa sebab dan dampak bagi penghayatan nilai hidup pribadi dan masyarakat. Kemudian dalam terang ajaran sosial Gereja mencoba membuat penilaian atas praktik penyimpangan ini sambil membuat beberapa rekomendasi praktisuntuk penghayatan hidup pribadi, masyarakatdanbangsa.

II. Aborsi : Fakta dan Realitas yang ada di Indonesia
2.1. Tingkat PraktikAborsi
            Aborsi sering kali diartikan sebagai pembunuhan bayi, walaupun secara jelas Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau kurang dari 22 minggu (WHO 2000). Bertolak  dari arti semacam, kita dapat melihat dengan jelas bahwa aborsi merupakan tindakan pembunuhan terhadap janin yang sudah hidup. Dalam arti tertentu tindakan aborsi masuk dalam kategori tindakan yang tidak manusiawi karena melakukan tindakan pembunuhan. Fakta menunjukkan bahwa perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup beragam.  Hull, Sarwono dan Widyantoro (1993) memperkirakan antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi per 100 kehamilan.  Saifuddin (1979 di dalam Pradono dkk 2001) memperkirakan sekitar 2,3 juta.  Sedangkan sebuah studi terbaru yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan angka kejadian aborsi di Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta (Utomo dkk 2001).[1]
Dan dalam penelitian yang diadakan oleh dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia, angka kejadian aborsi di Indonesia berkisar 2-2,6 juta kasus pertahun, atau 43 aborsi untuk setiap 100 kehamilan.[2] Dari beberapa hasil penelitian ini terlihat jelas bahwa praktik dan tindakan aborsi terus mengalami peningkatan. Jika kita meyimak sejak tahun 1993 jumlah aborsi 18 orang dari 100 orang (1.000.000 jiwa) terus meningkat hingga mencapai 43 orang dari 100 kelahiran (2, 5 jutajiwa). Dalam beberapa tahun ini jumlah ini sekiranya tidak berubah atau bahkan ada beberapa ahli kesehatan dan kedokteran melihat ada kemungkinan praktik aborsi ini akan terus meningkat. Dengan angkah tindakan aborsi yang begitu tinggi, penulis melihat penyimpangan ini juga menjadi ukuran pudarnya moralitas manusia Indonesia dalam memandang dan menghargai hidup. Bukankah manusia Indonesia dikatakan manusia yang berbudi luhur dan menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan yang mengajarkan penghargaan yang tinggi akan hidup. Justru tindakan semacam ini menegasikan keberimanan manusia Indonesia.
Selain itu, fakta lain juga jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seAsia Tenggara menunjukkan bahwa AKI 373 per 100,000 kelahiran hidup 37 kali lebih tinggi dari pada Singapura (AKI 10), hampir 5 kali Malaysia (AKI 80), dan masih lebih tinggi dari Vietnam (AKI 160), Thailand (AKI 200), dan Filipina (AKI 280 per 100,000 kelahiran hidup). Apalagi kalau digunakan data perkiraan AKI yang dipakai UNICEF untuk Indonesia, yaitu 650 per 100,000 kelahiran hidup (Population Action International, The Reproductive Risk Index, 2001). Itu berarti bahwa tingkat aborsi yang terjadi di Indonesia begitu tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga.[3]Keprihatinan semacam ini bukanlah persoalan sepele. Pemerintah boleh menganggapnya sepele karena mereka hanya ingat pada persoalan manipulasi kekuasaan, politik dan kedudukan tanpa memperhatikan persoalan moral dan kemanusiaan yang terjadi di masyarakat. Upaya menenggakkan keadilan tidak hanya sebatas pada tataran politik, ekonomi, dan budaya tetapi terlebih pada upaya untuk mempertahankan moralitas bangsa yang menjadikan manusia Indonesia seutuhnya. Tingkat pertumbuhan penyimpangan aborsi ini mengajak semua pihak untuk meninjau kembali sistem hukum, adat, kebiasaan serta nilai-nilai agama untuk senantiasa membahurui dan mempertahankan nilai-nilai yang menantang  adanya praktik  hidup yang amoral.

3.3. Pelakudan Sebab terjadinya Aborsi
            Menurut wakil Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialias Andrologi Indonesia (Persandi), Prof DrdrWimpiePangkahila Sp, mengatakan kasus aborsi ini tersebar lebih banyak terjadi para perempuan usia remaja dengan perkiraan dari 2,5 juta kasus itu, antara 10%-20% pelakunya perempuan usia remaja. Ia mengungkapkan tingginya kasus aborsi di Indonesia itu kemungkinan semakin terbukanya perilaku remaja dalam berpacaran karena peran orang tua dan keluarga dalam mengawasi cenderung longgar. Baginya; "Berhubungan seks pada zaman modern sekarang ini tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang 'suci' atau sakral lagi. Jika ada kesepakatan dari si pria dan wanita, terjadilah yang namanya hubungan badan". Kalangan remaja pada zaman sekarang, kata Wimpie yang juga Ketua Umum Asosiasi Seksologi Indonesia (ASI) itu, menganggap seks pranikah bukan sesuatu yang menyimpang, dan cenderung mudah melakukan hubungan seks.[4]
Kehamilan dan praktik aborsi yang menimpah kaum muda dilhhat sebagai akibat Pergaulan Bebas Bagi Remaja. Dan yang perlu diketahui bahwa dari hasil penelitian di 12 kota di Indonesia termasuk Denpasar menunjukkan 10-31 % remaja yang belum menikah sudah melakukan hubungan seksual. Di kota Denpasar dari 633 pelajar Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA) yang baru duduk di kelas II, 155 orang atau 23,4 % mempunyai pengalaman hubungan seksual. Mereka terdiri atas putra 27 % dan putri 18 %. Data statistic nasional mengenai penderita HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 75 %  terjangkit hilangnya kekebalan daya tubuh pada usia remaja.[5]Kehamilan merupakan konsekuensi dari hubungan seks. Namun, para remaja yang melakukan seks pranikah itu cenderung menempuh jalan pintas jika terjadi kehamilan, yakni memutuskan melakukan aborsi.
Selain itu, tingginya kasus aborsi juga terjadi pada perempuan menikah karena kurang pengetahuan atau rendahnya informasi akan pemakaian kontrasepsi dan rendahnya kualitas pelayanan kontrasepsi. Hasil SDKI 1997 menunjukkan masih terdapat 9% pasangan usia subur (PUS) yang tidak ingin hamil tetapi tidak memakai kontrasepsi (BPS, BKKBN, Depkes, DHS 1998).  Mereka digolongkan sebagai kelompok unmet need.[6]  Walaupun kecil, kehamilan juga bisa terjadi pada mereka yang menggunakan kontrasepsi karena belum ada metode keluarga berencana (KB) yang secara sempurna mampu melindungi akseptor dari kehamilan, atau bisa juga karena akseptor tidak menggunakannya secara konsisten atau tepat.  Kegagalan KB terutama terjadi pada mereka yang menggunakan kontrasepsi alami (pantang berkala dan senggama terputus).
Remaja dan keluarga muda menjadi subyek utama yang melakukan tindakan aborsi. Hal ini terlihat jelas dalam prosentasi tindakan aborsi yang dilakuakan oleh kedua kelompok ini. Tentu ketika berbicara tentang aborsi, mata semua orang tertuju kepada kaum hawa karena merekalah yang melakukan tindakan tersebut. Tetapi apakan betul? Jawabanya ialah tidak! Moralitas bejat semacam ini sebenarnya lahir dari kaum pria yang seringkali mengintimidasi dan memaksa kaum perempuan untuk melakukan aborsi. Dan biasanya ini lebih terjadi pada kaum muda. Dengan segala cara kaum pria kadang tidak mau bertanggung jawab atas perbuatan bejatnya. Tidak mengherankan kaum perempuan merasa tertekan dan tidak punya harapan. Ketakutan akan masa depan dan ancaman baik dari diri maupun drari luar diri membuat perempuan mengambil jalan pintas dengan melakukan tindakan aborsi. Ada banyak alasan yang bisa ditemukan sebagai alasan terjadinya tindakan aborsi tetapi sekiranya ini menjadi keprihatinan bersama dan diusahakan untuk diatasi bersama.

2.3. Dampak Tindakan Aborsi
            Analisis lebih jauh data SKRT 1995 menyebutkan aborsi berkontribusi terhadap 11,1% dari kematian ibu di Indonesia, atau satu dari sembilan kematian ibu. Angkah sebenarnya mungkin jauh lebih besar lagi, seperti dikemukakan oleh Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI yang secara informal memperkirakan kontribusi aborsi terhadap kematian ibu di Indonesia sebesar 50%.[7] Ukuran semacam ini menjadi mungkin terjadi karena praktik aborsi di Indonesia kadang tidak sesuai dengan aturan kesehatan yang tepat. Dan diperkirakan ibu atau anak-anak perempuan yang melakukan aborsi mengalami ganguan psikis dan mental sehingga membuat mereka tidak berkembang dengan baik dalam pergaulan dan relasi sosial. Menurut penelitian, seorang perempuan yang melakukan aborsi akan mengalami beberapa gejala seperti penderitaan kehilangan harga diri (82 %), berteriak-teriak histeris (51%), mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%), ingin bunuh diri (28%),terjerat obat-obat terlarang (41%),dan tidak bisa menikmati hubungan seksual (59%).[8] Dari penelitian inilah terlihat jelas bahwa dampak dari tindakan aborsi lebih berakibat buruk bagi kaum perempuan sebagai korban aborsi. Selain itu juga keluarga, sekolah atau universitas dimana subyek tersebut tinggal atau mengenyam pendidikan.
                                         
III. Penilaian atas tindakan Aborsi di Indonesia dalam Terang ASG
3.1. Menyalahgunakan kebebasan
            GS no. 17 “Adapun manusia hanya dapat berpaling kepada kebaikan bila ia bebas. Kebebasan itu oleh manusia amat sekarang sangat dihargai serta dicari dengan penuh semangat memang tepatlah begitu. Tetapi sering pula orang-orang mendukung kebebasan dengan cara yang salah dan mengartikan sebagai kesewenang-wenangan untuk berbuat apapun sesuka hatinya.[9] Tindakan aborsi selalu dilihat sebagai tindakan penyalahgunaan kebebasan. Jika kita bertolak dari sebab aborsi yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas, kita dapat melihat dengan jelas penyimpangan akan nilai semacam ini. Pada zaman lampau, ketika Indonesia masih begitu kuat memegang tradisi dan adat istiadat, kasus semacam ini pasti jarang terjadi atau bahkan menjadi tabu dalam masyarakat.
Adat istiadat pada saat itu masih melarang kaum perempuan berkeliaran atau bahkan keluar rumah tanpa ada alasan. Tempat dan hidup mereka sebelum menikah adalah tinggal di dalam rumah. Jika ada seorang ingin menikahi seorang gadis, dia hanya boleh menemui gasis tersebut di rumahnya dan atas restu kedua orang tuanya. Di satu sisi adat istiadat semacam ini dilihat tidak relevan lagi tetapi dalam arti tertentu jika pendidikan nilai dalam keluarga bertolak dari hal semacam ini maka pendidikan anak dalam keluarga akan diarahkan dengan baik. Juga di samping itu, adat istiadat semacam ini menjauhkan mereka dari pergaulan bebas dan praktik amoral lainnya.Tetapi selanjutnya gerakan emansipasi wanita mengeluarkan perempuan dari kungkungan semacan ini. Dan angin segar kebebasan yang dialami perempuan sekarang seolah-olah disalahartikan sehingga menimbulkan berbagai penyimpangan. Kita tidak dapat menyalahkan perempuan tetapi perhatian kita harus tertuju pada sikap penafsiran yang sewenang atas kebebasan menimbulkan berbagai persoalan moral.
            Pergaulan bebas anak muda di satu pihak dilihat sebagai wujud aktualiasasi kebebasan yang membawa aroma positif untuk perkembangan kaum muda sendiri tetapi di sisi lain membawa kehancuran bagi masa depan mereka. Dengan adanya kasus hamil di luar nikah dan tindakan aborsi justru membuat anak muda sendiri menjadi tidak bebas lagi. Penyimpangan semacam ini secara tidak langsung menggangu perkembangan psikis, sosial, emosiolan dan intelektual anak. Kaum muda sendiri terlebih khusus para perempuan setelah melakukan tindakan aborsi mengalami situasi yang mencekam. Mereka pasti dipenjarakan oleh perasan mereka sendiri seperti rasa bersalah, takut dan rasa putus asa. Sekiranya hasil penelitian tentang akibat aborsi menunjukan secara jelas bahaya buruk yang dialami oleh para perempuan yang melakukan tindakan aborsi.
Hal yang serupa terjadi pada perempuan dewasa yang sudah menikah. Karena tidak menginginkan banyak anak dan mengahadapi kehamilan yang tak diduga-duga karena berbagai alasan maka cara yang terbaik untuk mewujudkan hal tersebut dengan cara aborsi. Pertanyaan muncul dari penyalahgunaan kebebasan semacam ini, apakah manusia memiliki hati nurani? Kebebasan justru berkaitan erat dengan hati nurani.[10] Perwujudan kebebasan harus berangkat dari pemurnian hati nurani. Setiap tindakan tidak hanya berangkat dari keinginan, kepuasan, dan kenikmatan tetapi lebih jauh dari itu memperhatikan nilai hidup di dalamnya. Jika orang hanya sekadar memuaskan keinginan, bukankah itu sama seperti binatang yang hanya menggunakan nalurinya untuk memuaskan apa yang menjadi keinginan. Manusia masih memiliki hati nurani untuk memurnikan dan menyaring segala tindakan mansuai. Setiap tindakan yang dilakukan harus mengalir dari hati nurani yang murni.

3.2. Aborsi sebagai Tindakan Membinasakan Kehidupan
GS 27 mengatakan “Konsili menekankan sikap hormat terhadap manusia sekalipun manusia masih menjadi janin. Sikap hormat ini ditujukan kepada semua orang sehingga setiap orang wajib memandang sesamanya takterkecuali sebagai “dirinya yang lain” terutama mengindahkan perihidup mereka beserta upaya-upaya yang mereka butuhkan untuk hidup sebagaimana layaknya. [11]Secara tidak langsung aborsi merupakan tindakan membunuh kehidupan. Sekiranya dalam moralitas kristiani dikatakan tak seorangpun yang berhak membunuh manusia kecuali Tuhan sendiri karena Tuhanlah pemilik hidup. Tindakan semacam ini tidak hanya masuk dalam kategori dosa tetapi juga menyalahi hak hidup setiap orang.[12] Dalam undang-undang dasar 1945 juga dikumandangkan penghargaan hak hidup setiap orang. Dan dalam dunia kesehatan khususnya WHO, menetapkan bahwa janin yang berumur 2 minggu sudah dikatakan manusia maka tindakan aborsi adalah tindakan membunuh manusia. Gereja Katolik secara radikal melihat bahwa ketika terjadi pembuahan pada saat itulah, janin tersebut dikataka buah hasil ciptaan Allah. Untuk itulah tindakan aborsi secara tidak langsung merupakan suatu tindakan menghilang hak hidup orang lain.[13] Dimana letak keadilan jika kita mengorbankan citra Allah yang dipercayakan oleh Allah sendiri hanya untuk mempertahankan harga diri dan gengsi. Dan biasanya ini terjadi dalam lingkungan kaum muda dimana kaum muda yang belum siap melahirkan dan dengan berbagai ancaman membuat anak muda tidak berpikir matang dalam memutuskan.

3.3. Ketidakadilan sebagai Akibat lemahnya Hukum di Indonesia
Persoalan lemahnya hukum terletak pada kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita yang merupakan peninggalan masa kolonialisasi Belanda melarang keras dilakukannya aborsi dengan alasan apapun sebagaimana diatur dalam pasal 283, 299 serta pasal 346 - 349. Bahkan pasal 299 intinya mengancam hukuman pidana penjara maksimal empat tahun kepada siapa saja yang memberi harapan kepada seorang perempuan bahwa kandungannya dapat digugurkan. Padahal pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan tersebut dengan tujuan untuk melindungi perempuan dari kematian karena aborsi yang tidak aman karena saat itu ilmu kedokteran belum berkembang pesat dan kebanyakan perempuan meminta pelayanan kepada tenaga tradisional.
Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 pasal 15 seperti sedikit  memberikan peluang dengan mengatakan bahwa dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Namun UU Kesehatan juga tidak menjelaskan apa yang dimaksud tindakan medis tertentu dan kondisi bagaimana yang dikategorikan sebagai keadaan darurat. Mengacu pada dua hukum di atas, jelas dapat disimpulkan bahwa peraturan di Indonesia sama sekali tidak memberikan celah untuk pelayanan aborsi bisa dilakukan.  Ditambah lagi dengan sumpah dokter Indonesia yang masih mengikuti sumpah Hiprokrates “akan menghormati makhluk hidup insani sejak pembuahan dimulai.” Kondisi ini ternyata tidak mampu mencegah perempuan untuk mencari pelayanan penghentian kehamilan. Terlihat dari banyaknya permintaan tindakan ini dilakukan. Status ilegal aborsi ini justru menyebabkan banyak perempuan yang tidak mendapatkan akses pelayanan aborsi yang aman. Dan tindakan ilagal tersebut dalam dunia perkotaan biasanya dilakukan oleh para dokter dan bidan sendiri karena desakan ataupun suapan dengan bayaran mahal. Tentu jika disoroti dari sudut ASG, tindakan semacam ini sudah menimbulkan prinsip ketidakadilan dimana orang mecari upahan tambahan dengan melakukan praktik yang ilegal apalagi sampai harus membinasakan kehidupan.[14] Selain itu, hukum yang lemah akan terus menciptakan praktik ketidakadilan. Hal ini bukan hanya terjadi dalam dunia kesehatan tetapi juga dalam bidang-bidang lain seperti politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Problematika yang terjadi di Indonesia yang tidak pernah teratasi karena hukum dan subyek pembuat hukum tidak memiliki kewibawaan. Hukum seolah-olah diperjualbelikan.  

IV. Rekomendasi Pastoral dan Penutup
            Ada banyak hal yang bisa dikerjakan oleh Gereja dan petugas pastoral dalam mengatasi keprihatinan moral semacam ini. Tugas dan perutusan para petugas pastoral tidak lagi hanya berhenti seputar altar atau merayakan perayaan liturgi tetapi juga terlibat dalam persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Untuk itu, beberapa langka pastoral yang bisa diambil dalam mencegah terjadi tindakan aborsi oleh kaum remaja dan keluarga muda.


4.1. Menaruh perhatian pada Pembinaan Iman kaum muda
            Gereja atau sekurang-kurangnya paroki harus memberi tempat istimewa bagi pembinaan kaum muda. Gereja harus menyediakan banyak wadah untuk menampuang anak muda agar mereka tidak lari kepada pergaulan bebas dan tidak melakukan hal-hal yang terlarang. Kelompok OMK, KMK dan sebagainya menjadi wadah yang baik bagi pembinaan iman kaum muda. Penulis meyakini bahwa dengan terlibat dalam kelompok ini dan disertai dengan pembinaan iman yang intensif, kaum muda diarahkan untuk  menghargai hidup dan menjunjung tinggi moralitas hidup manusia. Kebanyakan anak-anak katolik yang terlibat dalam kegiataan pembinaan iman yang berkelanjutan memiliki bekal iman dan nilai-nilai hidup yang kuat. Hal inilah yang membuat mereka tidak terpengaruh dengan segala macam pengaruh yang kurang baik dari luar. Selain itu, sistem pendidikan Indonesia juga harus ditata lebih baik sehingga pendidikan budi pekerti dan seksualitas mendapat tempat dan porsinya yang sesuai sehingga perkembangan seksualitas dan moralitas anak sungguh-sungguh diarahkan.

4.2. Pembinaan dalam Keluarga
            Pendidikan nilai yang pertama dan utama harus terjadi dalam keluarga. Keluarga-keluarga pada zaman modern sekarang tidak boleh menutup mata terhadap pendidikan nilai khususnya pendidika seksualitas dan pergaulan. Sistem pendidikan dan pembinaan dalam keluarga sangat menentukan proses pendidikan pada jenjang selanjutnya. Anak yang diberi kebebasan sepenuh-penuhnya oleh orang tua tanpa dikendalikan akan cenderung jatuh dalam pergaulan bebas. Pastoral yang mesti dijalankan oleh Gereja saat ini tidak hanya terbatas pada pastoral parokial tetapi juga pastoral kategorial khususnya pembinaan keluarga-keluarga muda. Kendala yang ditemukan dalam berpastoral bagi keluarga muda ialah benturan antara kerja dan kegiatan iman. Tidak jarang banyak keluarga muda yang sibuk dalam kerja dan kurang memperhatikan hidup imannya. Kesibukan kerja membuat keluarga muda tidak meluangkan waktu yang banyak berkumpul bersama anak-anak. Hal inilah yang membuat anak kehilangan perhatian dan mencarinya sendiri dengan membangun relasi yang tidak sehat dan menyimpang. Untuk itulah, para petugas pastoral sekiranya lebih proaktif untuk menggerakan keluarga muda dan anak-anak muda agar dapat membina iman dalam keluarga dengan baik.



4.3.  Sikap Gereja menolak secara tegas Tindakan Aborsi
            Hukum yang lengah dan tidak jelas akan membuat masyarakat bertindak semena-mena. Demikianpun peraturan dan sikap Gereja dalam menanggapi persoalan seperti ini. Gereja di satu sisi tidak bisa menutup mata terhadap persoalan ini. Sikap profetis Gereja harus ditunjukan dalam situasi semacam ini. Adanya upaya dialog dengan berbagai pihak, seminar, sarasehan, penyuluhan harus mesti digalakan Gereja agar setiap saat masyarakat dan umat sadar akan betapa buruknya tindakan aborsi. Di sisi lain, Gereja harus secara tegas menolak tindakan dan praktik semacam ini. Hal ini bertujuan agar manusia sadar bahwa hidup dan pengahayatan akan nilai-nilai mendasar harus dijunjung tinggi.
            Akhirnya tindakan aborsi merupakan keprihatinan yang mesti disikapi secara serius oleh semua pihak baik pemerintah, Gereja maupun masyarakat. Tindakan dan praktik semacam ini hanya bisa berhenti jikalau setiap pihak baik keluarga, sekolah, Gereja, Pemerintah menjalankan perannya sebagaimana mestinya dalam pembinaan dan penyadaran terus menerus akan pentingnya nilai hidup. Nyawa dan hak hidup setiap orang harus berada di atas segala kepentingan manusia lainnya. Bangsa Indonesia akan menuju bangsa yang bermoral jika moralitas hidup berbangsa dibenahi dari keprihatinan-keprihatinan yang dianggap sepele. Keadilan yang sejati akan bertumbuh di tanah air ini jika bertolak dari penghargaan hak-hak kodrati manusia.

           

Daftar Pustaka :

Buku:
Peschke, Karl-Heinz, SVD, Etika Kristiani Jilid IV, Maumere: Ledalero, 2003
Schultheis,  Michael J., Sj, dkk, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1993


Dokumen Gereja:
Seri Dokumen Gerejawi, Ajaran Sosial Gereja : Gadium et Spes, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005, hal. 288


Data Internet:
http://www.gotquestions.org/indonesia/aborsi-Alkitab.html, akses tgl 29 Mei 2012.
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/public-speaking/2275092-akibat-pergaulan-bebas-di-kalangan/, akses tgl 28 Mei 2012
http://www.inilah.com/read/detail/121566/aborsi-di-indonesia-26-juta-pertahun/, aksestgl 31 Mei 2012
 http://www.inilah.com/read/detail/121566/aborsi-di-indonesia-26-juta-pertahun/, akses 31 Mei 2012
http://health.detik.com/read/2012/05/30/172843/1928697/775/pelaku-aborsi-yang-ketahuan-bisa-dihukum-maksimal-10-tahun, akses 30 Mei 2012
 http://www.gotquestions.org/indonesia/aborsi-Alkitab.html, akses 29 Mei 2012



NAMA           : APOLINARIS DARI BANI
NPM               : 1101006




[3]Baginya "Sekitar 30% di antarakasusaborsiitudilakukanolehpendudukusia 15-24. Itu berarti yang melakukan tindakan aborsi dan yang melakukan hubungan seks di luar nikah adalah anak-anak SMA dan anak-anak kuliah. Pergaualan yang bebas membuat mereka tidak bertumbuh menjadi anak yang dewasa dan tahu menilai mana yang baik untuk masa depan dan mana yang tidak baik untuk masa depan. Akibat dari pergaulan bebas justru membuat anak-anak remaja kehilangan masa depan. Bagi mereka seks bukan  lagi sesuatu yang suci lagi sehingga melakukan hubungan seks merupakan hal yang wajar dalam berpacaran. http://health.detik.com/read/2012/05/30/172843/1928697/775/pelaku-aborsi-yang-ketahuan-bisa-dihukum-maksimal-10-tahun, akses 30 Mei 2012
[4]Ibid.
[6]Ibid.                                
[8]Ibid.
[9] Seri Dokumen Gerejawi, Ajaran Sosial Gereja : Gadium et Spes, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005, hal. 288
[10] GS 16 “di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum yang tidak dapat ditemukannya dari dirinya sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati selalu menyeruhkan kepadanya untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik dan untuk menghindari yang jahat”. Di sini ditunjukan secara jelas bagaimana fungsi hati nurani. Tindakan aborsi dilihat sebenarnya sebagai suatu tindakan yang menyimpang hati nurani. Manusia pada zaman sekarang khususnya anak muda tidak mampu lagi mengasa kepekaan akan hati nurani. Kebebasan hanya diartikan sebagai tindakan melakukan sebebas-bebasnya tanpa ada landasan hidup yang bertolak dari hati nurani. Ibid., hal 287
[11]Ibid., hal. 302
[12]Ibid., hal. 285
[13] Alkitab tidak pernah secara khusus berbicara mengenai soal aborsi. Namun demikian, ada banyak ajaran Alkitab yang membuat jelas apa pandangan Allah mengenai aborsi. Yeremia 1:5 memberitahu kita bahwa Allah mengenal kita sebelum Dia membentuk kita dalam kandungan. Mazmur 139:13-16 berbicara mengenai peran aktif Allah dalam menciptakan dan membentuk kita dalam rahim. Keluaran 21:22-25 memberikan hukuman yang sama kepada orang yang mengakibatkan kematian seorang bayi yang masih dalam kandungan dengan orang yang membunuh. Hal ini dengan jelas mengindikasikan bahwa Allah memandang bayi dalam kandungan sebagai manusia sama seperti orang dewasa. Bagi orang Kristen aborsi bukan hanya sekedar soal hak perempuan untuk memilih. Aborsi juga berkenaan dengan hidup matinya manusia yang diciptakan dalam rupa Allah (Kejadian 1:26-27; 9:6).http://www.gotquestions.org/indonesia/aborsi-Alkitab.html, akses tgl 29 Mei 2012.




[14] Michael J. Schultheis, Sj, dkk, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar