ABOSRSI
SEBAGAI TINDAKAN PENYANGKALAN
HAK DAN
KEBEBASAN HIDUP
(Penilaian atas fenomena Aborsi di Indonesia dalam
terang Ajaran sosial Gereja)
I. Pengantar
Pada tahun-tahun terakhir ini,
bangsa Indonesia seolah-olah
dihantam badai yang besar. Berbagai persoalan
datang silih bergantian. Persoalan itu tidak
datang dari luar tetapi lahir dalam lingkaran kehidupan harian bangsa ini. Mulai dari
persoalan moral, sosio kemasyarakatan,
budaya dan politik. Praktik korupsi merajela di seluruh
tanah air, penyakit sosioreligius
seperti fanatisme agama dengan
munculnya FPI dan ormas-ormas islam fundamental serta berbagai aliran keras
lainnya membuat bangsa ini resah. Dan tak terhitung praktik penyimpangan sosial
lainnya membuat bangsa ini tidak lagi menjadi rumah yang aman untuk ditinggal,
tanah Indonesia tidak nyaman lagi
untuk dipijak serta lingkungan tidak menjadi asri untuk dinikmati.
Dari
sekian persoalan yang telah disebutkan, sekiranya fenomena aborsi juga menjadi salah
satu bagian dari keprihatinan sosial yang perlu disimak dan mendapat perhatian
utama. Mungkin banyak orang berpikir termaksud para petinggi bangsa, persoalan
aborsi merupakan persoalan sepele dan tidak mendesak untuk diperhatikan tetapi
sebenarnya praktik aborsi yang kian hari kian meningkat mengajak semua pihak melihat pengaruhnya bagi moralitas dan nilai hidup
bangsa. Tidak jarang, bangsa ini terlalu mengurus persoalan-persoalan
besar seperti politik, ekonomi dan lupa akan persoalan moralitas hidup yang
sekiranya menjadi dasar bagi pertumbuhan manusia Indonesia seutuhnya. Untuk
itulah, dalam paper ini penulis mencoba membuat penelitian dan analisa
sederhana mengenai praktik aborsi yang terjadi di Indonesia, apa sebab dan
dampak bagi penghayatan nilai hidup pribadi dan masyarakat. Kemudian dalam
terang ajaran sosial Gereja mencoba membuat
penilaian atas praktik penyimpangan ini sambil membuat
beberapa rekomendasi praktisuntuk penghayatan hidup pribadi,
masyarakatdanbangsa.
II. Aborsi : Fakta dan Realitas yang ada di Indonesia
2.1. Tingkat PraktikAborsi
Aborsi
sering kali diartikan
sebagai pembunuhan bayi, walaupun secara jelas Badan Kesehatan Dunia (WHO)
mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup
di luar kandungan atau kurang dari 22 minggu (WHO 2000). Bertolak dari
arti semacam, kita dapat
melihat dengan jelas bahwa aborsi
merupakan tindakan pembunuhan terhadap janin yang sudah hidup. Dalam arti
tertentu tindakan aborsi masuk dalam
kategori tindakan yang tidak manusiawi karena melakukan tindakan
pembunuhan. Fakta
menunjukkan
bahwa perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup beragam. Hull, Sarwono dan Widyantoro (1993)
memperkirakan antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi per 100 kehamilan. Saifuddin (1979 di dalam Pradono dkk 2001)
memperkirakan sekitar 2,3 juta.
Sedangkan sebuah studi terbaru yang diselenggarakan oleh Pusat
Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperkirakan angka kejadian aborsi
di Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta (Utomo dkk 2001).[1]
Dan dalam penelitian yang diadakan oleh dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Indonesia, angka kejadian aborsi di Indonesia
berkisar 2-2,6 juta kasus pertahun, atau 43
aborsi untuk setiap 100 kehamilan.[2] Dari beberapa
hasil penelitian ini terlihat jelas bahwa praktik dan tindakan aborsi terus mengalami
peningkatan. Jika kita meyimak sejak tahun 1993
jumlah aborsi 18 orang dari 100 orang (1.000.000 jiwa) terus meningkat hingga mencapai
43 orang dari 100 kelahiran (2, 5 jutajiwa). Dalam beberapa tahun ini jumlah ini
sekiranya tidak berubah atau bahkan ada beberapa ahli kesehatan dan kedokteran melihat
ada kemungkinan praktik aborsi ini akan terus meningkat. Dengan
angkah tindakan aborsi yang begitu tinggi,
penulis melihat penyimpangan ini juga menjadi ukuran pudarnya
moralitas manusia Indonesia dalam memandang dan menghargai
hidup. Bukankah manusia Indonesia dikatakan manusia yang berbudi luhur dan menjunjung tinggi
nilai-nilai keagamaan yang mengajarkan penghargaan yang tinggi akan hidup. Justru tindakan semacam ini menegasikan keberimanan manusia
Indonesia.
Selain itu, fakta lain juga jika
dibandingkan dengan negara-negara
tetangga seAsia Tenggara menunjukkan bahwa AKI
373 per 100,000 kelahiran hidup 37 kali lebih tinggi dari pada Singapura (AKI
10), hampir 5 kali Malaysia (AKI 80), dan masih lebih tinggi dari Vietnam (AKI
160), Thailand (AKI 200), dan Filipina (AKI 280 per 100,000 kelahiran hidup).
Apalagi kalau digunakan data perkiraan AKI yang dipakai UNICEF untuk Indonesia,
yaitu 650 per 100,000 kelahiran hidup (Population Action International, The
Reproductive Risk Index, 2001).
Itu berarti bahwa tingkat aborsi yang terjadi di
Indonesia begitu tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga.[3]Keprihatinan
semacam ini bukanlah persoalan sepele. Pemerintah boleh menganggapnya sepele
karena mereka hanya ingat pada persoalan manipulasi
kekuasaan, politik dan kedudukan tanpa
memperhatikan persoalan moral dan kemanusiaan yang terjadi di masyarakat. Upaya
menenggakkan keadilan tidak
hanya sebatas
pada tataran politik, ekonomi, dan budaya tetapi terlebih pada upaya untuk
mempertahankan moralitas bangsa yang menjadikan
manusia Indonesia seutuhnya. Tingkat pertumbuhan
penyimpangan aborsi ini mengajak semua pihak untuk meninjau kembali sistem
hukum, adat, kebiasaan serta nilai-nilai agama untuk senantiasa membahurui dan mempertahankan nilai-nilai yang
menantang adanya praktik hidup yang amoral.
3.3. Pelakudan Sebab terjadinya Aborsi
Menurut wakil Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialias Andrologi Indonesia
(Persandi), Prof DrdrWimpiePangkahila
Sp, mengatakan kasus aborsi ini tersebar lebih banyak
terjadi para perempuan usia remaja dengan perkiraan dari
2,5 juta kasus itu, antara 10%-20%
pelakunya perempuan usia remaja. Ia mengungkapkan
tingginya kasus aborsi di Indonesia itu kemungkinan semakin terbukanya perilaku
remaja dalam berpacaran karena peran orang tua dan keluarga dalam mengawasi
cenderung longgar. Baginya; "Berhubungan
seks pada zaman modern sekarang ini tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang
'suci' atau sakral lagi. Jika ada kesepakatan dari si pria dan wanita, terjadilah
yang namanya hubungan badan".
Kalangan
remaja pada zaman sekarang, kata Wimpie yang juga Ketua Umum Asosiasi Seksologi Indonesia (ASI) itu,
menganggap seks pranikah bukan sesuatu yang menyimpang, dan cenderung mudah
melakukan hubungan seks.[4]
Kehamilan dan praktik aborsi yang menimpah kaum muda dilhhat
sebagai akibat Pergaulan Bebas Bagi Remaja. Dan yang perlu diketahui bahwa dari
hasil penelitian di 12 kota di Indonesia termasuk Denpasar menunjukkan 10-31 %
remaja yang belum menikah sudah melakukan hubungan seksual. Di kota Denpasar
dari 633 pelajar Sekolah Menengah Tingkat Atas (SLTA) yang baru duduk di kelas
II, 155 orang atau 23,4 % mempunyai pengalaman hubungan seksual. Mereka terdiri
atas putra 27 % dan putri 18 %. Data statistic nasional mengenai penderita
HIV/AIDS di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 75 % terjangkit hilangnya kekebalan daya tubuh pada
usia remaja.[5]Kehamilan merupakan konsekuensi
dari hubungan seks. Namun, para remaja yang melakukan seks pranikah itu
cenderung menempuh jalan pintas jika terjadi kehamilan, yakni memutuskan
melakukan aborsi.
Selain itu, tingginya kasus
aborsi juga terjadi pada
perempuan menikah karena kurang pengetahuan
atau rendahnya
informasi akan pemakaian
kontrasepsi dan rendahnya kualitas pelayanan kontrasepsi. Hasil SDKI 1997 menunjukkan masih
terdapat 9% pasangan usia subur (PUS) yang tidak ingin hamil tetapi tidak
memakai kontrasepsi (BPS, BKKBN, Depkes, DHS 1998). Mereka digolongkan sebagai kelompok unmet need.[6] Walaupun kecil, kehamilan juga bisa terjadi
pada mereka yang menggunakan kontrasepsi karena belum ada metode keluarga
berencana (KB) yang secara sempurna mampu melindungi akseptor dari kehamilan,
atau bisa juga karena akseptor tidak menggunakannya secara konsisten atau
tepat. Kegagalan KB terutama terjadi
pada mereka yang menggunakan kontrasepsi alami (pantang berkala dan senggama
terputus).
Remaja
dan keluarga muda menjadi subyek utama yang
melakukan tindakan aborsi. Hal ini terlihat jelas dalam prosentasi
tindakan aborsi yang dilakuakan oleh kedua kelompok ini.
Tentu ketika berbicara tentang aborsi, mata semua orang tertuju kepada kaum
hawa karena merekalah yang melakukan tindakan tersebut. Tetapi apakan betul?
Jawabanya ialah tidak! Moralitas bejat semacam ini sebenarnya lahir dari kaum
pria yang seringkali mengintimidasi dan memaksa kaum perempuan untuk melakukan
aborsi. Dan biasanya ini lebih terjadi pada kaum muda. Dengan segala cara kaum
pria kadang tidak mau bertanggung jawab atas perbuatan bejatnya. Tidak mengherankan kaum
perempuan merasa tertekan dan tidak punya
harapan. Ketakutan akan masa depan dan ancaman baik dari diri maupun
drari luar diri membuat perempuan mengambil jalan pintas dengan melakukan tindakan
aborsi. Ada banyak alasan yang bisa ditemukan
sebagai alasan terjadinya
tindakan aborsi tetapi sekiranya ini menjadi keprihatinan bersama dan
diusahakan untuk diatasi bersama.
2.3. Dampak Tindakan Aborsi
Analisis
lebih jauh data SKRT 1995 menyebutkan aborsi berkontribusi terhadap 11,1% dari
kematian ibu di Indonesia, atau satu dari sembilan kematian ibu. Angkah sebenarnya mungkin
jauh lebih besar lagi, seperti dikemukakan oleh Direktorat Jendral Bina
Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI yang secara informal memperkirakan
kontribusi aborsi terhadap kematian ibu di Indonesia sebesar 50%.[7] Ukuran semacam ini
menjadi mungkin terjadi karena praktik
aborsi di Indonesia
kadang tidak sesuai dengan aturan kesehatan yang tepat. Dan diperkirakan ibu
atau anak-anak perempuan yang melakukan aborsi mengalami ganguan psikis dan
mental sehingga membuat mereka tidak berkembang dengan baik dalam pergaulan dan
relasi sosial. Menurut
penelitian, seorang perempuan yang
melakukan aborsi akan mengalami beberapa gejala seperti
penderitaan kehilangan harga diri (82 %),
berteriak-teriak histeris (51%),
mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%),
ingin bunuh diri (28%),terjerat obat-obat terlarang (41%),dan tidak bisa menikmati hubungan seksual (59%).[8] Dari
penelitian inilah terlihat jelas bahwa dampak dari tindakan aborsi lebih
berakibat buruk bagi kaum perempuan sebagai korban aborsi. Selain itu juga
keluarga, sekolah atau universitas dimana subyek tersebut tinggal atau
mengenyam pendidikan.
III. Penilaian atas tindakan Aborsi di Indonesia
dalam Terang ASG
3.1. Menyalahgunakan kebebasan
GS no. 17 “Adapun manusia hanya dapat
berpaling kepada kebaikan bila ia bebas. Kebebasan itu oleh manusia amat
sekarang sangat dihargai serta dicari dengan penuh semangat memang tepatlah
begitu. Tetapi sering pula orang-orang mendukung kebebasan dengan cara yang
salah dan mengartikan sebagai kesewenang-wenangan untuk berbuat apapun sesuka
hatinya.[9]
Tindakan aborsi selalu dilihat sebagai tindakan penyalahgunaan kebebasan. Jika
kita bertolak dari sebab aborsi yang
ditimbulkan oleh pergaulan bebas, kita dapat melihat dengan jelas penyimpangan
akan nilai semacam ini. Pada zaman lampau, ketika Indonesia masih begitu kuat
memegang tradisi dan adat istiadat, kasus semacam ini pasti jarang terjadi atau
bahkan menjadi tabu dalam masyarakat.
Adat istiadat pada saat itu masih melarang
kaum perempuan berkeliaran
atau bahkan keluar rumah
tanpa ada alasan. Tempat dan
hidup mereka sebelum menikah adalah tinggal di dalam rumah. Jika ada seorang ingin menikahi seorang gadis,
dia hanya boleh menemui gasis tersebut di
rumahnya dan atas restu kedua orang tuanya. Di satu sisi
adat istiadat semacam ini dilihat tidak relevan lagi tetapi dalam arti tertentu
jika pendidikan nilai dalam keluarga bertolak dari hal semacam ini maka pendidikan
anak dalam keluarga akan diarahkan dengan baik. Juga di samping itu, adat istiadat
semacam ini menjauhkan mereka dari pergaulan bebas dan praktik amoral lainnya.Tetapi
selanjutnya gerakan emansipasi wanita mengeluarkan perempuan dari kungkungan
semacan ini. Dan angin
segar kebebasan
yang dialami perempuan sekarang seolah-olah disalahartikan sehingga menimbulkan
berbagai penyimpangan. Kita tidak dapat menyalahkan perempuan tetapi perhatian kita harus tertuju pada sikap penafsiran
yang sewenang atas kebebasan menimbulkan berbagai persoalan moral.
Pergaulan bebas anak muda di satu pihak dilihat
sebagai
wujud aktualiasasi kebebasan yang
membawa aroma positif untuk perkembangan kaum muda sendiri tetapi di sisi lain
membawa kehancuran bagi masa depan mereka. Dengan adanya kasus hamil di luar
nikah dan tindakan aborsi justru membuat anak muda sendiri menjadi tidak bebas
lagi. Penyimpangan semacam ini secara tidak langsung menggangu perkembangan
psikis, sosial, emosiolan dan intelektual anak. Kaum muda sendiri terlebih khusus para perempuan setelah melakukan
tindakan aborsi mengalami situasi yang mencekam. Mereka pasti dipenjarakan oleh
perasan mereka sendiri seperti rasa bersalah, takut dan rasa putus asa. Sekiranya
hasil penelitian tentang akibat aborsi menunjukan secara jelas bahaya buruk
yang dialami oleh para perempuan yang melakukan tindakan aborsi.
Hal
yang serupa terjadi pada perempuan dewasa yang sudah menikah. Karena tidak menginginkan
banyak anak dan
mengahadapi kehamilan yang tak diduga-duga karena berbagai alasan maka cara
yang terbaik untuk mewujudkan hal tersebut dengan cara aborsi. Pertanyaan
muncul dari penyalahgunaan kebebasan semacam ini, apakah manusia memiliki hati
nurani? Kebebasan justru berkaitan erat dengan hati nurani.[10]
Perwujudan kebebasan harus berangkat dari pemurnian hati nurani. Setiap
tindakan tidak hanya berangkat dari keinginan, kepuasan, dan kenikmatan tetapi
lebih jauh dari itu memperhatikan nilai hidup di dalamnya. Jika orang hanya
sekadar memuaskan keinginan, bukankah itu sama seperti binatang yang hanya
menggunakan nalurinya untuk memuaskan apa yang menjadi keinginan. Manusia masih
memiliki hati nurani untuk memurnikan
dan menyaring segala tindakan mansuai.
Setiap tindakan yang dilakukan harus mengalir dari hati
nurani yang murni.
3.2. Aborsi sebagai Tindakan Membinasakan Kehidupan
GS
27 mengatakan “Konsili menekankan sikap hormat terhadap manusia sekalipun
manusia masih menjadi janin. Sikap hormat ini ditujukan kepada semua orang
sehingga setiap orang wajib
memandang sesamanya takterkecuali
sebagai “dirinya yang lain” terutama mengindahkan perihidup mereka beserta
upaya-upaya yang mereka butuhkan untuk hidup sebagaimana layaknya. [11]Secara tidak langsung aborsi
merupakan tindakan membunuh
kehidupan. Sekiranya dalam
moralitas kristiani dikatakan tak seorangpun yang berhak membunuh manusia
kecuali Tuhan sendiri karena Tuhanlah pemilik hidup.
Tindakan semacam ini tidak hanya masuk dalam kategori dosa tetapi juga menyalahi
hak hidup setiap orang.[12]
Dalam undang-undang dasar 1945 juga dikumandangkan
penghargaan hak hidup setiap orang. Dan dalam dunia kesehatan khususnya WHO,
menetapkan bahwa janin yang berumur 2 minggu sudah dikatakan manusia maka
tindakan aborsi adalah tindakan membunuh manusia. Gereja Katolik secara radikal
melihat bahwa ketika terjadi pembuahan pada saat itulah, janin tersebut
dikataka buah hasil ciptaan Allah. Untuk itulah tindakan aborsi secara tidak
langsung merupakan suatu tindakan menghilang hak hidup orang lain.[13]
Dimana letak keadilan jika kita mengorbankan citra Allah yang dipercayakan oleh
Allah sendiri hanya untuk mempertahankan harga diri dan gengsi. Dan biasanya
ini terjadi dalam lingkungan kaum muda dimana kaum muda yang belum siap melahirkan dan dengan berbagai ancaman membuat anak
muda tidak berpikir matang dalam memutuskan.
3.3. Ketidakadilan sebagai Akibat lemahnya Hukum di Indonesia
Persoalan
lemahnya hukum terletak pada kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita yang
merupakan peninggalan masa kolonialisasi Belanda melarang keras dilakukannya
aborsi dengan alasan apapun sebagaimana diatur dalam pasal 283, 299 serta pasal
346 - 349. Bahkan pasal 299 intinya mengancam hukuman pidana penjara maksimal
empat tahun kepada siapa saja yang memberi harapan kepada seorang perempuan
bahwa kandungannya dapat digugurkan. Padahal pemerintah Belanda mengeluarkan
peraturan tersebut dengan tujuan untuk melindungi perempuan dari kematian
karena aborsi yang tidak aman karena saat itu ilmu kedokteran belum berkembang
pesat dan kebanyakan perempuan meminta pelayanan kepada tenaga tradisional.
Undang-Undang
Kesehatan No. 23 Tahun 1992 pasal 15 seperti sedikit memberikan peluang dengan mengatakan bahwa
dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang
dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Namun UU Kesehatan juga
tidak menjelaskan apa yang dimaksud tindakan medis tertentu dan kondisi bagaimana
yang dikategorikan sebagai keadaan darurat. Mengacu pada dua hukum di atas,
jelas dapat disimpulkan bahwa peraturan di Indonesia sama sekali tidak
memberikan celah untuk pelayanan aborsi bisa dilakukan. Ditambah lagi dengan sumpah dokter Indonesia
yang masih mengikuti sumpah Hiprokrates “akan menghormati makhluk hidup insani
sejak pembuahan dimulai.” Kondisi ini ternyata tidak mampu mencegah perempuan
untuk mencari pelayanan penghentian kehamilan. Terlihat dari banyaknya permintaan
tindakan ini dilakukan. Status ilegal aborsi ini justru menyebabkan banyak
perempuan yang tidak mendapatkan akses pelayanan aborsi yang aman. Dan tindakan
ilagal tersebut dalam dunia perkotaan biasanya dilakukan oleh para dokter dan
bidan sendiri karena desakan ataupun suapan dengan bayaran mahal. Tentu jika
disoroti dari sudut ASG, tindakan semacam ini sudah menimbulkan prinsip
ketidakadilan dimana orang mecari upahan tambahan dengan melakukan praktik yang
ilegal apalagi sampai harus membinasakan kehidupan.[14] Selain
itu, hukum yang lemah akan terus menciptakan praktik ketidakadilan. Hal ini
bukan hanya terjadi dalam dunia kesehatan tetapi juga dalam bidang-bidang lain
seperti politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Problematika yang terjadi di
Indonesia yang tidak pernah teratasi karena hukum dan subyek pembuat hukum
tidak memiliki kewibawaan. Hukum seolah-olah diperjualbelikan.
IV. Rekomendasi Pastoral dan Penutup
Ada banyak hal yang bisa dikerjakan
oleh Gereja dan petugas pastoral dalam mengatasi keprihatinan moral semacam
ini. Tugas dan perutusan para petugas pastoral tidak lagi hanya berhenti
seputar altar atau merayakan perayaan liturgi tetapi juga terlibat dalam
persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Untuk itu, beberapa langka
pastoral yang bisa diambil dalam mencegah terjadi tindakan aborsi oleh kaum
remaja dan keluarga muda.
4.1. Menaruh perhatian pada Pembinaan Iman kaum muda
Gereja atau sekurang-kurangnya
paroki harus memberi tempat istimewa bagi pembinaan kaum muda. Gereja harus
menyediakan banyak wadah untuk menampuang anak muda agar mereka tidak lari
kepada pergaulan bebas dan tidak melakukan hal-hal yang terlarang. Kelompok
OMK, KMK dan sebagainya menjadi wadah yang baik bagi pembinaan iman kaum muda.
Penulis meyakini bahwa dengan terlibat dalam kelompok ini dan disertai dengan
pembinaan iman yang intensif, kaum muda diarahkan untuk menghargai hidup dan menjunjung tinggi
moralitas hidup manusia. Kebanyakan anak-anak katolik yang terlibat dalam
kegiataan pembinaan iman yang berkelanjutan memiliki
bekal iman dan nilai-nilai hidup yang kuat. Hal inilah yang membuat mereka
tidak terpengaruh dengan segala macam pengaruh yang kurang baik dari luar. Selain
itu, sistem pendidikan Indonesia juga harus ditata lebih baik sehingga
pendidikan budi pekerti dan seksualitas mendapat tempat dan porsinya yang sesuai sehingga
perkembangan seksualitas dan moralitas anak sungguh-sungguh diarahkan.
4.2. Pembinaan dalam Keluarga
Pendidikan nilai yang pertama dan
utama harus terjadi dalam keluarga. Keluarga-keluarga pada zaman modern
sekarang tidak boleh menutup mata terhadap pendidikan nilai khususnya pendidika
seksualitas dan pergaulan. Sistem pendidikan dan pembinaan dalam keluarga
sangat menentukan proses
pendidikan pada jenjang selanjutnya. Anak yang diberi kebebasan
sepenuh-penuhnya oleh orang tua tanpa dikendalikan akan cenderung jatuh dalam
pergaulan bebas. Pastoral yang mesti dijalankan oleh Gereja saat ini tidak
hanya terbatas pada pastoral parokial tetapi juga pastoral kategorial khususnya
pembinaan keluarga-keluarga muda. Kendala
yang ditemukan dalam berpastoral bagi keluarga muda ialah benturan antara kerja
dan kegiatan iman. Tidak jarang banyak keluarga muda yang sibuk dalam kerja dan
kurang memperhatikan hidup imannya. Kesibukan kerja membuat keluarga muda tidak
meluangkan waktu yang banyak berkumpul bersama anak-anak. Hal inilah yang
membuat anak kehilangan perhatian dan mencarinya sendiri dengan membangun
relasi yang tidak sehat dan menyimpang. Untuk itulah, para petugas pastoral
sekiranya lebih proaktif untuk menggerakan keluarga muda dan anak-anak muda
agar dapat membina iman dalam keluarga dengan baik.
4.3. Sikap
Gereja menolak secara tegas Tindakan Aborsi
Hukum yang lengah dan
tidak jelas akan membuat masyarakat bertindak semena-mena. Demikianpun
peraturan dan sikap Gereja dalam menanggapi persoalan seperti ini. Gereja di
satu sisi tidak bisa menutup mata terhadap persoalan ini. Sikap profetis Gereja
harus ditunjukan dalam situasi semacam ini. Adanya
upaya dialog dengan berbagai pihak, seminar, sarasehan, penyuluhan harus mesti
digalakan Gereja agar setiap saat masyarakat dan umat sadar akan betapa
buruknya tindakan aborsi. Di sisi lain, Gereja harus secara tegas menolak
tindakan dan praktik semacam ini. Hal ini bertujuan agar manusia sadar bahwa
hidup dan pengahayatan akan nilai-nilai mendasar harus dijunjung tinggi.
Akhirnya tindakan
aborsi merupakan keprihatinan yang mesti disikapi secara serius oleh semua
pihak baik pemerintah, Gereja maupun masyarakat. Tindakan dan praktik semacam
ini hanya bisa berhenti jikalau setiap pihak baik keluarga, sekolah, Gereja,
Pemerintah menjalankan perannya sebagaimana mestinya dalam pembinaan dan
penyadaran terus menerus akan pentingnya nilai hidup. Nyawa dan hak hidup
setiap orang harus berada di atas segala kepentingan manusia lainnya. Bangsa
Indonesia akan menuju bangsa yang bermoral jika moralitas hidup berbangsa
dibenahi dari keprihatinan-keprihatinan yang dianggap sepele. Keadilan yang
sejati akan bertumbuh di tanah air ini jika bertolak dari penghargaan hak-hak
kodrati manusia.
Daftar Pustaka :
Buku:
Peschke, Karl-Heinz, SVD, Etika
Kristiani Jilid IV, Maumere: Ledalero, 2003
Schultheis, Michael J., Sj, dkk,
Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1993
Dokumen Gereja:
Seri Dokumen Gerejawi, Ajaran
Sosial Gereja : Gadium et Spes, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2005, hal. 288
Data Internet:
http://www.gotquestions.org/indonesia/aborsi-Alkitab.html,
akses tgl 29 Mei 2012.
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/public-speaking/2275092-akibat-pergaulan-bebas-di-kalangan/,
akses tgl 28 Mei 2012
http://www.inilah.com/read/detail/121566/aborsi-di-indonesia-26-juta-pertahun/,
aksestgl 31 Mei 2012
http://www.inilah.com/read/detail/121566/aborsi-di-indonesia-26-juta-pertahun/,
akses 31 Mei 2012
http://health.detik.com/read/2012/05/30/172843/1928697/775/pelaku-aborsi-yang-ketahuan-bisa-dihukum-maksimal-10-tahun,
akses 30 Mei 2012
http://www.gotquestions.org/indonesia/aborsi-Alkitab.html,
akses 29 Mei 2012
NAMA :
APOLINARIS DARI BANI
NPM :
1101006
[1]http://www.inilah.com/read/detail/121566/aborsi-di-indonesia-26-juta-pertahun/,
aksestgl 31 Mei 2012
[3]Baginya
"Sekitar 30% di antarakasusaborsiitudilakukanolehpendudukusia 15-24. Itu
berarti yang melakukan tindakan aborsi dan yang melakukan hubungan seks di luar
nikah adalah anak-anak SMA dan anak-anak kuliah. Pergaualan yang bebas membuat
mereka tidak bertumbuh menjadi anak yang dewasa dan tahu menilai mana yang baik
untuk masa depan dan mana yang tidak baik untuk masa depan. Akibat dari
pergaulan bebas justru membuat anak-anak remaja kehilangan masa depan. Bagi
mereka seks bukan lagi sesuatu yang suci
lagi sehingga melakukan hubungan seks merupakan hal yang wajar dalam
berpacaran. http://health.detik.com/read/2012/05/30/172843/1928697/775/pelaku-aborsi-yang-ketahuan-bisa-dihukum-maksimal-10-tahun, akses 30 Mei 2012
[9] Seri Dokumen Gerejawi, Ajaran Sosial Gereja : Gadium et Spes,
Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005, hal. 288
[10] GS 16 “di lubuk hati
nuraninya manusia menemukan hukum yang tidak dapat ditemukannya dari dirinya
sendiri, melainkan harus ditaatinya. Suara hati selalu menyeruhkan kepadanya
untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik dan untuk menghindari yang
jahat”. Di sini ditunjukan secara jelas bagaimana fungsi hati nurani. Tindakan
aborsi dilihat sebenarnya sebagai suatu tindakan yang menyimpang hati nurani.
Manusia pada zaman sekarang khususnya anak muda tidak mampu lagi mengasa
kepekaan akan hati nurani. Kebebasan hanya diartikan sebagai tindakan melakukan
sebebas-bebasnya tanpa ada landasan hidup yang bertolak dari hati nurani. Ibid., hal 287
[13] Alkitab
tidak pernah secara khusus berbicara mengenai soal aborsi. Namun demikian, ada
banyak ajaran Alkitab yang membuat jelas apa pandangan Allah mengenai aborsi.
Yeremia 1:5 memberitahu kita bahwa Allah mengenal kita sebelum Dia membentuk
kita dalam kandungan. Mazmur 139:13-16 berbicara mengenai peran aktif Allah
dalam menciptakan dan membentuk kita dalam rahim. Keluaran 21:22-25 memberikan
hukuman yang sama kepada orang yang mengakibatkan kematian seorang bayi yang
masih dalam kandungan dengan orang yang membunuh. Hal ini dengan jelas
mengindikasikan bahwa Allah memandang bayi dalam kandungan sebagai manusia sama
seperti orang dewasa. Bagi orang Kristen aborsi bukan hanya sekedar soal hak
perempuan untuk memilih. Aborsi juga berkenaan dengan hidup matinya manusia
yang diciptakan dalam rupa Allah (Kejadian 1:26-27; 9:6).http://www.gotquestions.org/indonesia/aborsi-Alkitab.html, akses tgl 29 Mei 2012.
[14] Michael J. Schultheis,
Sj, dkk, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja,
Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar